Mengamati, Melihat, memahami, Dan Menuliskannya

Selasa, 31 Mei 2011

Dr. Maher Al Jabari: Pembongkar Persekongkolan Busuk Otoritas Palestina

akutnya hanya untuk Allah SWT sehingga tidak tersisa untuk penjajah.

Senin sore 21 Desember 2009. Seperti biasa Dr. Maher Al-Jabari keluar dari kampus Politeknik tempatnya mengajar untuk pulang ke rumah di Hebron, Tepi Barat. Ia menuju tempat parkir kemudian menjalankan mobilnya.

Namun baru beberapa kilo meter berjalan, tiba-tiba dari arah berlawanan mobil pasukan keamanan Otoritas Sekuler Palestina (PA) yang melaju dengan kencang dan menembaknya. Kemudian mobil aparat itu berbalik dan menabraknya dari belakang. Benar-benar biadab, ternyata selain tidak mengindahkan keselamat Maher, aparat pun tidak mengindahkan keselamatan pengguna jalan lainnya. Kontan saja tabrakan beruntun terjadi. Kemudian mereka menangkapnya dan di bawa entah ke mana.

Aksi brutal itu dilakukan setelah PA gagal menculiknya pada beberapa hari sebelumnya. Sampai tulisan ini dibuat belum diketahui di mana dan bagaimana kondisinya.

Siapa Maher?

Maher berasal dari Klan Jabari, klan yang sangat dihormati di Palestina. Ia pun seorang penulis banyak penelitian ilmiah. Di bidang akademis, dia termasuk orang yang dihormati oleh masyarakat akademisi dan para mahasiswa. Tapi mengapa otoritas Palestina begitu berambisi meneror dan menangkapnya? Tak ayal lagi karena perjuangannya membongkar persekongkolan busuk antara otoritas Palestina dengan penjajah.

Kondisi apapun tidak dapat membuatnya berhenti menyuarakan kebenaran. Maka amanah sebagai anggota media informasi Hizbut Tahrir di Palestina benar-benar ia jalankan seoptimal mungkin. Rasa takutnya hanya diberikan kepada Allah SWT sehingga tidak tersisa sedikitpun buat penjajah.

Sebelumnya aparat keamanan juga mengancamnya seperti layaknya geng jalanan karena gagal menculik Maher dari rumah pada hari Rabu malam 16 Desember 2009 lalu. Para anggota dinas intelijen mengepung rumahnya dan memintanya keluar. "Aku tidak mau memenuhi perintah Anda!" jawab Maher.

Mereka marah kemudian meninggalkan rumahnya dan mengancam akan menculik Maher. Namun Maher tidak gentar. Bahkan dalam sebuah wawancara terkait upaya penculikkannya pada keesokan harinya itu, Maher mengatakan PA berusaha untuk membungkam HT yang mengungkap persekongkolan otoritas Palestina yang telah melayani kepentingan Amerika untuk mengamankan kepentingan penjajahan Zionis.

"Mereka bekerja dalam pelayanan Dayton," katanya, mengacu pada Komandan Tinggi Amerika Serikat di Palestina Jenderal Keith Dayton. PA telah menjadi kepanjangan tangan kekuasaan dan kebijakan diktator, melaksanakan perintah yang berasal dari Amerika Serikat. Dayton, kebakaran jenggot dengan tindak lanjut HT dalam mengungkapkan rencana kolonialisme dalam semua proyek dan peta yang ditujukan untuk melikuidasi masalah Palestina.

Hal itu tidak akan berhasil dalam menentang HT yang akarnya menancap dalam hingga sebelum PA yang lemah itu sendiri lahir. Lalu bagaimana PA yang keji, tidak mengakar dan tidak memiliki wewenang mengambil keputusan itu akan bisa menggoyang HT yang akarnya menghunjam dalam ke bumi dan cabangnya tegak menjulang ke langit!.

HT dan para syababnya, negara-negara yang lebih kuat sekalipun tidak bisa menghentikan mereka dari berjalan di jalan kebangkitan umat Islam dan membebaskannya dari segala bentuk subordinasi, penjajahan dan kelemahan. Lalu bagaimana mungkin Otoritas yang hanya merupakan tangan keamanan bagi negara Yahudi, dan tunduk kepada instruksi-instruksi jenderal Amerika Dayton yang baunya menusuk hidung akan bisa memalingkan HT dari tujuannya?!

Hendaklah PA dan pihak yang ada di belakang tindakan-tindakan tersebut mengetahui bahwa tindakan-tindakan itu tidak akan pernah bisa mengintimidasi HT dan para syababnya. Juga tidak akan bisa menyebabkan apapun, kecuali justru makin menggerus PA dan membongkar hakikatnya di hadapan kaum Muslim.

Bongkar Persekongkolan

Sebelumnya, pada September 2009, Maher pun mengecam Perdana Menteri PA Salam Fayyad yang mengemis kepada Barat yang menjanjikan akan memberikan dana yang dibutuhkan sebesar 400 juta dollar selama empat bulan ke depan.

Menurut Maher hal itu hakikatnya kekuasaan PA tidak lebih dari sekedar "kota besar" yang hidup dengan bantuan asing dalam menyediakan layanan kepada warga Palestina guna mengalihkan perhatian mereka dari berpikir tentang pembebasan yang sebenarnya.

Sehingga langkah itu akan mengurangi konsekuensi dan tanggung jawab pendudukan untuk melawan dan membebaskan Palestina dari penjajahan Zionis Israel. "PA tidak bisa berdiri tegak kecuali mendapatkan dana dari para donor yang menjadi urat nadi bagi hidup mereka". Ia menambahkan bahwa "kekuasaan dengan kondisi seperti ini mustahil dengan cara apapun dapat melahirkan sebuah negara, sekalipun hanya serupa dengan negara kecil".

Padahal negara-negara donor tidak mungkin memberikan dananya kecuali untuk mewujudkan kepentingan-kepentingan politik mereka. Sementara, negara-negara donor yang dipimpin oleh Amerika itulah yang menentukan bahwa keamanan pendudukan Zionis Israel adalah prioritas utama.

Ia menilai dana donor itu adalah dana politik, dan tentunya memiliki harga politik yang harus dibayar oleh PA untuk bisa mendapatkannya. Dalam hal ini tampak jelas dari pernyataan-pernyataan pemerintah tentang dukungan "negara-negara dan lembaga-lembaga yang berpartisipasi dalam pertemuan tersebut untuk mendokumentasikan program-program kerja pemerintah."

Dengan tegas Maher menyatakan bahwa HT menolak membatasi problem Palestina hanya untuk rakyat Palestina, karena pembatasan itu telah membawa pada pendekatan mengemis ini.

Ia berkata "kaum Muslim memiliki berbagai potensi, kemampuan, dan dana publik untuk memenuhi semua kebutuhan setiap individu umat Islam. Sehingga dengan semua itu umat Islam, termasuk rakyat Palestina, tidak butuh dana politik dari negara-negara Barat yang telah menjarah setiap sumber daya alam milik kaum Muslim, yang kemudian mereka mengembalikan sebagian untuk kaum Muslim dalam bentuk bantuan untuk mewujudkan kepentingan-kepentingan mereka."

Terakhir ia mengatakan bahwa "untuk memanfaatkan semua potensi, kemampuan dan dana ini untuk kepentingan umat Islam dan setiap individunya, tidak mungkin dilakukan dengan baik di bawah para penguasa despotis, sewenang-wenang, dan zalim, yang selama ini merampas kekuasaan dan mencuri kekayaan; dan tidak mungkin dapat melaksanakan hak harta umat Islam dengan semestinya, kecuali dengan menerapkan sistem ekonomi Islam oleh seorang Khalifah yang adil, yang menyatukan kaum Muslim, dan memelihara harta kekayaan mereka".

PA bertanggung jawab sepenuhnya atas keselamatan Maher. Tindakan mengacau dan premanisme tidak akan pernah menghentikan semangat HT untuk menyampaikan kebenaran; berjuang menyadarkan kaum Muslim untuk mendirikan Khilafah Islam, dan membebaskan Palestina dari kebiadaban Zionis dan pemerintahan Amerika. [] joko prasetyo/berbagai sumber


http://mediaumat.com/sosok/1236.html

Faisal Rahmat Sitohang : Dari Maksiat Berubah Jadi Pejuang Syariat

Aku disuruh taubat ketika terjebak maksiat. Tapi malah disebut sesat ketika taubat. Tapi aku tetap membulatkan tekat hingga keluargaku pun turut menjadi pejuang syariah.

Sebagai anak yang terlahir dalam keluarga Muhammadiyah, aku sebenarnya tidak begitu kering dari ajaran agama. Masa kecil bersama tujuh orang bersaudara kuhabiskan di Kota Padang Sidempuan, Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatera Utara. Sebuah kota yang menjunjung tinggi adat istiadat mandailing, namun sering disebut sebagian masyarakat Sumatera Utara sebagai daerah yang banyak menghasilkan santri dan para ustadz. Hingga kini kusadari itu, walau tak sepenuhnya benar.

Saat usiaku meranjak remaja sekitar kelas 1 SMK di salah satu sekolah swasta di Padang Sidempuan semua masih baik-baik saja. Sebenarnya, teman-temanku di sekolah pada umumnya baik, untuk merokok saja, yang lazim dilakukan anak masa kini, mereka tidak mau. Sama seperti aku ketika itu.
Namun situasi berbeda ketika aku naik ke kelas 2. Awalnya, aku kaget saat teman sebangkuku menawari narkoba, ternyata ia seorang agen narkoba. Perlahan tapi pasti, melalui pertemanan itulah aku mulai terjerumus ke dunia hitam sebagai pengguna dan pengedar narkoba. Pagi, siang dan sore waktu kuhabiskan untuk menjual narkoba khususnya daun ganja.

Malu aku sebenarnya mengatakan ini semua, namun sebagai bahan pembelajaran bagi kita bahwa sesungguhnya apa yang kulakukan sebagai agen narkoba atau pemakainya dahulu sudah jauh dari kewajaran orang yang waras. Narkoba yang kudapat dari pengurus Organisasi Kegiatan Pelajar (OKP) ketika itu setiap hari juga kuedarkan bahkan kujual di sekolah-sekolah lain. Racun narkoba menjadi bagian dari kehidupanku. Tidak hanya mengonsumsi daun ganja, aku pun mulai merambah mengonsumsi ekstasi dan berbagai minuman keras.

Nasihat keluarga dan siapa pun juga yang mencoba agar aku berhenti dari perbuatan maksiat ini tidak ada yang mempan. Sampai Allah SWT mengingatkanku dengan cara-Nya sendiri. Pada suatu malam aku pulang menggunakan sepeda motor dari pesta narkoba. Keadaan tubuhku sudah oyong atau pening gak karuan akibat over dosis menghisap ganja.

Sebelum pulang, aku mengantarkan teman ke rumahnya, saat hendak pulang ke rumahku entah bagaimana ceritanya tak sadarkan diri aku langsung jatuh akibat menabrak batu besar di pinggir jalan. Untung saja masih ada orang yang berbaik hati dan memboyongku ke rumah sakit Bayangkara untuk di rawat.

Seperti biasa, jika pecandu narkoba mengalami kecelakaan pasti perlakuan pihak rumah sakit sering tidak manusiawi. Tapi justru perlakuan kasar itulah membuatku jadi berpikir. “Ini semua gara-gara narkoba!” ujarku dalam hati.

Wajahku terluka sehingga harus dijahit dengan 13 jahitan, tulang pungggungku bergeser dan sebagian besar luka kulit. Yang pastinya kondisi fisik yang cukup mengenaskan ketika itu. Dengan sakit yang amat sangat itu, akhirnya aku sempat berpikir untuk meninggalkan narkoba.

Waktu berlalu hingga aku boleh pulang setelah sebulan lebih aku dirawat intensif di rumah sakit. Ada kemajuan, sejak kecelakaan itu aku sama sekali tidak ingin menghisap ganja, padahal sebelumnya tiada hari tanpa narkoba. Sampai hampir dua bulan aku tidak mengonsumsi narkoba. Mungkin itulah hikmah dari musibah yang menimpaku.

Sampai suatu saat teman sesama pengonsumsi narkoba datang ke rumah untuk menjengukku. Mereka menawariku ganja lagi. Aku menolaknya. Tetapi aroma ganja yang khas itu sangat menggodaku. Imanku kembali goyah. “Satu linting kecil itu tidak apalah,” bisik setan dalam hati.

Aku pun menerima sodoran teman maksiatku itu. Karena fisik masih lemah, baru saja aku isap beberapa kali lintingan ganja itu, luka yang belum kering dari wajahku itu langsung mengeluarkan darah yang banyak.

Sejak saat itulah aku benar-benar merasa kapok dan benar-benar membulatkan tekad untuk meninggalkan narkoba. Waktu berjalan kuniatkan sungguh-sungguh untuk meninggalkan narkoba. Karena bantuan keluarga terkhusus motivasi yang diberikan ibuku tercinta, akhirnya aku sanggup untuk meninggalkan narkoba tersebut. Alhamdulillah sampai detik ini aku sudah tidak mengonsumsinya lagi.

Aku, Dakwah dan Keluargaku
Di tahun 2002 aku dan keluarga pindah ke Kota Medan. Karena ayahku dipindahkan tugas dari kepala sekolah Madrasah Aliyah Negeri di Tapsel menjadi pegawai Departemen Agama Kota Medan. Di Medanlah kami memulai banyak hal dalam berbagai kehidupan. Mulai meninggalkan daerah yang kental dengan adat-istiadatnya hingga kami sekarang semua berjuang dalam pergerakan dakwah Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) Medan.

