Mengamati, Melihat, memahami, Dan Menuliskannya

Jumat, 27 Juli 2012

Halqah Islam & Peradaban ( HIP ) 1 : " Peran Intelektual dalam proses perubahan Masyarakat "

ahad, 16/07/2012. panti wiloso muda-mudi. Hizbut Tahrir Indonesia DPD II Purworejo

                                                                                   Foto Bareng


ki-ka : Ust.Akbar Mubarak S.Pd ( Host ), H.Sudarmono ST ( mantan kepala dinas pengairan Purworejo ), Drs.H.Pujiono ( Pengurus daerah Muhamadiyah Purworejo ), Ustadz Choirul Anam MSi ( DPD II HTI Jawa Tengah )

Selasa, 17 Juli 2012

silaturahim LDS HTI di salah satu SMK di BulusPesantren Kebumen

alhmdulillah sya kemaren tgl 16 juli 2012 mendapat kesempatan unutuk jalan-jalan kota kebumen, tepatnya di SMK Puspa Jati, Sangubanyu, kecamatan BulusPesantren. jalan-jalan ini terasa istimewa karena dalam rangka membuka medan dakwah ideologis di kebumen, apalagi memang ada kabar klo di kebumen dilarang adanya Rohis. dalam kesempatan itu sya mendapat kesempatan untuk berbagi dengan siswa-siswa baru tentang pelajar Muslim terbaik dambaan umat. acara ini begitu semarak karena dihadir sekitar 140an siswa baru.

dalam kesempatan itu pula sya mendapat kesempatan untuk menawarkan proses mentoring di sekolah tersebut, dan penawaran ini ditanggapi positif oleh kepala yayasan yg menaungi SMK tersebut, pak zainal.

Semoga terlahir pejuang-pejuang Muda Ideologis di kota kebumen...Allahu Akbar!!

IBS,menjelang Targhib ramadhan,18-07-2012

Rabu, 04 Juli 2012

Saifuddin quthz “ raja yg menang dan panglima perang ‘ain jalut penakluk tar-tar “.





Ulama’ yg menjadi musyrifnya : al-‘alim syaikh Izz bin abdus salam.

Ketika itu pusat ibu kota Khilafah islamiyah di baghdad di bumi hanguskan oleh pasukan tar-tar dari mongol, baghdad menjadi lautan darah , 80 ribu manusia terbunuh dalam pembantaiian masal yg dilakukan tentara mongol. Bayi,anak-anak, ibu-bu,tua-muda tanpa memandang umur semuanya dibantai oleh tentara tar-tar yg kejam. Umat Islam seluruhnya berduka.

Tetapi Allah swt telah menyiapkan pahlawan baru untuk membangkitkan umat Islam yg dilanda kesedihan, Allah telah menyiapkan seorang pemuda yg bernama mahmud bin madud atau lebih dikenal dengan saifuddin Quthz. Allah telah menyiapkan pemuda ini untuk memporak porandakan tentara tar-tar,dan mengembalikan izzah kaum muslimin.

Subhanallah,Allahu akbar !! di sebuah daerah yg bernama ‘ain jalut pada hari jum’at sepuluh terakhir bulan ramadhan pasukan tar-tar takluk dibawah kaum muslimin yg dipimpin oleh panglima saifuddin quthz, kemenangan yg diperolehnya seperti kemenagna rasulullah saat perang badar karena sama-sama terjadi pada hari jum’at sepuluh terakhir bulan ramadhan.
Allahu akbar !!


Sumber : 10 pahlawan penyebar islam muhammad mahmud qadhi.

wonosobo,perpustakaan daerah wonosobo

Minggu, 01 Juli 2012

Asal-usul Bangsa Indonesia : Benar-benar Alami ataukah Hasil Rekayasa?




Daniele Conversi mengatakan, “Nasionalisme mengasumsikan bahwa dunia secara alami terbagi-bagi menjadi entitas-entitas yang berbeda yang disebut bangsa, maka dari itu, nasionalisme merupakan suatu proses kategorisasi sosial, dalam menentukan mana yang tergolong “diri-sendiri” (self) dan mana yang tergolong “yang lain” (other)”[1]. Jika kita mengingat salah satu kalimat yang diikrarkan oleh beberapa gelintir orang pada Konges Pemuda ke-2 yang berbunyi “berbangsa satu Bangsa Indonesia”, maka sewaktu SD kita seolah tersihir, alam bawah sadar kita menerimanya identitas kebangsaan itu sebagai suatu hal yang benar dengan sendirinya (self-evidence), yang kontingen (tidak butuh alasan), yang alami. Kita yakin bahwa ke-Indonesia-an kita itu merupakan suatu hal yang datang dari sono-nya (given), suatu takdir politik yang tak perlu dipertanyakan apalagi digugat. Dan karenanya, kita harus setia kepada negara Indonesia, kesetiaan ini merupakan panggilan takdir politik kita sebagai bangsa. Inilah nasionalisme, yang oleh Ernest Gellner didefinisikan sebagai,“prinsip politik yang pada intinya berpendirian bahwa unit politik dan unit kebangsaan haruslah kongruen”. [2]

Tapi, pernahkah kita coba mengkritisi alam fikiran kita, dan bertanya, atas dasar apa kita “diklasifikasikan” menjadi satu jenis manusia yang disebut bangsa Indonesia; dan atas dasar apa pula mereka –orang selain kita – diklasifikasikan menjadi bangsa yang lain, entah Malaysia atau pun Papua New Guinea?