Ini aku melalui perjalanan panjang. Awalnya berbagai gerakan kumasuki. Saat aku mulai masuk salah satu gerakan tersebut, aku kerap sekali berhubungan dengan banyak preman di terminal Pinang Baris Medan. Mereka kudakwahi, hingga berbagai penolakan dan bahkan ancamann fisik kerap sekali terjadi.

Walau loyalitasku di jamaah itu cukup tinggi namun aku masih belum merasakan nikmatnya dakwah di sana. Aku merasa ada sesuatu yang kurang. Apa itu? Aku pun tidak tahu. Sampai satu saat aku bertemu dengan seorang ustadz yang bernama Musdar Syahban seorang aktivis HTI Medan. Dia mengajakku mengaji dan memahamai Islam kaffah. Ternyata di sinilah hati kutambatkan. Akhirnya aku sampai detik ini terus berjuang bersamanya.

Gagasan Islam kaffah ini selalu kusampaikan ke keluargaku saat itu. Tak semudah yang kubayangkan sebagai anak yang eks pecandu narkoba mereka masih mengucilkan aku kalau bercerita seputar Islam dan ajarannya.

Selama setahun, sejak 2003 penolakan pun terjadi khususnya oleh ayah yang sekarang sudah tiada. Tak ada hari tanpa memarahiku saat menjelaskan Islam kaffah kepadanya. Aku dicap sebagai pembawa ajaran yang sesat hingga aku pernah diusir dari rumah.

Aneh memang, dulu aku disuruh taubat ketika terjebak maksiat. Tapi malah disebut sesat ketika taubat. Tapi aku tetap membulatkan tekad hingga keluargaku pun turut menjadi pejuang syariah. Hal itu kulakukan lantaran aku memahami kewajiban dakwah. Aku tak goyah sedikitpun dan terus berjuang bagaimana agar keluarga menjadi pengemban dakwah bersamaku di Hizbut Tahrir.

Alhasil, berkat pertolongan Allah SWT akhirnya ibu menerima dakwah yang pertama di keluarga. Darinyalah dakwah masuk ke ayah, abang, adik, dan kakak. Aku bersama ibu yang mengajak mereka untuk ikut mengaji memahami Islam kaffah. Dan akhirnya mereka menerima dakwah yang Allah perintahkan dan bersedia berjuang melanjutkan kehidupan Islam bersama Hizbut Tahrir. Hingga saat ini, kami tujuh bersaudara dan bersama ibu alhamdulillah tergabung dalam barisan dakwah Islam terus menggelorakan perjuangan syariah dan khilafah. Doakan semoga kami istiqamah.[]seperti diceritakan kepada dani umbara lubis

http://mediaumat.com/sosok/2468-48-dari-maksiat-berubah-jadi-pejuang-syariat.html

Dr Mohammad Salim Atchia, MBA : Ikhlas dan Sabar Hadapi Cobaan








Ia berubah total. Merayakan Natal dan pacaran ia tinggalkan lantaran ingin kembali ke jalan yang benar. Cobaan pun menghadang, tetapi ia tetap istiqamah dalam dakwah.

Hampir pada setiap even besar perjuangan penegakan syariah dan Khilafah yang diselenggarakan di berbagai negara, tokoh Hizbut Tahrir Inggris Mohammad Salim Atchia selalu hadir sebagai pembicara. Dengan tegas, lugas dan lantang ia selalu meneriakan syariah dan Khilafah sebagai solusi atas seluruh problematika manusia.

Ketika ada yang menuding Khilafah sebagai negara diktator dengan tegas ia menyatakan bahwa itu merupakan cara pandang yang salah. Cara pandang itu lahir dari cara pandang sistem Kapitalisme Barat. Selain itu, opini yang ada 'digiring' ke polarisasi dua kutub; kalau tidak demokrasi, ya diktator. Tujuannya, agar kaum Muslim percaya bahwa jika tidak sistem demokrasi maka yang ada adalah sistem diktator.

“Mari kita lihat apakah sistem kekhalifahan itu dan mana yang bukan sistem kekhalifahan,” tegas pria kelahiran Inggris 7 Juli 1967 ini.
Khalifah adalah orang yang memerintah sepanjang berpegang pada Islam. Ia tidak berkata atau berbuat apa yang ia mau, melainkan harus merujuk pada Alquran, Sunah, Ijma Sahabat dan Qiyas. Tidak seperti yang ada sekarang.

Ia pun mencontohkan saat Pervez Musharaf masih menjadi presiden Pakistan. Musharaf terlihat sebagai orang yang berbuat baik, padahal ia merampas kekuasaan dari rakyat. Lalu pemerintahan Barat mendukungnya. Jika ini bukan diktator, lalu apa? Khalifah tidak seperti itu.

Khalifah mempunyai kewenangan memerintah secara total dan jika memerintah dengan menyimpang dari ketentuan Alquran dan Sunah maka ia bisa diturunkan. Sistem Khilafah tidak mempunyai istilah seperti di Barat, yakni pemilu setiap empat tahun atau lima tahun sekali, padahal presiden memerintah dengan semaunya.

Jadi bedanya, kalau Khalifah menyimpang, ia akan diturunkan tanpa perlu menunggu lima tahun. Ia tidaklah memerintah dengan semaunya. Sebab, semua kebijakannya hanya bersandar pada tuntunan Allah SWT. “Jadi, ide bahwa Khalifah adalah diktator itu tidak benar,” bantahnya.


Tegar
Sebelum bergabung dengan HT Inggris, ia memang sudah peduli terhadap permasalahan umat dan negeri-negeri Islam. “Tapi saya tidak tahu apa solusinya, apa yang seharusnya saya lakukan untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan itu,” ujar Salim kepada Media Umat menceritakan masa lalunya sebelum mengenal Hizbut Tahrir.

Ia mengenal Hizbut Tahrir untuk pertama kali pada tahun 1991. Pada saat itu ia sangat terkesan dengan kedalaman dan keluasan informasi seorang syabab Hizbut Tahrir. Berawal dari sekedar ngobrol soal tiket kereta api dalam pandangan Islam hingga membahas masalah keimanan dan demokrasi.
Salim terperangah ternyata demokrasi bertentangan dengan Islam. Dalam Islam, hanya Alquran, Hadits, Ijma Sahabat dan Qiyas saja yang dijadikan sumber hukum. Tetapi dalam demokrasi sumber hukum Islam itu hanya dijadikan salah satu opsi saja bahkan bila suara terbanyak menolaknya tentu tidak dijadikan opsi sama sekali.

“Saya belum pernah mendengar penjelasan sedetail itu sebelumnya,” akunya. Maklumlah ia lahir dari keluarga Muslim sekuler, tidak berpikir islami. Maka tidak aneh meski ia belajar di universitas Islam dan mengenal shalat tapi turut merayakan Natal, bergaul bebas dengan teman-teman wanita.

Salim semakin tertarik untuk mengaji lebih lanjut tentang Islam dan HT lantaran para aktivis HT mampu menjawab banyak pertanyaan yang bergelayut di benaknya. “Mereka menjawab dengan bukti dan fakta. Mereka menerapkan Islam pada setiap permasalahan,” ujarnya. Ia pun sadar dan berubah total.

Namun baru saja ia mencoba menjadi seorang Muslim sejati cobaan langsung menghampiri. Tidak tanggung-tanggung cobaan itu datang lewat istrinya. “Istri saya meminta saya untuk bertransaksi riba. Tentu saja saya menolaknya. Karena hal itu haram sebagaimana yang saya pahami selama belajar di Hizbut Tahrir,” ungkapnya.

Istrinya mengancam akan murtad dan meninggalkannya bila ia tetap tidak mau bertransaksi riba. Salim tetap teguh pendirian. Permasalahan ini pada akhirnya membuat istrinya murtad dan meninggalkannya.

Di kampus tempatnya mengajar pun cobaan menghadang. Seorang Muslim yang berbeda pendapat dengan HT telah melaporkan tuduhan miring tentang dirinya kepada pihak berwenang. Pihak berwenang akhirnya melarangnya untuk memberikan khutbah maupun ceramah. “Dekan universitas memperlakukan saya demikian cukup lama,” terang Salim.

Pada saat Konferensi Khilafah Internasional di Jakarta 2007 ia tampil sebagai pembicara. Sepulang dari menghadiri konferensi Khilafah di Indonesia, ia diskors dari pekerjaan dan ia pun memilih mengundurkan diri dari kantornya itu.

Petugas kepolisian pernah mendatangi rumahnya. Sejak saat itu pihak otoritas dan kepolisian terus mengawasinya. Pihak otoritas juga pernah menahannya di Bandara United Kingdom. “Terakhir di Dubai, pada saat kami akan menghadiri konferensi, pihak keamanan Dubai menyita semua barang-barang kami,” ujar Salim.

Semua cobaan itu ia hadapi dengan ikhlas dan penuh kesabaran. “ Karena bagaimanapun ujian dakwah yang saya alami masih belum seberapa jika dibandingkan dengan saudara-saudara kita di negeri-negeri Islam lainnnya,” pungkas Salim mantap.[] roni ruslan/joko prasetyo


http://mediaumat.com/sosok/2650-52-ikhlas-dan-sabar-hadapi-cobaan.html

Ricky Teddy: Rocker Juga Manusia

{mosimage}Bagi para penikmat musik, terutama rock, mungkin akan kaget ketika mengetahui sosok Ricky Teddy, 47 tahun, salah seorang dedengkot Group Band Jamrud kini lebih rajin mengkaji Islam dan berdakwah. Rumah Ricky, di Jl Permana Cimahi, Bandung, yang sebelumnya sering dijadikan tempat kongkow, nongkrong dan tempat minum-minum oleh teman-temannya, kini dijadikan base camp untuk mengkaji Islam. Setiap Jumat malam, sekitar 30 sampai 50 orang jamaah, yang merupakan teman-teman Ricky rutin hadir mengikuti kajian Islam Permana. Ricky sendiri mengaku kehidupan yang dirasakannya sejak empat tahun lalu ini lebih tenang dibanding sebelumnya, ketika masih 'jahiliyah'. Inilah kisah perjalanan hidupnya.

Kalau ditanya agamaku apa, aku pasti menjawab Islam. Karena sejak lahir orang tuaku Islam. Hingga sekarang agama yang tercantum di KTP-ku pun Islam. Namun terus terang aku tidak tahu banyak tentang Islam bahkan hingga aku berkeluarga. Waktu itu, yang bisa dikatakan aku hampir tidak pernah melaksanakan ajaran Islam seperti shalat atau membaca Alquran. Tentu ini bukan salah orang tuaku. Karena sejak kecil mereka telah menyuruhku shalat dan mengaji. Namun, mungkin karena kenakalanku, perintah itu tidak aku lakukan.

Tak pelak selama itu pula hidupku diliputi kegelisahan. Kalau ada orang beranggapan materi itu segalanya, atau memahami jika materi sudah terpenuhi maka akan mendapat kebahagiaan, itu keliru besar. Materi ternyata bukan segala-galanya. Bagiku materi itu hanya untuk penunjang saja. Buktinya meski aku punya segalanya, toh masih ada rasa takut dan gelisah. Itulah yang terjadi. Itu semua baru kusadari sejak aku mendalami Islam empat tahun yang lalu.


Anak Bertanya soal Shalat

Kesadaranku akan Islam muncul sejak berkeluarga, punya istri dan anak. Waktu itu mereka sering bertanya apa itu Islam, bagaimana cara mengerjakan shalat dan lainnya. Aku tidak bisa jawab. Aku bingung bagaimana menjawabnya. Berawal dari situ, aku memanggil seorang ustad untuk mengajarkan Alquran kepada mereka. Aku suruh anak dan istri belajar mengaji. Sementara aku sendiri belum tertarik, biarin saja, yang penting anak istri yang bisa.

Tapi lama kelamaan aku berpikir, harus juga mulai belajar Islam. Apalagi saat itu aku belum bisa membaca Alquran sama sekali. Diam-diam aku nimbrung saat mereka mengaji. Lama-lama keterusan. Alhamdulillah akhirnya aku bisa juga membaca Alquran, meski masih terbata-bata. Sedikit demi sedikit kemampuanku bertambah. Aku pun mulai belajar tata cara shalat dan ajaran Islam lainnya.

Sebagai imam dalam rumah tangga, aku berkewajiban mendidik anak istri dengan ajaran Islam. Dan alhamdulillah anak istri semuanya mau hijrah. Aku juga mengajak hijrah keluarga yang lain dan teman-teman. Tapi itu tidak mudah. Sebagian mereka bisa menerima, sedang yang lainnya belum bisa. Bahkan ada yang bilang aku ini fanatik. Ketika ada yang bilang seperti itu, aku bilang ya nggak apa-apa. Aku hanya bisa berdoa semoga mereka itu bisa segera hijrah.

Sebenarnya ketika aku pertama kali mau shalat, ada perasaan malu. Masa rocker shalat. Karena ada perasaan malu itulah, aku pun melakukannya dengan ngumpet-ngumpet. Namun akhirnya aku sadar juga, tidak mungkin aku melakukan shalat sambil ngumpet terus. Aku harus melakukannya terang-terangan. Minimal kan dengan aku shalat ini bisa mengingatkan mereka yang belum shalat untuk shalat.


Takut Ketinggian

Aku ini takut 'ketinggian'. Sementara profesiku di Jamrud itu, mobilitasnya selalu naik pesawat. Ketika naik pesawat, maka rasa takut pun kerap menghantuiku. Kalau pesawat itu pasti jatuh, tewaslah kita. Itulah yang selalu kebayang. Sering wajahku pun pucat pasi dan keringatan. Secara mental aku benar-benar merasa tersiksa. Ini lebih parah dibandingkan tersiksa secara fisik.

Setelah merenung dan mulai belajar Islam, akhirnya aku bisa memahami bahwa hal itu wajar terjadi pada manusia. Setiap manusia itu lemah. Pasti ia tergantung kepada sesuatu. Ada saat-saat yang bisa kita kuasai dan ada saat yang kita dikuasai. Di saat tidak dikuasai itulah kita harus pasrah.

Ketika naik pesawat misalnya, di situ ada pilihan pesawat apa yang akan kita ditumpangi. Tapi ketika sudah memilih pesawat dan sudah di atas, maka kita harus pasrah. Karenanya setelah tahu Islam, sebelum berangkat dan naik pesawat aku pun selalu berdoa kepada Allah.

Sebelumnya tidak seperti itu. Ketika di atas pesawat, aku berusaha melawan rasa takut itu. Macam-macam kegiatan dilakukan, seperti minum khamr dan lainnya. Alhamdulillah saat itu tidak sampai kecelakaan. Tidak terbayang, kalau saat itu celaka dan belum beriman, ke mana aku nanti setelah meninggal?


Enak Ngaji Dibanding Manggung

Terus terang, sejak banyak mengkaji Islam, aku sering diminta untuk mengisi talkshow tentang masalah keislaman. Talk show di sini dalam artian aku menjadi motivator. Keilmuanku sebenarnya masih minim. Tapi meski begitu aku tetap sampaikan ilmu itu ke banyak orang di talk show tersebut. Aku katakan ini bukan profesi. Tapi ini kewajiban aku sebagai orang Islam.

Mengisi talkshow bagi aku adalah kepuasan tersendiri. Aku merasa lebih nyaman mengisi talk show dibanding ketika manggung nyanyi. Ini yang aku rasakan. Di sini aku bisa menyampaikan tentang keislaman yang dipahami ke banyak orang.

Karena itu aku sampaikan pesan kepada umat Islam, khususnya para penggemar Jamrud, mudah-mudahan mereka mau ngaji agar paham tentang Islam, kemudian mau mengamalkan dan selanjutnya bisa menyampaikan lagi ke teman-teman lainnya. Jangan dikira baik itu untuk sendiri saja, karena menurut hadist tidak dikatakan beriman seseorang sebelum peduli kepada orang lain. [] Pendi

{mosimage}Didit, Teman Dekat Ricky
Saat Ricky belum banyak mengenal Islam dan belum ada pengjian rutin di rumahnya, kita-kita ini hidup agak bebas dan biasa minum minuman yang memabukkan. Tapi setelah Ricky berubah setidaknya kita segan untuk minum-minum lagi. Kita jadi malu sendiri. Awalnya kita merasakan agak aneh juga melihat perubahan Ricky itu.
Tidak nyangka Ricky bisa seperti sekarang ini. Kelebihan dia, setelah kenal sama ustad-ustad adalah banyak membaca buku-buku Islam. Karena itu bisa dikatakan di antara teman-temannya, Ricky itu ya ustad. Karena apa yang dibicarakan itu ada dalilnya.

{mosimage}Budi Mulyana, Guru ngaji Ricky
Aku harapkan mudah-mudahan kang Ricky bisa istiqamah. Insya Allah beliau bisa berproses ke arah yang lebih baik. Mengamati perubahannya, aku salut. Dia dan teman-temannya mau terus mengkaji Islam meski pun kepada orang yang usianya lebih muda. Padahal tidak semua orang bisa mendengar perkataan orang di bawah usianya.

http://mediaumat.com/sosok/57.html

Hari Moekti: Hidup itu Pilihan!


                                                         HARI MOEKTI " ketika jadi Rocker kondang "


 HARI MOEKTI " Ketika hidupnya ia dedikasikan untuk Dakwah melanjutkan kehidupan Islam "




{mosimage}Sindiran apa yang kudapat, ”Hari Moekti itu bagaikan lilin yang menyala, bermanfaat menerangi lingkungan tetapi tubuhnya terbakar”.

Ramadhan 1995, aku diundang dalam acara dialog interaktif 'Buka Puasa Bersama Artis' di SMAK Analisis Kimia Bogor. Saat itu dialog dengan Adi Maretnas dengan moderator Muhammad Syamsul Arifin. Adi ini kok pinter banget, pikirku. Masih muda tapi otaknya seperti kiai saja, karena semua argumenku terbantahkan. Usai acara Syamsul ngobrol denganku. Dia mengajak aku untuk mengaji kepadanya. Aku bertanya, boleh enggak aku mengaji lagi di tempat lain. ”Boleh, ngaji itu bisa ke mana saja. ”Yang penting kita punya pemahaman,” jawab Syamsul. “Pemahaman apa?” tanyaku.”Kepemimpinan berpikir, pemimpin kita itu bukan perasaan tetapi pikiran kita yang diatur oleh syariah Islam. Jadikanlah Islam sebagai kepemimpinan berpikir” tandasnya.

”Intelek sekali, hebat banget ucapan-ucapan kayak begini,” ujarku dalam hati. Ia berbicara panjang lebar. Akhirnya aku mengerti ternyata sekitar 80 persen ajaran Islam adalah terkait politik. Artinya sebagian besar ajaran Islam itu mengatur seluruh kehidupan manusia, seperti pendidikan, ekonomi, budaya, peradilan, pemerintahan dan lainnya. Sisanya, ya terkait ibadah mahdlah dan lainnya.



Seperti Lilin

Sejak itu aku dibina seorang ustadz muda secara rutin dengan berbagai dalil. Di antaranya Surat Al-Mulk ayat 2, agar Dia menguji kalian siapa di antara kalian yang amal perbuatannya paling sempurna. Aku sebagai artis banyak amalnya. Membangun masjid, sunatan massal, sedekah menyekolahkan anak-anak orang miskin tetanggaku dan menyantuni anak yatim. Sindiran apa yang kudapat, ”Hari Moekti itu bagaikan lilin yang menyala bermanfaat menerangi lingkungan tetapi tubuhnya terbakar”. Artinya, pikiranku, hartaku, tenagaku, itu bermanfaat bagi orang lain tetapi akan mencelakakanku di akhirat, karena tidak mendapat ridla Allah.

Benarkah amalku selama ini tidak diridhai Allah? Aku terus mencari jawaban. Ayat Al Mulk itu ternyata menjelaskan bahwa ahsan amalan (perbuatan terbaik) itu harus dilandasi dengan niat ikhlas dan cara yang benar berdasarkan tuntunan Rasulullah. Aku lalu berpikir, apakah waktu menyumbang niatku ikhlas dan memperolehnya dengan benar? Dari situlah aku belajar memahami Surat Al-Fatihah, Alhamdulillahirabbil 'alamiin, segala puji bagi Allah Yang mengatur alam semesta. Maknanya, tidak layak dipuji, tidak layak memuji selain Allah. Sebagai artis, aku selalu ingin dipuji, selalu ingin memuja selain Allah. Sedangkan orang yang ihsan itu Mukmin yang beribadah, semata-mata hanya karena Allah.

Orang ikhlas itu selalu menutupi amal shalihnya sebagaimana ia menutupi keburukannya. Seperti orang yang kentut tanpa suara tapi baunya ke mana-mana. Pasti malu bila ketahuan kentut. Agar tidak ketahuan, pura-pura tidak merasa kentut. Jadi kalau orang ikhlas itu amal shalihnya bila tercium orang lain pura-pura tidak tahu. Kalau aku, saat itu, malah senang diberitakan di radio, televisi dan koran. Harusnya seperti orang yang kentut tadi, ia berharap agar baunya cepat-cepat hilang, bersyukur kalau tidak ada orang yang mengetahui kalau ia yang kentut.

Lantas apakah harta yang kuperoleh itu dari jalan yang benar? Pertanyaan itu berkecamuk dalam benakku. Ihdinashirathal mustaqiim, tunjukilah kami jalan yang lurus. Jalan yang lurus itu sirathal ladziina an'amta 'alaihim, jalannya orang-orang yang telah Engkau beri nikmat, yakni Nabi-Nabi dan para pengikut setianya. Bukti sebagai pengikut setia itu ya tentu saja yang mengikuti Nabi Muhammad SAW. Karena, tidak beriman seseorang di antara kalian, sehingga hawa nafsunya mengikuti apa-apa yang kubawa, begitu sabda Nabi SAW. Apa yang Nabi Muhammad SAW bawa? Yaitu Alquran dan Sunnah. Yang kemudian diijtihad oleh para mujtahid dan diperkenalkanlah kepada kita sebagai syariah Islam dengan hukum yang lima itu, wajib, sunah, mubah, makruh dan haram.

Ghairil maghdhubi 'alaihim, dan bukan jalannya orang-orang yang Engkau murkai. Mengapa kaumYahudi dimurkai padahal mereka adalah orang-orang yang cerdas? Ya karena kecerdasannya dipakai untuk merusak umat Islam. Jadi artis sebenarnya adalah ujung tombak Yahudi untuk menyebarkan paham setan, di antaranya adalah seks bebas dan sinkretisme agama. ”Jadi aku harus meninggalkan dunia artis ini?” tanyaku. ”Oh terserah Kang Hari, ente kan sudah paham tentang qadla dan qadar bahwa hidup itu pilihan,” ujar Syamsul.



Terus aku berdoa kepada Allah, ”Ya Allah berikan aku kekuatan untuk mampu meninggalkan apa saja yang Engkau tidak sukai dan gantikanlah aktivitas kehidupanku ke aktivitas yang Engkau ridhai”. Doa itu kupanjatkan di Padang Arafah ketika ibadah Haji awal tahun 1996. Pulang naik haji, aku berubah total. Tanpa ragu kutinggalkan dunia artis ketika kontrak sinetron dan iklan tinggal kutandatangani saja. Bahkan kontrak menyanyi yang sedang berlangsung, kubatalkan. Karena aku paham, dunia artis itu banyak keharamannya.

Memang, hukum nyanyinya sih mubah tetapi aktivitas lainnya yang terkait nyanyi banyak haramnya. Aku baru naik panggung saja, para penonton sudah mabuk. Campur baur laki-laki dan perempuan. Aku nyanyi, yang nonton memujaku, jatuh syirik nantinya. Si penyanyinya itu, tidak bisa dihilangkan dari rasa ingin dipuji, ujub namanya. Itu yang aku rasakan. Dua belas tahun aku sebagai artis dipuja-puja setan. Ternyata, saat itu, aku juga setan. Astaghfirullah.

Satu setengah tahun sejak dialog di SMAK itu, aku baru ngeh bahwa ustadz muda itu adalah aktivis Hizbut Tahrir. Kemudian aku diminta bergabung berdakwah, berjuang bersama untuk menyadarkan umat agar mau menegakkan kembali institusi politik Islam yakni Khilafah Islam. Aku jawab, kenapa tidak dari dulu saja Tadz![] joko prasetyo


http://mediaumat.com/sosok/474.html

Prof. Hassan Ko Nakata (Cendekiawan Jepang): Dunia Butuh Khilafah

Namanya mencuat di Indonesia ketika ada Konferensi Khilafah Internasional (KKI) di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Jakarta, Agustus 2007. Ia adalah salah satu pembicara kegiatan akbar yang menghentak dunia pada saat itu. Sebelumnya kaum Muslim di Indonesia tak banyak tahu ada seorang cendekiawan Jepang yang begitu besar perhatiannya terhadap dakwah Islam.

Prof. Hassan Ko Nakata (49) adalah satu dari sedikit kaum intelektual di negeri matahari terbit yang tertarik pada Islam. Ia mengaku masuk Islam pada tahun 1983. Itu pun dilakukannya setelah 15 tahun mempelajari Islam. Cukup lama untuk sebuah keputusan yang buat kebanyakan orang di Indonesia adalah hal biasa, tapi tidak untuk orang Jepang karena agama bagi orang Jepang sudah out of mind (berada di luar semesta pemikiran). Kebanyakan orang Jepang tak lagi memerhatikan agama.

Presiden Asosiasi Muslim Jepang ini masuk Islam ketika menjadi mahasiswa di tahun ketiga di Fakultas Studi Islam di Tokyo University. Sebelumnya ia sangat familiar dengan agama Kristen. Tak heran ketika awal kuliah di Tokyo University, ia mengikuti kelompok kajian Bibel. Di situlah ada kajian tentang perbandingan agama.

Di sana ada perbandingan agama Kristen, Yahudi, Shinto, Budha, dan Islam. Ketika menimbang dan membanding selama sekitar setahun ia merasa ajaran Islamlah yang paling menyeluruh. “Saya menemukan bahwa Islamlah sistem hidup yang paling komprehensif, paling rasional dan konsisten, dan akhirnya atas rahmat Allah SWT saya memutuskan untuk masuk Islam,” tuturnya. Ia pun menambahkan Hassan di depan nama aslinya. Ia pernah mendalami tarekat Naqshabandiyah dan Syaziliah. “Namun saya bukan murid yang baik,” ujarnya.

Usai bergelar sarjana, Hassan ingin lebih memperdalam Islam. Namun belum ada program master Kajian Islam di universitas Jepang. Buku-buku Islam berhuruf kanji pun masih sulit didapat. Untunglah tak lama kemudian Universitas Tokyo membuka program master Kajian Islam. ''Saya menjadi mahasiswa Muslim pertama dan terakhir di jurusan Islamic Studies Universitas Tokyo selama 25 tahun ini,'' ujar Profesor ini.