Mungkin terbesit di pikiran anda, “oh itu karena kita berasal dari asal-usul dan etnisitas yang sama, yang berasal dari leluhur bangsa Indonesia“. Maka dengan mudah keraguan akan menggoyang fikiran anda itu. Sebab, jika sekilas saja anda melihat etnis-etnis yang ada, maka anda tidak akan yakin kalau -secara asal-usul- orang Riau lebih dekat dengan orang Papua dari pada dengan orang Malaysia. Kenyataannya, orang Riau dan Malaysia sama-sama orang Melayu sedangkan orang papua lebih dekat dengan bangsa Aborigin.

Mungkin anda akan beralih, “oh kita benar-benar sebangsa karena memiliki bahasa yang sama, yakni Bahasa Indonesia“. Maka, keyakinan anda itu akan pudar ketika masuk ke pelosok-pelosok negeri dan menemukan penduduk asli dari kalangan kaum tua (yang tidak sekolah) yang kebanyakan dari mereka tidak mampu berbahasa Indonesia. Itu menunjukkan bahwa Bahasa Indonesia bukan bahasa asli sebagaian besar suku-suku yang digolongkan ke dalam Bangsa indonesia. Bahasa Indonesia menjadi populer setelah menjadi bahasa resmi, bahasa pemerintahan, bahasa birokrasi, bahasa pendidikan, dan bahasa media masa terutama radio dan televisi. Jadi dengan pembuktian sederhana saja kita bisa mengetahui bahwa kesatuan bahasa kita justru muncul belakangan setelah Bangsa Indonesia dibuat dan diresmikan menjadi negara.

Tapi anda mungkin bisa lari ke alasan lain, “oh itu karena kita tinggal di wilayah yang sama, yakni wilayah yang disebut Indonesia“. Benar, wilayah kita dari Sabang sampai Merouke memang relatif berdekatan (berjajar). Tapi, apakah sebenarnya wilayah geografis yang disebut Indonesia itu? Apa saja yang menjadi batasan geografisnya yang alami? Justru kalau kita bicara soal kesatuan wilayah geografis, bukankah propinsi-propinsi di kalimantan lebih menyatu dengan Malaysia dan Brunei dari pada dengan Pulau Jawa? Bukankah tanah Papua lebih menyatu dengan Papua New Guinea dari pada dengan Sumatera? Bukankah Aceh lebih dekat dengan Malaysia daripada dengan Bali? Bukankah pulau-pulau di Utara Sulawesi lebih dekat dengan Filiphina dari pada dengan Jawa? Jadi, wilayah geografis alami yang disebut Indonesia itu sebenarnya tidak ada, karena secara geografis Kalimantan bersatu dengan Malaysia, NTT bersatu dengan Timor Leste, Papua bersatu dengan Papua New Guinea. Yang ada sebenarnya adalah wilayah politik, yakni wilayah yang tidak dicirikan dan dipagari oleh barier (pembatas) alam, melainkan bentangan yang dibatasi secara imajener, ditentukan oleh proses politik yang terjadi. Dengan demikian, argumentasi kesamaan wilayah geografis tampak masih meragukan dan membingungkan.

Mungkin anda akan mengatakan, “Kita adalah bangsa Indonesia karena kita memiliki kultur alias budaya yang sama, budaya Indonesia“. Alasan ini sangat jelas salahnya. Karena dalam kenyataannya, apa yang secara konvensional dan politis disebut sebagai Indonesia itu terdiri dari banyak suku dan masing-masing suku memiliki kultur yang sangat berbeda satu sama lain. Silahkan bandingkan kultur Aceh dengan kultur Bali, kultur Jawa dengan Kultur Dayak, kultur Toraja dengan Kultur Madura, kultur Melayu dengan kultur Papua, dst. Sangat luar biasa naif sekali jika ada yang mengatakan bahwa kultur-kultur itu saling berdekatan karena satu bangsa. Jadi masalah kultur juga tidak dapat menjelaskan kenapa kita disatukan menjadi satu bangsa.