Setelah menyelesaikan masternya di Tokyo University, ia melanjutkan studi doktornya di Universitas Kairo. Disertasianya tentang Pemikiran Politik Ibn Taymiyah (al-Fikratu al-Siyasatu 'inda Ibni Taymiya). Dalam disertasi itu ia menjelaskan keunikan pemikiran politik Ibnu Taymiyah dalam sejarah pemikiran politik dan pengaruhnya terhadap gerakan politik kontemporer, termasuk terhadap Hizbut Tahrir. Setelah lulus doktor, Hassan sempat menjadi peneliti Kedutaan Jepang di Saudi Arabia (1992-1995). Tak heran ia sangat fasih berbahasa Arab.

Kiprahnya dalam dakwah di Negeri Sakura ini tergolong menonjol. Karakteristik orang Jepang sekarang cuek terhadap agama memacunya mencari jalan untuk bisa mendakwahkan Islam. Terlebih lagi sangat sedikit dai yang berkualitas.
Satu-satunya jalan terbaik untuk menyebarkan Islam di Jepang, menurutnya, adalah melalui pengaruh personal dari pelaku dakwah yang memiliki pengetahuan yang luas dan mendalam tentang Islam dengan kepribadian yang baik serta memahami budaya Jepang.

Ia bersama minoritas Muslim Jepang melakukan berbagai upaya, di antaranya menerjemahkan sejumlah kitab klasik seperti Tafsir al-Jalalain, al-Siyasah al-Syar'iyyah of Ibn Taimiyyah, dan Zad al-Mustaqni' al-Hujawi al-Hanbali, juga menerbitkan majalah bulanan yang disebarkan secara cuma-cuma kepada seluruh Muslim Jepang di seluruh dunia sebagai media informasi dan komunikasi.

Hassan Ko Nakata kini menjadi Presiden Asosiasi Muslim Jepang sembari mengajar Kajian Islam di Universitas Doshisha, Kyoto. Mayoritas mahasiswanya justru beragama Kristen. Selama empat tahun menjadi Guru Besar di Doshisha, Hassan berhasil memikat empat mahasiswanya yang semula atheis untuk masuk Islam.



Kontak dengan Hizbut Tahrir
Banyak orang mengira bahwa profesor ini adalah anggota Hizbut Tahrir (HT) sebab pandangan-pandangannya tentang Islam mempunyai kesamaan dengan pemikiran HT. Ternyata ia memang memiliki kontak dengan anggota HT.

Kontak itu terjadi ketika ia mengunjungi Arab Saudi. Ia bertemu dengan syabab HT di negeri itu. Syabab ini seorang dokter dan kini tinggal di Kanada. Dari dokter inilah ia mengetahui banyak soal pemikiran-pemikiran HT tentang keharusan menegakkan Khilafah.

Ia mengaku sangat terkesan dengan pertemuan itu. Menurutnya, Hizbut Tahrir adalah satu-satunya gerakan politik Islam yang memiliki teori politik yang konsisten dan terintegrasi yang disusun berdasarkan pemahaman yang mendalam terhadap syariah dan realitas Dunia Islam kontemporer.

“Saya tidak yakin bahwa kita, umat Islam, dapat menegakkan kembali Khilafah hanya dengan usaha kita semata. Tapi saya percaya bahwa satu-satunya jalan untuk menegakkan kembali Khilafah, di luar adanya keajaiban dari Allah, adalah melalui usaha dengan metodologi yang berdasar pada pemikiran politik Hizbut Tahrir. Hanya, pemikiran itu memerlukan pengembangan dan penyesuaian sesuai dengan perubahan-perubahan kontemporer yang terjadi di dunia,” kata Profesor Hassan.

Ketika berbicara di hadapan 100 ribu orang yang memadati Stadion Utama Gelora Bung Karno Agustus 2007, ia mengatakan, “Dalam konteks dunia Islam kontemporer, hanya Hizbut Tahrirlah yang bisa dikatakan sebagai “gerakan politik Islam” yang memperjuangkan terealisasinya Khilafah yang merupakan panggilan universal; tidak hanya untuk umat Islam, tetapi lebih dari itu.”

Ia mengatakan bahwa Khilafah tidak hanya dapat diterima oleh komunitas non Muslim, namun juga sangat diinginkan oleh mereka yang percaya kepada kesetaraan, keadilan, kebebasan dan kemanusiaan. Alasannya, sistem Khilafah memiliki pemerintahan “membumi” atau “bersifat keduniaan” yang menjamin otonomi komunitas beragama dalam konteks sosial yang sangat beragam. Sistem Khilafah ini juga berfungsi sebagai sarana pembebasan untuk mengentaskan sistem negara bangsa yang eksplotitatif yang memenjarakan dalam penjara “negara bangsa”.
Ia menyebutkan dua peran ganda Hizbut Tahrir, yakni mencerahkan umat Islam akan kewajiban mereka dalam mendirikan kembali Khilafah sesuai dengan hukum syariah dan menjelaskan misi Islam universal dari sistem Khilafah kepada dunia Barat dengan sudut pandang ilmu sosial negara Barat.

Dalam konteks itu, ia menyimpulkan bahwa Indonesia merupakan tempat terbaik untuk menjalankan misi Islam ini karena kondisinya yang tidak ditemukan di negeri Muslim lainnya.[] mujiyanto

Biodata Prof Hassan Ko Nakata
Lahir : Okayama, Jepang, 22 Juli 1960
Karir Akademis:
1984 : Sarjana Islamic Studies Universitas Tokyo
1986 : Master Islamic Studies Universitas Tokyo
1992 : Ph.D Islamic Philosophy Universitas Kairo
1992-1995 : Peneliti Kedutaan Jepang di Saudi Arabia
1995-2003 : Guru Besar di Universitas Yamaguchi
1997-1998 : Direktur Pusat Studi Kairo di Japanese Society for Promotion of Sciences
2003-sekarang : Guru Besar Fakultas Teologi dan Wakil Direktur Pusat Studi Agama-agama Monoteis di Universitas Doshisha. Saat ini mengawasi proses penerjemahan Tafsir Jalalain ke bahasa Jepang yang dikerjakan oleh Habibah Kaori Nakata.


http://mediaumat.com/sosok/1051.html

Sabtu, 28 Mei 2011

Budi Kristyanto: Dari Vatikan Hingga Khilafah

Budi Kristyanto
(Aktivis Dakwah asal Jakarta) |



Vatikan yang hanya mengurus masalah ibadah atau kerohanian saja, sudah begitu solidnya. Apalagi kalau Khilafah muncul lagi.

Aku anak ketiga dari tujuh bersaudara. Terlahir di tengah keluarga Kristen Katolik yang taat di Jakarta pada 23 Desember 1979 dengan nama Ignatius Budi Kristyanto. Setiap Minggu aku rajin ke gereja. Bahkan rumahku pun sering dijadikan tempat koor teman-teman orang tuaku.

Ayah mendidik anak-anaknya untuk terbuka dan kritis. Tidak menelan mentah-mentah informasi apalagi yang terkait dengan keyakinan. Apa yang menjadi gejolak pencarian kebenarannya selalu dilempar pula ke anak-anaknya termasuk aku, padahal aku masih SD.

Ia pun menceritakan dialognya dengan Romo di gereja. “Yesus itu siapa? Kalau Yesus adalah Tuhan mengapa ia diciptakan? Mengapa Tuhan ada tiga? Padahal dalam Bible sendiri Yesus tidak pernah menyebut dirinya sebagai Tuhan. Sayangnya Romo selalu menjawab seperti ini: “Jika saya jawab keimanan kamu akan menurun”.

“Itu jawaban tidak bijak,” ujar ayah. Sehingga aku menjadi ikut berpikir. Sejak saat itu pun aku mulai meragukan trinitas dan mulai meyakini Yesus bukan Tuhan.


Kecewa

Meskipun nyebelin, karena mereka suka nyentil-nyentil masalah keimanan, aku sering sekali bergaul dan bertukar pendapat dengan teman-teman Muslim padahal kami masih SD. Ada satu omongan dari temanku yang tidak sengaja kudengar. Rupanya mereka cemburu sama umat Katolik, yang membangun gereja.

“Di sana tiba-tiba ada gereja gede, itu dari Vatikan paling,” ujarnya kepada teman yang lain. Aku pun menimpali, “Lho memang kenapa kalau dari Vatikan , itu kan dari pimpinan agamanya sendiri dari Roma sampai ke sini bisa memberikan dananya, itu kan hebat banget berarti kan umat Katolik solid, nah kenapa kamu nggak punya?”.

Ketika aku kelas 1 SMP ayahku masuk Islam. Aku agak sedikit kecewa, mengapa ayah masuk Islam sehingga dalam keluarga ada dua agama. “Biar tidak dua agama ya semuanya masuk Islam dong,” kata ayahku. Tentu saja aku menolak. Ibu dan saudaraku pun demikian.

Karena saat itu aku menganggap bahwa sebuah agama itu dilihat dari umatnya bukan dari ajaran dalam kitab sucinya. Aku lihat umat Islam itu kan miskin, suka cekcok, banyak yang jadi pencuri. Sedangkan umat Katolik itu solid atau guyub. Misalnya saat koor, menyanyikan lagu-lagu pujian kepada Tuhan. Dan sering banget koor tersebut diadakan di rumahku.

Aku melihat kok solid banget, kesannya tidak dikoordinir kok kompak banget. Ada yang bawa makanan, nyumbang uang dan lainnya padahal tidak diminta. Aku pun tidak pernah melihat bila ada gereja dibangun dan panitia pembangunan gereja minta sumbangan di jalan-jalan.

Kesolidan semacam itu tidak aku lihat di umat Islam. Itulah yang menjadi rem bagiku sehingga tidak kunjung masuk Islam. Meskipun berulang kali ayah sering mengatakan bahwa Bible itu isinya beda tahun terbitan ya berubah. Jadi sudah tidak asli lagi. Aku tetap bersikukuh.

Masuk Islam

Kelas 1 SMA, aku berpikir lagi lantas aku ini umat apa? Islam bukan Katolik juga bukan. Wah jadi umat yang bukan-bukan dong. Berarti ini ada yang salah. Apakah aku belum memahami Katolik secara menyeluruh atau belum memahami Islam secara menyeluruh.

Aku pun memperhatikan aktivitas di mushala sekolah, suasananya memupus stigma negatifku tentang Islam. Dan mungkin ini agak tidak rasional ya, di mushola tersebut terasa sejuk, padahal udara di sekitar begitu panas. Suasana mushala betul-betul hidup, tempat mungil itu tidak hanya untuk shalat tetapi digunakan juga untuk diskusi dan belajar. Ternyata mereka pun guyup!

Aku pun memutuskan turut dalam diskusi itu. Aku sampaikan masalahku. Dengan gamblang mereka menjelaskan bahwa Tuhan atau Allah itu tidak beranak tidak pula diperanakkan, Allah itu berbeda dengan makhluk. “Kalau kamu melihat ajaran agama itu dari umatnya, untuk saat ini, kamu pasti akan melihat tidak ada satu pun agama yang benar di dunia ini,'' ujar salah satu teman sekolahku itu.

Dia pun mencontohkan ketika seseorang itu salah belum tentu kesalahan itu terjadi karena orang tersebut sedang mengamalkan agamanya. Di Indonesia banyak pencuri beragama Islam itu karena di Indonesia mayoritas penduduknya beragama Islam. Coba tengok Filipina, di penjaranya dipenuhi pencuri yang beragama Kristen. “Apakah Kristen mengajarkan umatnya mencuri? Kan tidak, begitu juga Islam,” ujarnya.

Jadi kalau mau tahu ajaran itu benar atau salah harus langsung merujuk kepada sumber ajaran itu sendiri, yakni kitab sucinya. Pas aku baca Alquran dan mempelajari Islam lho ternyata di Islam pun mengajarkan kasih sayang dan moralitas lainnya yang ada di Katolik. Ya penjelasannya memang mirip dengan penjelasan ayah. Namun pikiranku baru terbuka ketika diskusi dengan mereka.

Cocok dong dengan Katolik. Tapi Islam ada kelebihannya, pikirku, karena masalah ketuhanan Islamlah yang benar! Maka aku pun langsung masuk Islam. Alhamdulillah, akhirnya keluargaku semua masuk Islam.

Setahun setelah lulus kuliah, tepatnya pada tahun 2005 aku menikah. Alhamdulillah pemahamanku tentang Islam semakin membaik. Karena istriku banyak menyampaikan apa-apa yang dia pahami tentang Islam. Awalnya aku selalu mendebat tetapi jawabannya mematahkan argumenku.

Jawabannya mencerahkanku, ternyata Islam tidak seperti yang aku kira selama ini. Aku kagum, olok-olokanku waktu SD itu, “mengapa kamu tidak punya Vatikan!” ternyata umat Islam itu dulu punya. Sekarang umat Islam menjadi begini karena institusi tersebut sudah tidak ada. Institusi tersebut disebut dengan Khilafah Islam. Untuk memahami Islam lebih dalam aku pun turut mengaji.

Vatikan yang hanya mengurus masalah ibadah atau kerohanian saja, sudah begitu solidnya. Apalagi kalau Khilafah tegak lagi. Karena Khilafah mengurus juga masalah pendidikan, ekonomi, politik, sistem pergaulan, pemerintahan dan lainnya yang semuanya itu bersumber dari Alquran dan Sunnah. Subhanallah.[] seperti dituturkan budi kristyanto kepada joko prasetyo

http://www.mediaumat.com/sosok/919.html

Sabtu, 21 Mei 2011

Ahmad Rusydan (Peneliti Kanker) Tidak Hilang Kritis Karena Beasiswa





Ahmad Rusydan Utomo, PhD.
Peneliti Kanker

Tak sedikit santri, pelajar dan mahasiswa Muslim Indonesia berburu mendapatkan beasiswa melanjutkan pendidikannya ke Amerika, Eropa atau Australia. Nanti pulang bisa berbahasa Inggris cas-cis-cus sambil memamerkan gelar PhD-nya. Kemudian ketika pulang ngoceh aneh tentang agama dan syariah bahkan sampai nyeleneh dan sesat. Atau minimal menjadi 'humas' Paman Sam.

Berbeda dengan stigma di atas, Ahmad Rusydan Utomo malah bersikap sebaliknya. Meskipun di Amerika ia mendapatkan berbagai kemudahan bahkan beasiswa selama 17 tahun dari kelas 3 SMA sampai pos doktoral. Tetapi ia berseberangan pemikiran dengan pemerintah Amerika.

Maka di saat para peneliti kesehatan merasa keberatan kalau unit riset virus milik Angkatan Laut AS NAMRU ditutup, justru ia termasuk orang yang tidak setuju bila NAMRU dipertahankan.

Dalam milis biotek, perkumpulan ilmuan bioteknologi, Ahmad memposting hal sebaliknya karena NAMRU sebenarnya hanya memperalat para peneliti Indonesia semata-mata hanya demi kepentingan AS.

Tentu saja, para peneliti banyak yang kaget, terutama mantan Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia Kartono Muhammad. Kemudian Kartono menelepon kolega Ahmad dan bertanya benarkah Ahmad itu anti NAMRU? Dengan tegas Ahmad mengatakan kepada koleganya itu, "Ya benar, Ahmad Utomo itu memang anti NAMRU".

Keberanian dan ketegasannya ini tidak hanya ia tunjukkan di tanah air saja. Ketika ia kuliah di Amerika pun tanpa tedeng aling-aling ia tunjukkan sikapnya dengan tegas keberpihakannya kepada Islam dan kebenciannya terhadap kedzaliman pemerintah Amerika terhadap dunia Islam.

Maka tidak aneh dua hari setelah peristiwa penghancuran dua gedung kembar WTC (911) dua petugas imigrasi mendatanginya. Petugas itu menanyakan identitas diri dan tujuan keberadaannya di Amerika. Kemudian menanyakan pendapatnya tentang 911 sampai akhirnya petugas imigrasi itu menanyakan tentang sikapnya terhadap Amerika.

Meskipun ia merasa kaget dan menyadari posisinya terancam tetapi pantang baginya untuk berbohong. Maka ia gunakan kesempatan itu untuk mengkritik kebijakan Amerika yang tidak bijak terhadap negeri-negeri Islam terutama kepada Palestina, Afghanistan dan Bosnia.

"Saya itu belajar di sini (Amerika, red.) sejak kelas 3 SMA tahun 1990 dan saya tahu banyak kelompok Amerika yang anti Amerika. Dan saya tahu ini adalah peperangan intelektual, jadi saya memang kritis terhadap pemerintah Amerika tetapi saya bukan satu-satunya. Orang Amerika juga banyak yang seperti itu," ujarnya kepada dua orang petugas imigrasi.

Mereka hanya senyum-senyum saja sambil membuat catatan-catatan di buku yang dibawanya, tanpa menjawab. Kemudian pergi.

Usai shalat Maghrib berjamaah di masjid, Ahmad menceritakan kabar tentang apa yang terjadi di hari tersebut. Mereka yang di masjid memarahi Ahmad, "Kamu itu bodoh, mereka itu kan cuma pegawai biasa mengapa kamu jawab jujur begitu, bisa-bisa kamu diciduk," ujar salah seorang jamaah. Bagi mereka sikap Ahmad itu terlalu berani.

Imam masjid di Amerika pun tidak ada yang seberani itu. Misalnya pada saat Chechnya diserang Rusia, dalam bacaan qunutnya ketika baca qunut para imam masjid berdoa yang sangat mengharukan "Yaa Allah kalahkanlah tentara Rusia... menangkanlah kaum Muslim Chechnya". Tetapi ketika Amerika menggempur Afghanistan, Ahmad tidak mendengar doa qunut yang menginginkan Amerika kalah.

Mengenal HT

Ahmad Utomo lahir di Jakarta pada 10 Juli 1973. Sekolah sejak SD hingga kelas 2 SMA di Semarang. Kelas tiga ia teruskan di Amerika karena ia terpilih dalam program pertukaran pelajar selama setahun. Kemudian ia mendapat beasiswa meneruskan kuliah di Amerika.

Sejak S1, setiap diskusi keislaman pemikiran Nurcholis Majid jadi rujukannya sampai ia bertemu mahasiswa asal Maroko di Islamic Center San Antonio, di sela-sela penelitian S3-nya. Saat itu 1997. Seorang peserta diskusi menyodorkan buletin yang berjudul 'Membakar Rumah Sendiri', dalam bahasa Inggris.

Isinya ternyata membahas Jamaluddin Al Afghani, Rasyid Ridha. Pembahasannya sangat bertolak belakang dengan yang ditulis Nurcholis Majid. Cak Nur menyebutkan mereka itu pembaharu, reformis, tetapi di buletin tersebut mereka menjadi tokoh antagonis. "Ini sangat mengagetkan saya" ujar Ahmad.

"Baca saja, pekan depan ketemu yuk kita diskusi," kenangnya menirukan ucapan lelaki yang ternyata anggota HT itu. Karena Ahmad Utomo adalah tipe orang yang suka diskusi maka ia pun menerima ajakan itu dan berdiskusi di rumahnya secara rutin. "Kami diskusi dari jam 10 malam hingga jam satu atau dua pagi".

Tidak terasa karena pembahasannya sangat menarik. Ahmad Utomo benar-benar merasa mendapat pencerahan. Kebaikan AS selama ini dengan memberikan beasiswa kepadanya ternyata tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan kedzaliman negara pengemban kapitalisme itu merampok sumber daya alam negeri-negeri kaum Muslim dan membunuhi penduduknya yang melawan.

Di Amerika saat itu personel HT memang masih sedikit namun demikian dianggap vokal menentang kesewenangan Amerika terhadap negeri-negeri Muslim. Akibatnya yang banyak menentang HT itu orang Islam Amerika sendiri. Karena bagi kebanyakan Muslim di Amerika, HT ini dianggap membahayakan posisi mereka yang sudah mapan dan nyaman tinggal di sana. Apalagi setelah 911, Mereka kuatir tiba-tiba dijerat UU secret evidence, yang melegalkan pemerintah menangkap siapa saja meski tanpa menunjukkan bukti. Akhirnya kalau pun mereka setuju dengan HT itu di hati atau secara diam-diam.

Ada satu nasihat dari syabab asal Maroko itu yang selalu terngiang di benak yang membuat ia berani menyuarakan kebenaran, "Takutlah hanya kepada Allah SWT, jangan manusia. Karena yang memberi kamu rezeki itu hanyalah Allah bukan manusia".[] joko prasetyo

Riwayat Akademik Sang Pakar Kanker


Saat ini Ahmad Utomo bekerja sebagai Peneliti Utama di Divisi Kanker pada salah satu perusahaan farmasi terkemuka di Indonesia dan Pembimbing (kedua) mahasiswa S2 Fakultas Kedokteran UI Program Biomedik yang melakukan penelitian kanker. Ia pun pernah sebagai penguji eksternal proposal dana hibah UI.

Adapun riwayat akademisnya adalah sebagai berikut:

- Postdoctoral Research Fellow (2003-2007), Brigham and Women's Hospital and Harvard Medical School, Boston, Massachusetts USA.

- Senior Research Fellow, American Lung Association (2005-2007), USA.

- PhD Molecular Medicine 2003 University of Texas Health Science Center at San Antonio, Texas USA.

- BS Chemistry Magna Cum Laude 1999, Angelo State University, San Angelo, Texas, USA

Penghargaan:

- American Chemical Society Undergraduate Achievement Awards (1999) penghargaan dari Masyarakat Kimia Amerika ketika menyelesaikan program S1-Kimia

- Carr Academic and Research Scholarship (1992-1999)

- American Lung Association Senior Fellowship (2005-2007), USA.

Berbagai publikasi internasional dan nasional telah ditulisnya.


sumber : http://www.mediaumat.com/sosok/1269.html

Dr. Ing. Fahmi Amhar: Dakwah, Sebuah Panggilan






Pertama kali aku berdiskusi dengan HT, aku cenderung menolak, karena aku mendapat kesan, “ini orang kok ngomong Negara Islam seperti semudah membalik tangan,…

Aku Fahmi Amhar. Lahir tahun 1968 di Magelang. Berasal dari keluarga besar Nahdliyyin. Pakdhe-ku itu murid KH Hasyim Asy'ari, pendiri NU, dan sempat 6 tahun mengajar di Tebu Ireng. Ayahku secara politisi Masyumi. Namun beberapa kakakku ikut Muhammadiyah. Di SMP aku dapat mentor seorang aktivis HMI (Himpunan Mahasiswa Islam). Waktu SMA aku ikut bergabung dengan PII, Pelajar Islam Indonesia, hingga aku menamatkan sekolah tersebut pada 1986.

Aku kemudian melanjutkan di Jurusan Fisika Institut Teknologi Bandung. Aku suka ikut kajian-kajian di Masjid Salman ITB. Namun hanya berjalan satu semester karena aku mendapat beasiswa dari Overseas Fellowship Program (OFP) Ristek yang dikenal dengan “Program Habibie” untuk menempuh studi di Austria.

Pertama Kontak

Di Eropa aku tetap konsern terhadap permasalahan Islam dan umatnya. Saat itu, aku suka dengan khutbah Jum'at yang khatibnya orang Ikhwanul Muslimin. Aku pernah mengagumi banyak pemikiran dari al-Maududi sampai Yusuf Qardhawi. Akupun pernah ikut khuruj bersama teman-teman Jama'ah Tabligh.

Di sana pulalah pertama kali aku kontak dengan orang-orang HT, tepatnya di Kota Wina, Austria tahun 1990. Tentu saja saat itu aku belum tahu bahwa mereka aktivis HT. Yang jelas mereka membicarakan topik-topik Negara Islam atau Khilafah.

Pada saat pertama kali aku berdiskusi dengan HT, aku cenderung menolak, karena aku mendapat kesan, “ini orang kok ngomong Negara Islam seperti semudah membalik tangan? Padahal kan prosesnya pasti panjang, rumit dan berliku”.

Namun mereka tetap sabar melayaniku dan mengajakku mengikuti kajian umum tentang berbagai hal, seperti bagaimana memahami dan menyikapi perbedaan mazhab, tentang fiqih perempuan, lalu tentang kasus Bosnia yang tahun 1991 itu sedang marak, dan isu hangat lainnya.

Para peserta diberikan kebebasan bertanya dan bahkan mendebat. Lama-lama aku tertarik ketika mereka menjelaskan bagaimana umat Islam itu kini bisa terpuruk, padahal dulu pernah menjadi mercusuar peradaban dunia.

Menurutku, penjelasan HT dalam masalah ini adalah yang paling logis, komprehensif, runtut dan mendalam yang pernah aku temui. Tidak sekadar simplikasi seperti “Umat terpuruk karena meninggalkan Alquran dan Sunnah” atau “Umat terpuruk akibat penjajahan”.

Jawaban-jawaban mereka bisa memuaskanku seperti pertanyaan “Bagaimana ya umat yang dulu dibangkitkan oleh Rasulullah itu bisa berangsur-angsur meninggalkan apa yang membuat mereka bangkit? Mengapa mereka jadi bisa dijajah?”.

Aku pun sangat terkesan dengan tingkat kecerdasan politis-spiritual yang tinggi para aktivis HT. Tentu saja aktivis HT juga ada bermacam-macam sebagaimana di semua komunitas. Namun aku pikir, tingkat kecerdasan politis-spiritual aktivis HT memang ada di atas rata-rata.

Yang aku maksud tingkat kecerdasan politis-spiritual adalah bahwa mereka memiliki sikap kritis yang tinggi atas segala fenomena sosial, baik di tingkat lokal maupun di dunia internasional, dan itu selalu dihubungkan dengan apa yang diajarkan oleh Rasulullah SAW dan para Shahabat ra.

Masalah shalat misalnya, pada awalnya adalah masalah ibadah, bukan politik. Tapi bagaimana mengupayakan agar orang-orang bisa shalat, baik di pabrik maupun di mall, itu pasti memerlukan upaya-upaya politik. Demikian juga untuk kewajiban Islam yang lain.


Terpanggil

Aku pernah dua tahun terpaksa sekamar dengan orang Nasrani, bahkan juga dengan orang komunis. Mau tak mau pernah bergulat dengan pemikiran: mengapa aku harus percaya dengan Islam. Di sinilah aku kemudian melihat kajian thariqul Iman yang diberikan HT sangat memuaskan secara rasional dan menenangkan jiwa.

Di samping itu, yang semakin membuatku terkesan, mereka berdakwah sebagai panggilan, bukan sebagai profesi untuk mencari penghidupan. Jadi aktivis HT biasanya memiliki profesi yang dengan itu mereka menghidupi dakwahnya.

Mereka pun begitu unik. Karena hanya dapat dikenali dari pemikiran atau sikapnya, bukan dari wujud fisik seperti bentuk pakaian atau tempat pertemuan yang eksklusif. Sehingga aku berfikir inilah wadah yang pas untukku berjuang. Akhirnya pada 1995 aku pun memutuskan untuk bergabung dengan HT Austria. [] seperti dikisahkan fahmi amhar kepada joko prasetyo


Biodata Singkat
Nama                                  : Dr. Ing. Fahmi Amhar
Profesi                                : Ahli Peneliti Utama bidang Sistem Informasi Spasial di BAKOSURTANAL
: Dosen pasca Sarjana IPB dan Universitas Paramadina
: Trainer TSQ



sumber : http://www.mediaumat.com/sosok/953.html

Sabtu, 14 Mei 2011

Pejuang Khilafah dalam Gelapnya Dunia

Pernahkah Anda membayangkan bagaimana sulitnya seorang tunanetra mencari buku yang dapat dibaca? Tentu saja buku yang dimaksud adalah buku dengan huruf Braille, sejenis sistem tulisan sentuh yang digunakan oleh orang buta. Maka pernah tercetus dalam benakku untuk mencoba mengonversi kitab-kitab Hizbut Tahrir dalam versi Braille namun urung kulakukan lantaran terkendala kepraktisan dan biaya.

Bayangkan, Alquran saja yang mushaf-nya bisa Anda masukkan dalam saku atau bahkan dalam program di HP, maka 30 juz Alquran Braille terdiri dari 30 jilid. Bila ditumpuk besar dan tebalnya setara dengan satu dus televisi 21 inci. Harganya pun tidak murah. Perjilidnya sekitar 1,25 juta rupiah. Jadi kalau ingin mendapatkan 30 jilid, sekitar 37,5 juta uang yang harus dikeluarkan.

Terbatasnya referensi tertulis dalam bentuk salinan huruf Braille, apalagi dengan harga yang wah itu membuatku harus mengoptimalkan indera pendengaran untuk memahami suatu referensi.

Lugas dan Logis
Oh iya, hampir saja aku lupa mengenalkan diri. Namaku Entis Sutisna. Aku seorang buta yang mengajari orang buta. Karena memang profesiku sebagai PNS guru Sekolah Luar Biasa (SLB). Teman sejawat dan murid-murid biasa memanggilku dengan sebutan Pak Entis. Saat ini aku diamanahi jadi pengurus DPP Ikatan Tunanetra Muslim Indonesia (ITMI).

Aku lahir di Ciamis, 10 Juli 1964. Menurut orang tuaku, sejak lahir aku sudah tidak bisa melihat. Ini tampak dari selalu terpejamnya kedua mataku sejak di usia anak normal melek. Sejak SD-SMP aku sekolah di SLB.

Namun ketika SMA dengan kemampuan beradaptasi yang lebih baik di tengah-tengah orang bermata normal, aku masuk ke SMA Negeri 1 Ciamis. Setelah itu, kuberanikan diri masuk kuliah di Universitas Negeri Surakarta, FKIP Jurusan Pendidikan Khusus dan mendapat gelar doktorandus (Drs) pada tahun 1991.

Agamaku Islam. Dari jalur keturunan ibu, kakekku termasuk ketua tokoh agama di masyarakat, mungkin sekarang MUI namanya. Selain itu, kultur di kampung yang cukup kuat nuansa keislamannya turut memberikan warna pada pemahaman keagamaanku.

Awal aku mengenal ide-ide HT pada tahun 1997-an. Saat itu aku sering mengikuti majelis Jamaah Tabligh. Aku berkenalan dan akrab dengan Yoyo, seorang ustadz. Dia sering menyampaikan hasil diskusinya dengan seorang aktivis HT dari Bogor, dia memanggilnya Ustadz Irsyad.

Melalui dialah, aku mengenal pemikiran-pemikiran HT. Akhirnya diskusi demi diskusi pun mulai banyak menyentuh pemikiran terdalam dan mendasar dalam benakku. Hingga ide tentang kemenangan Islam dan kaum Muslimin pun menjadi wacana pemikiran baruku.

Kami pun melakukan beberapa komparasi terutama pandangan tentang kemenangan tersebut, apakah itu berupa hadiah yang akan datang sendiri tanpa diusahakan sebagaimana pandangan yang kuanut sejak kecil ataukah pandangan yang kami pandang baru seperti halnya dari HT yang memandang itu merupakan perkara yang telah menjadi janji Allah namun harus diupayakan dengan langkah penyadaran umat melalui aktivitas dakwah? Akhirnya saya berkomitmen untuk mengkaji lebih dalam tentang ide-ide Islam yang diemban HT dan bergerak memperjuangkan tegaknya ide-ide tersebut.

Sebelum mengenal ide HT, ya yang ku pahami bahwa Islam adalah agama ritual, tidak lebih. Namun setelah mengkaji ide Islam yang diemban HT, terbukalah wawasanku tentang keluasan dan keluwesan Islam yang kaffah. Termasuk gagasan khilafah-nya, yang sangat relevan dengan kebutuhan umat dalam menghadapi problematika yang dihadapinya.

Ada satu kalimat yang terus terngiang dan kalimat itu pula yang membuatku tertarik bergabung bersama HT. “Tegaknya syariah di dalam naungan Daulah Khilafah Islamiyyah, semua itu pasti akan terwujud namun harus kita ikhtiyarkan dan bukan sebatas menunggu kedatangannya,” kata Ustadz Irsyad.

Apalagi ketika ia membacakan kutipan Alquran Surat Ar Ra'd ayat 11. Itu menyegarkan ingatanku tentang apa yang pernah disampaikan Pak Maryadi, dosenku ketika kuliah, “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum kecuali kaum itu sendiri yang mengubah apa apa yang pada diri mereka.” Itu disampaikan Pak Maryadi saat memotivasi mahasiswa yang semuanya tuna netra itu.

Meskipun Islam kaffah ini merupakan pandangan yang baru di lingkungan kami di Ciamis, tapi alhamdulillah, keluarga baik istri dan anak-anakku sangat mendukung. Begitupun keluarga besar istri dan keluarga besarku, ketika aku menyampaikan pandangan ini mereka tidak mempermasalahkan, meski memang ada sih beberapa silang pendapat kecil.

Namun semuanya dapat diatasi. Termasuk juga dengan ayahku yang sempat takut berlebihan manakala isu terorisme digulirkan pemerintah. Alhamdulillah, ayah menjadi tenang ketika kuajak seorang aktivis HT untuk bersilaturahmi dan berbincang bersamanya di rumah. Kesalahan persepsi ayahku dapat diluruskan dengan penjelasan lugas dan logisnya.

Pejuang Khilafah
Keterbatasanku dalam penglihatan tentu akan menjadi pembeda paling mudah dengan orang normal. Bila aktivis dakwah lain bisa dengan lincah ke sana ke mari, aku terkendala. Mobilitas terbatas karena untuk bepergian, bila tidak mengandalkan yang melek untuk menjadi guide maka mengandalkan tongkat dengan segala keterbatasannya.

Selain itu, dalam mengakses ide, sebagaimana halnya orang tunanetra lain maka aku mengandalkan sumber audio. Terbatasnya referensi tertulis dalam bentuk salinan huruf Braille membuatku harus mengoptimalkan indera pendengaran untuk memahami suatu referensi.

Aku memperkaya pengetahuan dari rekaman audio, juga meminta tolong anak dan istri untuk membacakan terjemahan kitab serta majalah, nasyrah, kutaib dan lain-lain sehingga aku bisa menyimaknya. Selain itu, dalam rangka mengejar ketertinggalan, aku membeli komputer dan HP yang telah diisi software yang bisa membacakan file naskah yang ada.

Begitu juga ketika halaqah (pengkajian rutin kitab yang dikeluarkan HT), aku mendapat pengecualian dalam membaca paragraf demi paragraf karena memang tidak ada kitab edisi Braille. Aku cukup menyimak setiap pembahasan yang dilakukan. Dan ternyata inipun terjadi pada rekan-rekanku di luar Kota Ciamis, yang juga telah aktif di HT.

Lho kok Anda kaget? Anda yang matanya melek saja kaget, apalagi aku jelas lebih kaget lagi karena tidak melihat ada orang yang senasib denganku turut gabung berdakwah bersama HT. Padahal mereka tepat di depanku. Barulah aku sadar ketika mereka berbicara.

Itu terjadi beberapa waktu yang lalu saat Muktamar ITMI. Saat itu aku bertemu dengan beberapa pengurus dari beberapa daerah. Ide-ide mereka khas mewarnai curah pendapat yang terjadi selama acara. Dan ketika ditanya kepada yang bersangkutan, ternyata betul bahwa mereka telah aktif di HT.

Dan saat ini? Syukur Alhamdulillah organisasi kami menerima ide-ide HT termasuk banyak yang tertarik dan akhirnya memilih bergabung dengan HT. Karena menurutku kekurangan kami yang tunanetra ini tidak boleh menjadi penghalang untuk meretas jalan menuju berlangsungnya kembali kehidupan Islam dengan tegaknya Khilafah. Meskipun buta, toh kami masih punya senjata yang utama untuk berdakwah, yakni bicara![] seperti yang dikisahkan pa entis kepada dian jatnika

http://mediaumat.com/sosok/2595-51-pejuang-khilafah-dalam-gelapnya-dunia.html

Menarik Becak Menuju Khilafah




inilah sesosok manusia yg bernama Nawiruddin
Aktivis HTI Sumut

Ketika harus memenuhi undangan talkshow dan bersanding dengan tokoh-tokoh daerah terkadang ia merasa rendah diri, mengingat profesinya sebagai penarik becak motor (betor). Tetapi bila mengingat bahwa dirinya sebagai bagian dari jamaah dakwah dunia, yang diamanahi untuk menyampaikan gagasan besar dan mulia, rasa itu pun sirna.

Namanya Nawiruddin, kelahiran Deli Serdang, 5 Juni 1975. Warga setempat memanggilnya dengan sebutan Ust Nawir. Ayah dari tiga orang anak itu sudah aktif berdakwah sejak belasan tahun lalu.

Selama itu pula, banyak terobosan ia berikan untuk kemajuan dakwah di Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara. Walau profesinya sebagai seorang penarik betor di Kecamatan Tanjung Morawa, ia juga bisa dikatakan sebagai orang yang pantang menyerah untuk urusan dakwah.

Dari narik betor, penghasilannya rata-rata 50 ribu rupiah perhari. Namun harus dipotong 15 ribu rupaih untuk tunggakan betornya yang masih harus dilunasi selama dua tahun lagi. Sisanya untuk membeli bensin, kebutuhan keluarga dan kebutuhan operasional dakwahnya.

Meski tidak jarang ia mendapatkan Rp 50.000 tapi sering kali pula betornya sepi penumpang. Nah kalau sudah begitu, sering kali ia puasa. Bila cobaan itu berlanjut, meskipun malu, ia memaksakan diri meminjam uang ke keluarga maupun teman-temannya.

Air matanya kerap menetes bila sudah sore tapi tidak ada satu pun orang yang menggunakan jasanya. Namun ia tetap sabar dengan tidak tergoda untuk mencari rezeki yang haram. Maka ia sangat bersyukur kepada Allah SWT ketika beberapa tetangganya mengamanahi dirinya untuk antar jemput sekolah anak-anak mereka.

Usai shalat shubuh ia langsung bergegas mengantarkan delapan anak SD itu ke sekolahnya. Ia jemput satu-persatu ke rumahnya masing-masing. Dengan cepat dan sigap ia harus mengantar mereka agar tidak terlambat. Pukul 13.00 WIB, ia menjemput mereka pulang sambil menunggu jadwal pulang mereka, ia berkeliling ke pelosok desa hingga kota Kecamatan Tanjung Morawa. Orang di sana menyebut raon-raoini. Mengendarai becaknya mencari penumpang. Ia terkadang mendapatkan penumpang, tak jarang pula sepi. Saat waktu sudah terik selepas rehat, shalat dan antar pulang anak sekolah, ia kembali lagi berjuang seraya berharap mendapatkan penumpang walau hanya seorang.

Dikesibukannya mencari sesuap nasi dengan profesinya itu, ia tidak pernah luput dan meninggalkan amanah dakwahnya. Siang ia disiplin antar jemput pelanggan. Malam pun ia disiplin berdakwah. Bayangkan saja, setiap malam ia sibuk untuk mengisi pengajian, rapat dakwah, membimbing anggota dakwah, dan bahkan bisa dikatakan tidak ada satu malampun ia habiskan tanpa dakwah.

Di samping itu, sepekan sekali, ia mengaji ke Ustad Musa Abdul Ghani di Kota Medan. Meski letih, ia tetap berangkat ke ibukota Provinsi Sumatera Utara itu yang jaraknya sekitar 25 km dari tempat tinggalnya. Sepekan sekali pula ia mengisi pengajian ke Lubuk Pakam yang jaraknya lebih jauh lagi yakni sekitar 35 km. Betor selalu menemaninya.

Dan malam-malam lainnya, ia gunakan untuk silaturahmi dengan tokoh-tokoh daerah, menyampaikan gagasan penegakan syariah Islam kaffah dalam bingkai khilafah. Begitulah amanah yang harus diembannya sebagai aktivis Hizbut Tahrir.

Berbekal ilmunya selama sekolah di madrasah tsanawiyah dan madrasah aliyah serta belajar ceramah dari ayahnya yang seorang nazir masjid, ia kerap kali berceramah, dan menjadi khatib Jumat.

Ia mengenal ide-ide syariah dan khilafah dari salah seorang kerabatnya yang ternyata aktivis Hizbut Tahrir, Ust Fatih Al Malawy namanya.
Ia senang sekali mendengar ceramah ustadz tersebut. Sejak saat itu ia sering berdiskusi dengan Fatih. Dari diskusi dan bergaul dengan para aktivis dakwah, wawasannya jadi terbuka. Betapa indahnya hidup dalam naungan Islam. Ia kian serius mendalami Islam. Pada tahun 2000 ia pun memutuskan diri untuk turut dalam barisan aktivis dakwah Islam ideologis dalam rangka memperjuangkan tegaknya syariah dan khilafah.

Setelah itu, dakwahnya semakin kencang. Ia pun tak jarang menjadi pembicara dalam talkshow yang mengangkat tema-tema aktual dengan sudut pandang Islam. Ketika harus memenuhi undangan talkshow dan bersanding dengan tokoh-tokoh daerah terkadang ia merasa rendah diri, mengingat profesinya sebagai penarik betor. Tetapi bila mengingat bahwa dirinya sebagai bagian dari jamaah dakwah dunia, yang diamanahi untuk menyampaikan gagasan besar dan mulia, rasa itu pun sirna.

Selain itu, ia pun selalu bersungguh-sungguh untuk mendorong setiap rekan dakwahnya agar bisa bangkit dan jangan larut dalam setiap kegiatan duniawi, walau secara pribadi ia juga masih menghadapi kesulitan dalam urusan ekonomi.

Katanya, kondisi ini bisa ia hadapi hanya karena keimanannya. Dalam menjalani hidupnya ia pun berprinsip, lebih baik bersusah payah dalam perkara yang halal, dari pada bersenang-senang menjalani keharaman.[] dani umbara lubis/joko prasetyo

http://mediaumat.com/sosok/2686-53-menarik-becak-menuju-khilafah.html

MEMOAR SYAIKH ABU ARQAM (Generasi Awal Hizbut Tahrir)

Pengantar

Allah SWT berfirman:

Di antara orang-orang yang beriman terdapat orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah. Di antara mereka ada yang gugur; di antara mereka ada pula yang menunggu-nunggu dan mereka tidak sedikitpun mengubah (janjinya) (QS al-Ahzab [33]: 23).



Ayat ini biasa dibacakan untuk memberikan penghargaan kepada para pejuang yang gugur di jalan Allah. Anas bin Malik berkata, “Ayat ini turun berkaitan dengan gugurnya Anas bin Nadhr pada Perang Uhud dan orang-rang yang seperti dia.”



Dalam ayat di atas kata rijâl[un] tidak diartikan dengan laki-laki. Kata ini dalam banyak ayat al-Quran disebutkan untuk menyebutkan orang-orang hebat. Karena itu, dalam ayat di atas orang-orang yang memegang komitmen dengan Allah diungkapkan dengan kata rijâl[un]. (Baca juga QS at-Taubah [9]:108, an-Nur [24]: 37).

Dalam dunia tasawuf, wali-wali Allah biasa dijuluki rijâlullâh. Tokoh agama/agamawan biasa disebut rijâluddîn. Politisi/negarawan disebut rijâluddawlah. Orang-orang yang berkecimpung dalam dunia dakwah biasa disebut dengan istilah rijâlud da’wah. Demikian seterusnya.



Pada tulisan ini penulis ingin mengajak pembaca untuk mengambil ibrah dari sikap salah seorang generasi awal Hizbut Tahrir, yang layak dikategorikan “min al-mu’minîna rijâlu shadaqû mâ ‘âhadullâha ‘alayh”. Beliau adalah Syaikh Abu Arqam.

Beliau termasuk generasi pertama dalam barisan aktifis Hizbut-Tahrir (HT) yang pernah mendapatkan halqah dari Syaikh Taqiyiyuddin an-Nabhani rahimahullâh, pendiri Hizbut Tahrir. Berikut ini sekilas memoar beliau, sebagaimana dituliskan oleh Syaikh Thalib Audhullah dalam buku, Ahbâbullâh.



Awal Pertemuan dengan HT

Sejak tahun 1950 saya telah bolak-balik di Dar al-Ikhwan al-Muslimin (Rumah/Sekretariat Ikhwanul Muslimin). Pada saat itu Syaikh Abdul Qadim Zallum, H. Abdul Qadir Zallum dan yang lain juga suka bolak-balik ke sana. Ketika kami berkumpul di sana, terjadi diskusi dan tanya jawab. Saat itu saya sangat tertarik dengan pemikiran-pemikiran baru yang dilontarkan Syaikh Abdul Qadim Zallum.



Sebelumnya bersama Ikhwanul Muslimin kami tidak terbiasa dengan pemikiran seperti itu. Hal itu membuat saya dekat dengan beliau rahimahullâh.

Kemudian kami mulai berdiskusi dengan saudara-daudara kami di Jamaah (Ikhwan). Hal itu membuat mereka berkata kepada kami, “Kalian membicarakan sesuatu yang asing bagi kami.” Akhirnya, terjadi keterasingan antara kami dengan Ikhwan di sekretariat itu.



Setelah itu kami mulai berkumpul di rumah Syaikh As’ad Bayaudh bersama Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani ketika beliau hadir di al-Khalil. Ketika itu kami tidak lebih dari dua puluh orang. Saya ingat sebagian dari mereka seperti Syaikh Ibrahim asy-Syarbati dan saudaranya Ya’qub asy-Syarbati, H. Abdul Qadir Zallum, Ahmad Ibrahim Misik, Ibn al-Baladah al-Qadimah dan yang lain. Pertemuan biasanya berlangsung hingga azan subuh. Setelah kami menunaikan shalat subuh secara berjamaah lalu kami pulang ke rumah masing-masing. Ketika kami bertolak untuk menyeru masyarakat, mereka mengatakan kepada kami, “Kalian adalah pengikut ‘Nabi-Hani’ (plesetan dari Nabhani).” Sebagian yang lain menyebut kami ‘Nabhaniyun’.



Menyampaikan Penjelasan Syaikh Ahmad ad-Daur



Di antara kenangan saya, Syaikh Ahmad ad-Daur berhasil dalam pemilu parlemen dari kota Thulkarim untuk yang pertama kalinya. Ketika diselenggarakan sidang parlemen untuk memberikan kepercayaan kepada pemerintahan, beliau menyampaikan penjelasan kepada para pejabat pemerintah, anggota parlemen dan pengunjung majelis. Saat itu beliau mengajukan mosi tidak percaya kepada pemerintah.



Saya ditugaskan untuk menyampaikan penjelasan yang beliau sampaikan di parlemen itu di Masjid al-Ibrahimi di al-Khalil. Saya membacakannya di atas tempat duduk yang biasa dipakai qâri untuk membaca al-Quran, mengumandangkan azan dan iqamat yang berseberangan dengan mimbar khutbah.



Setelah selesai shalat Jumat saya berdiri dan dengan membaca basmalah, lalu mulai berbicara, “Saudara-saudara, ini adalah penjelasan yang disampaikan wakil rakyat Ahmad ad-Daur di sidang parlemen dan saya akan membacakannya untuk Anda semua. Karena itu, tunggulah sampai selesai.”



Tiba-tiba salah seorang intel yang ada di samping saya berteriak dan berusaha menyuruh saya diam, tetapi saya mengabaikannya. Kemudian komandan intel menyuruh saya agar diam, tetapi saya tidak menjawabnya. Saya melanjutkan membaca. Perwira intel akhirnya berteriak kepada para intel di sekitarnya seraya mengeluarkan perintah, “Tangkap dia!” Ketika salah seorang intel berusaha maju menaiki tangga besi untuk mencapai tempat duduk saya, ia mendapati tangga itu telah dipenuhi oleh para syabab sehingga menyulitkan langkahnya untuk bisa sampai ke tangga, apalagi ke tempat duduk. Dengan begitu para syabab dan masyarakat telah membuat penghalang yang menghalangi intel untuk bisa menyentuh saya. Mereka tidak bisa mendekati saya. Saya pun melanjutkan membaca penjelasan hingga selesai.



Karena teriakan perwira intel itu orang-orang kemudian berkerumun ke tempat itu dari segala penjuru masjid yang luas hingga sangat berdesakan untuk mendengarkan saya. Setelah saya selesai membaca dan hendak turun, saya menginjak lantai masjid melalui tangga. Lalu para syabab Hizb dan orang-orang yang shalat Jumat mengelilingi saya seperti membuat gelang rantai supaya anggota intel dan pemimpinnya serta pemimpin daerah, walikota dan para petugas keamanan tidak bisa menangkap saya. Saya keluar dari masjid dengan aman dan selamat dan mereka tidak bisa menangkap saya.



Sebelum melaksanakan tugas yang dibebankan, yaitu menyampaikan penjelasan itu, saya tahu bahwa hukumannya adalah penjara. Setelah ashar saya kembali ke toko. Kakak saya rahimahullâh langsung bertanya, “Apa yang engkau lakukan sehingga para petugas intel dan polisi mengelilingiku; mereka datang berulangkali menanyakanmu?” Saya menjawab, “Saya tidak melakukan apa-apa. Saya hanya menyampaikan orasi Syaikh Ahmad ad-Daur di Masjid al-Ibrahimi.” Kakak saya mejawab, “Kalau begitu, engkau telah mengantarkan diri untuk ditangkap.” Saya jawab bahwa saya sudah tahu akibatnya.



Akhirnya mereka datang, menangkap saya dan menjebloskan saya di Penjara al-Khalil. Ketika saya dihadapkan ke pengadilan, saya divonis penjara satu bulan dan membayar denda seratus dinar. Tentu saja vonis itu sesuai dengan undang-undang yang dipaksakan oleh Jenderal Globe Pasya, yang disetujui oleh para wakil rakyat dan lembaga para syaikh, yaitu Qânûn al-Wa’zhi wa al-Irsyâd wa al-Khithâbah wa at-Tadrîs fî al-Masâjid (Undang-undang tentang Nasihat, Pidato dan Pengajaran di Masjid). Itulah ‘kebiasaan’ kami; ditangkap, dipenjara, dihukum, dibebaskan; lalu kembali ditangkap, dipenjara, dihukum, dibebaskan; dan seterusnya demikian.



Kajian Buku Kecil Mafâhîm Hizb at-Tahrîr



Saya ingat pada saat Hizb mengeluarkan buku kecil (kutayb) Mafâhîm Hizb at-Tahrîr pertama kalinya, Syaikh Taqiyuddin rahimahullâh berada di Beirut. Kami—saya, Ibrahim Syakir asy-Syarbati dan saudaranya Ya’qub Syakir asy-Syarbati rahimahumullâh—lalu meminta izin untuk melakukan perjalanan dan bertemu dengan beliau supaya kami bisa membaca buku kecil itu di hadapan beliau. Kemudian Hizb memberikan izin kepada kami dan memberikan alamat di Beirut. Kami kemudian melakukan perjalanan ke Beirut. Kami keluar dari al-Khalil setelah shalat subuh menuju ke Amman, lalu ke Damaskus. Dari sana baru kami ke Beirut dan sampai di sana setelah isya. Kemudian kami menghubungi alamat yang diberikan kepada kami setelah kami sampai di penginapan. Dari sana kami dibawa oleh pemilik alamat itu. Ketika kami sampai di tempat, kami menjumpai Syaikh Taqiyuddin, lalu kami masuk.



Saya ingat waktu itu beliau sedang duduk mendengarkan berbagai berita “Hunâ London”–Radio Berita Inggris. Di samping beliau duduk Syaikh Abdul Qadim Zallum dan Syaikh As’ad Bayaudh at-Tamimi rahimahumullâh. Kami mengucapkan salam kepada semuanya. Lalu Syaikh Taqiyuddin langsung bertanya sebab kedatangan kami. Saya menjawab, karena keinginan kami mengkaji kutayib Mafâhîm Hizb at-Tahrîr bersama beliau. Beliau menjawab, “Selamat datang.” Lalu beliau mematikan radio dan memberikan kepada saya naskah kutayb. Beliau meminta saya membacanya. Saya membaca satu paragraf, lalu beliau mulai men-syarah-nya. Kemudian kami berdiskusi. Begitu berlanjut seterusnya sampai dini hari. Kami sangat lelah karena perjalanan panjang dan belum sempat istirahat sedikitpun. Karena itu, kami berkata kepada beliau, “Syaikh, kita cukupkan dulu sampai di sini. Kami tidak kuat lagi karena sangat lelah akibat perjalanan panjang.”



Beliau tertawa lalu berkata, “Cukup kalau begitu. Dimana kalian menginap di Beirut?” Lalu kami memberikan alamat penginapan. Beliau berkata, “Saya akan datang ke penginapan kalian jam tujuh pagi, setuju?” Kami sepakat dengan beliau. Lalu kami kembali ke penginapan.



Selanjutnya kami tertidur karena kelelahan sampai Syaikh Taqiyuddin datang, sementara kami masih terlelap. Beliau bertanya kepada resepsionis nomor kamar kami dan di tingkat berapa. Beliau sampai di depan kamar jam tujuh kurang lima menit dan menunggu di depan pintu kamar hingga tepat jam tujuh pagi. Lalu beliau mengetuk pintu kamar kami yang membuat kami terbangun dan berdiri. Kami belum menunaikan shalat subuh.



Kami sangat terkejut. Beliau berkata, “Tidak ada dosa atas kalian. Berwudhulah dan shalatlah kalian sekarang. Apa yang terjadi pada diri kalian pernah terjadi pada diri Rasululalh saw.” Kemudian setelah kami menyelesaikan shalat, beliau menyampaikan riwayat kisah Rasulullah saw. ketika sampai di Tabuk. Saat itu beliau tidur berserta para Sahabat dan mereka semua tidak bangun kecuali karena panasnya cahaya matahari mengenai kulit mereka….dst sampai akhir.



Setelah kami sarapan alakadarnya, kami mulai membaca kembali kutayb, Mafâhîm Hizb at-Tahrîr, paragraf demi paragraf, lalu beliau men-syarah-nya. Pertemuan itu berlangsung hingga saat makan siang, saat setelah shalat zhuhur. Kami meminta beliau berhenti karena kami ingin berkeliling di jalan-jalan dan tempat bersejarah Beirut. Setelah itu kami akan kembali kepada beliau untuk menyempurnakan kajian pertemuan terakhir. Karena tinggal pertemuan terakhir, kami menyempurnakan kajian kutayb Mafâhîm Hizb at-Tahrîr tersebut.Setelah selesai pertemuan terakhir, kami kembali pulang ke al-Khalil.



Madarat yang Memberi Manfaat



Kembali ke belakang setelah tahun 1953. Saya ingat, ada tugas bahwa kami harus berdiskusi dengan para syaikh di masjid-masjid. Saya dan saudara saya yang sekarang tinggal di Amman dan termasuk syabab pilihan ditugaskan di Masjid al-Ibrahimi. Kami berdua pergi ke masjid itu tiga perempat jam sebelum shalat ashar untuk menghadiri kajian dan berdiskusi dengan guru.



Yang menyampaikan kajian waktu itu adalah almarhum Syaikh Dari al-Bakri yang memberikan kajian dalam masalah zakat. Setelah ia mengijinkan, saya bertanya tentang siapa yang dituntut mengumpulkan zakat dan mengaturnya. Kami berdua waktu itu duduk di hadapannya. Pertanyaan saya menyebabkan ia melakukan gerakan tangan tertentu dan berkata, “Dengan hancurnya negaranya.” Ia mengulanginya tiga kali dan terus menggerak-gerakkan tangannya seperti semula.



Hal itu menjadikan kami merasa dipermalukan karena tindakan yang tidak pantas itu, khususnya tindakan itu keluar dari seorang syaikh agung di masjid tempat kaum Mukmin menyembah Allah. Seluruh yang hadir sangat terkejut—mayoritas yang hadir berusia lanjut karena pada waktu itu hanya sedikit pemuda yang pergi ke masjid.



Setelah kira-kira dua menit kesunyian memenuhi tempat itu. Muazin mengumandangkan azan untuk shalat ashar, lalu ditunaikan shalat ashar secara berjamaah. Kami berdiri persis di belakang Syaikh Dari yang ada di mihrab. Setelah selesai shalat ia berdiri dan kami berdua juga berdiri. Ia tidak membiarkan kami dan memerintahkan kami untuk berdiri. Ia mulai menggerakkan jari-jarinya di atas wajah saya dan teman saya dari kiri ke kanan bolak-balik sambil berkata keras, “Dengan hancurnya negaranya, hah…” Ia menggerak-gerakkan jarinya ke kiri dan ke kanan bolak-balik (Itu adalah isyarat untuk mengejek bagaimana kami berjuang untuk menegakkan dawlah, sementara kami mencukur janggut dan kami tidak berjanggut. Yang lebih utama, menurut pendapatnya, kami pergi dan memelihara janggut kami hingga panjang, baru beraktivitas untuk menegakkan dawlah).



Temanku lalu membantahnya dengan berkata, “Wahai orang yang ingin menghidupkan sunnah, apakah Rasul saw. ketika ditanya berkata kepada si penanya kata-kata menghina dan kosong dari rasa malu seperti yang Anda katakan kepada kami?” Syaikh besar itu pun jatuh wibawanya dan tidak menjawab apapun. Ia lalu melangkah ke arah pintu keluar masjid. Hal itu mendorong orang-orang yang menunaikan shalat yang masih ada di tempat itu berkerumun di sekitar kami untuk menyelesaikan diskusi antara kami dan mereka. Kami mengatakan kepada mereka apa yang ingin kami katakan. Sungguh betapa banyak kemadaratan yang memberikan manfaat.



Mengisi 12 Halqah



Setelah itu saya mencari seorang gadis untuk saya jadikan istri. Allah mengaruniai saya wanita yang sesuai—yang kemudian menjadi istri saya, yaitu Ummu Arqam. Saya menikah tahun 1957. Saya ingat waktu itu, kebetulan saya ada jadwal memberikan halqah mingguan bertepatan dengan malam pernikahan. Saya lalu pergi meninggalkan pesta pengantin untuk memberikan halqah sampai saya menyelesaikannya dengan sempurna. Setelah kurang lebih satu setengah jam saya kembali ke pelaminan. Saya mendapati seluruh yang hadir bertanya-tanya tentang pengantin pria dan dimana ia bersembunyi. Ketika itu saya memegang 12 halqah dalam satu minggu. Ada yang malam hari maupun siang hari. Saya melakukannya tanpa kenal lelah dan merasa berat.



Disiksa Aparat



Saya pernah ditangkap hanya karena membawa salah satu selebaran. Saya dihadapkan pada investigator yang mencari tahu dari mana selebaran itu saya peroleh dan siapa yang memberi saya. Saya jawab, “Salah seorang manusia memberikannya kepada saya. Lalu saya menanyakan namanya dan dia memberi tahu saya bahwa ia pencari solusi Allah.” Mendengar itu, mereka mulai menyiksa saya. Mereka memasukkan saya seharian di kandang kuda polisi. Kedua kaki saya diikat dengan sabuk dari serat agar mereka bisa memukuli saya pada bagian bawah (telapak) kaki. Akibatnya, setiap kali saya berdiri di atas kedua kaki saya, kaki saya langsung berdarah dan saya tidak bisa berjalan, bahkan harus merangkak.



Kemudian saya dihadapkan ke pengadilan setelah selesai masa interogasi dan penyiksaan. Pada waktunya diselenggarakan pengadilan untuk saya dan saya dibawa ke pengadilan yang ada di bangunan pemerintah yang terisolasi. Di dalamnya hanya ada para narapidana, seluruh aparat keamanan dan pemerintahan negara. Saya dihadapkan bersama empat orang yang lain.



Ketika kami masuk ke ruangan di hadapan hakim—semoga Allah melaknatnya—ia tidak mengijinkan kami berbicara membela diri kami. Bahkan ia sama sekali tidak membaca tuduhan. Itu adalah pengadilan in absentia. Hanya karena kami memasuki ruangan pengadilan, hakim berkata, “Bawa mereka, saya vonis masing-masing penjara satu tahun.”

Yordania ketika itu tunduk di bawah pemerintahan militer. Hakim penjahat yang mengadili kami itu adalah hakim militer, bukan hakim sipil. []

seren,purworejo,14-05-2011,dari catatan FB seorang kawan

Selasa, 03 Mei 2011

ketika pemuda membutuhkan bimbingan...

kemarin ada sebuah sms masuk dalam inbox ku, yg mungkin jika dibaca orang akan ngebuat orang tersebut senyum2 sendiri.., kemaren ada sms masuk,kurang lebih bunyinya begini : " asalamu'alaikum, pak mau nanya, tadi malam saya mimpi bersetubuh,tapi tidak mengeluarkan mani, itu sholatnya sah atau gak pak ?" masih panjang sebenere ceritanya tapi tak cukupkan.



disaat yg lain ak pernah mendapat kiriman dari seorang pemuda yg lain : " akh..,ane suka dengan seorang perempuan, gmana ya akh ?" disaat yg lain aku pernah dapat surat konsultasi ( wah profesi baru, jadi konsultant kie..),isi surat itu intnya adalah dia ingin segera menikah,tapi kondisi tak memungkinkan karena orang yg ia sukai beda pula,dia bertanya padaku,harus gmana ya ?"



diwaktu yg lain, pernah ada seorang pemuda bertanya : " mas..,gmana ya agar kita kajian tapi gak dituduh aneh2..,aliran ini-itu dsb..", dilain waktu ada pemuda yg bertanya : " gmana pendapat mas ttg JIl ?"



sebebare tulisan ni ak ingin menunjukkan, bahwa dijaman yg sedang dihegemoni dengan peradaban materialis,pemuda sangat membutuhkan bimbingan pembinaan untuk menjalani kehidupan ini dengan cara yg baik, tentu cara yg baik itu bukan dengan cara sekular atau sosialis, namun dengan sesuai mafahim,maqayis,dan qana'at islam.



pertanyaanya sekarang : " maukah kita menjadi pembina mereka,yg akan menyelamatkan mereka dari kubangan sistem materialais ini,tuk membina mereka mjd pemuda hebat dambaan umat,yaitu pemuda yg ber_syakhsiyyah islam ? "



mau..?



17-12-2010,Jum'at, menjelang jum'atan jogja-pwr-wonosobo

Minggu, 01 Mei 2011

kisah seorang pemuda muslim

pemuda ini terlahir dalam keluarga yg biasa-biasa saja. ia menempuh jenjang pendidikan sebagaimana anak-anak lainya, dari TK-SD-SMP-SMA-KULIAH. yang agak membedakan dari pemuda-pemuda lainya,saat kecil ia termasuk hobi membaca, nonton berita, dan kadang juga suka nonton film kartun.



saat mulai dewasa,setelah lulus SMA, ada beberapa pertanyaan-pertanyaan yg membuat ia bimbang. " mmengapa saya harus terikat dengan aturan islam "?, " apa salahnya jika saya hidup sebebas-bebasnya " ?, " apakah neraka/surga itu benar-benar ada "?, " apakah tuhan itu benar-benar ada "? "apa salahnya jika menjadi seorang ateis"? " apakah tujuanku hidup di dunia ini "? waktu terus berjalan, sementara, sementara pertanyaan-pertanyaan itu belum terjawab, masih menggantung dalam benak...



hingga akhirnya saat kuliah semester3, ia bertemu dengan seseorang aktivis partai ideologis. menurut penilaian sang pemuda: ia sholeh, cerdas, semangat,dan tampak dinamis.

sang pemuda itu tampaknya ingin sekali seperti sang aktivis tersebut. sang pemuda tadi menemuinya...



proses terus berjalan, hingga akhirnya sang pemuda mulai mengurai satu-persatu pertanyaan-pertanyaan yg menggantung dlm benaknya. akhirnya mulai terjawab satu persatu...,



pemuda tadi sangat tergugah dengan materi ttg " thariqul iman / jalan menuju iman " yg disampaikan oleh sang aktivis partai ideologis tsb.

kini sang pemuda tadi sudah tahu tentang tujuan penciptaan dirinya, mampu membuktikan secara pasti ttg keberadaan tuhan sang pencipta alam semesta, ia meyakini secara penuh 100% keberadaan akhirat, bahkan lebih dari itu ia mampu membuktikan secara pasti ttg kebenaran al-qur'an..



kini sang pemuda ini sudah mulai bekerja...



kini sang pemuda tersebut dapat dengan bangga meneriakkan " aku seorang muslim ", dan kini ia pun menjadi salah satu aktivis partai ideologis tersebut.



semenjak itu tantangan dan ujian kehidupan mulai datang menerpa...



"Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja)mengatakan: "Kami telah beriman",sedang mereka tidak diuji lagi? (QS.29:2)



( wonosobo, dzuhur,19-08-2010 )

remaja muslim yg tangguh

hari ini sungguh melelahkan, walaupun libur kerja selama 3 hari,mulai jum'at same ahad besok. namun banyak hal yg aku peroleh yg membuat aku tambah bersemangat. sore tadi setelah ba'da dzuhur ngisi kajian di SMAN 10 purworejo. siang itu aku mengambil tema " menjadi remaja muslim terbaik dambaan umat ".



setelah kajian ini tampaknya remaja muda-mudi aktivis rohis tampak bersemangat, ini terlihat tampak dalam wajah mereka yg kelihatan berseri-seri. sebelum menutup kajian siang itu aku menginstruksikan pada mereka untuk menulis tentang " apa yg ingin mereka persembahkan buat islam "? jawaban yg luar biasa muncul dari calon2 para aktivis muda islam ini : " pengen dakwah "," ingin menjadi remaja pejuang islam ", " ingin mengkaji islam secara lebih dalam ", " ingin menjadi remaja yg shalih ".



kajian sore itu ditutup dengan takbir bersama yg cukup mengguncang mushala kecil disudut sekolah : " ALLOHU AKBAR "!!!



pURWOREJO,25-9-2010

tangisan tengah malam...

ini kejadian ketika aku jaga malem di rumah sakit, kejadian ini sudah berungkali terjadi, walaupun kadang aku tidak begitu memikirkanya. tapi kejadian itu terjadi lagi malam ini. ketika sedang terlelap mulai rehat..,tangisan itu muncul lagi dengan keras...,sangat memilukan...



karena sangat kerasnya suara tangisan itu, membuat aku terjaga, dibalik jendela ku melihat keluar. sungguh suasana yg membuat hati ini terenyuh. ku lihat banyak orang g terlihat sangat sedih..,di depan pintu masuk ruang ICU kulihat seorang ibu menangis histeris, tampaknya malam itu ada yg meninggal dunia...



sungguh malam yg membuat aku berpikir panjang, tentang kehidupan ini....



sungguh tepat pesan rasulullah : " gunakan waktu hidupmu untuk amal shalih, sebelum waktu ajalmu "..



shubuh, IBS-wonosobo, 01/10/2010