Mungkin jurus terakhir yang bisa anda keluarkan adalah kesamaan kesejarahan. Tapi, masih ada keraguan yang akan menyergap anda. Sejarah itu panjang dan berubah-ubah. Sejarah periode mana yang bisa menjadi justifikasi kesatuan kebangsaan kita? Jika legitimasinya adalah soal sejarah, maka orang Ternate bisa punya alasan untuk menjadi bangsa sendiri, karena sejarah besar kerajaan mereka yang tak terlupakan. Begitu pula orang Jogja, mereka bisa mengklaim menjadi bangsa sendiri karena ingatan mereka tentang Kerajaan Mataram Islam yang masih sangat hangat. Tak heran, jika anda pergi ke Jogja pada tahun 2010/2011, anda akan menemukan spanduk-spanduk bernada tegas : “bergabung bukan berarti melebur“. Maksudnya, bergabung dengan Indonesia bukan berarti identitas kesejarahan mereka sebagai Kerajaan Mataram harus dihilangkan sehingga dianggap sama dengan daerah lain. Ini menyangkut tuntutan sebagian besar masyarakat Jogja terhadap keistimewaan daerah mereka, yang sekarang menjadi bagian Indonesia karena keputusan politik Sri Sultan HB IX yang menggabungkan negara-kerajaannya ke dalam Negara Indonesia. Bahkan sebenarnya, kerajaan yang serupa dengan Mataram itu bertebaran di mana-mana. Jika masing-masing ingin menjadikan sejarah sebagai alat untuk melegitimasi kedaulatan “bangsa”nya, maka Indonesia hanya akan tinggal sejarah.

Namun, saya tidak memungkiri bahwa dalam kenyataannya, sejarah inilah yang sebenarnya membentuk Bangsa Indonesia. Hanya saja, sejarah yang dimaksud adalah sejarah kolonialisme abad 19, bukan sejarah masa silam yang jauh. Yang namanya Indonesia bukanlah kesatuan berdasarkan etnis, budaya, bahasa, atau pun faktor geografis. Bukan pula berdasarkan sejarah yang jauh dari masa silam. Tapi, Indonesia adalah gabungan daerah-daerah dan pulau-pulau yang menjadi bekas jajahan Belanda di sebuah kepulauan di Asia Tenggara. Tepatnya, Indonesia adalah bekas wilayah Hindia-Belanda. Bangsa Indonesia lahir dari perasaan senasib dalam penjajahan Belanda, yang memunculkan semangat untuk merdeka menjadi suatu “bangsa sendiri” yang bebas. Ini yang secara luas disebut dengan semangat pembebasan nasional (national liberation)[3].

Ini bisa menjelaskan kenapa wilayah Indonesia mencakup daerah-daerah yang disinggahi oleh beragam etnis dan secara geografis tidak menyatu, dengan pola yang tidak mengikuti barier alam yang ada, sehingga sulit disebut sebagai satu bangsa dalam kacamata seorang primordialis. Indonesia meliputi Sumatera, sebagian Kalimantan, Jawa, Sulawesi, Papua Barat, dll. Itu karena semuanya merupakan wilayah Hindia-Belanda. Ini juga bisa menjelaskan kenapa wilayah yang menyatu atau berdekatan decara geografis justru tidak masuk wilayah Indonesia.  Kalimantan bagian utara tidak masuk wilayah Indonesia karena wilayah itu bukan jajahan Belanda, melainkan jajahan Inggris (meski pembagian itu membawa konsekuensi terpisahnya suku bangsa Melayu ke dalam dua bangsa yang berbeda). Papua bagian Timur tidak dianggap Indonesia, karena wilayah itu bukan jajahan Belanda, melainkan jajahan Portugis (sehingga bangsa di Papua juga terpisah menjadi dua karena penjajahan).

Demikianlah. Keindonesiaan kita ternyata bukan identitas yang givendari langit, bukan pula suatu identitas alami. KeIndonesiaan kita ternyata merupakan identitas artifisial (buatan), hasil rekayasa politik, warisan kolonial Belanda. Apa yang saya katakan itu sesuai dengan penelaahan Anthony D. Smith, sosiolog yang konsen dalam studi tentang kebangsaan dan nasionalisme, bahwa indonesia merupakan salah satu bangsa yang karakter dan batas-batasnya ditentukan oleh negara kolonial[4].

Ada baiknya kita juga menyimak perkataan Benedict Anderson tentang Indonesia dalam Imaged Comunities-nya. Dia mengatakan: “Kasus Indonesia memberikan gambaran kerumitan dari proses tersebut (pengaruh kolonialisme terhadap pembentukan negara-bangsa -pent) dengan cara yang mengesankan, bukan hanya karena ukurannya yang luas, populasinya yang besar (bahkan pada masa kolonial), fragmentasi geografis (sekitar 3.000 pulau), keragaman agama (Islam, Buda, Katolik, Protestan, Hindu dan animisme), dan juga perbedaan etno-linguistiknya (lebih dari 100 kelompok berbeda); lebih dari itu, sebagaimana ditunjukkan oleh namanya -yang merupakan campuran pseudo-hellenic- (maksudnya nama indo-nesia -pent), bentangannya sama-sekali tidak memiliki hubungan dengan faktor-faktor sebelum penjajahan; sebaliknya, tapal-tapal batasnya merupakan warisan dari penaklukan Belanda yang terakhir, paling tidak sebelum invasi brutal yang dilakukan oleh Jendral Soeharto ke bekas jajahan Portugis -Timor Timur“[5].

Dia juga mengungkapkan keganjilan yang menyeruak ketika mengamati hubungan antara penduduk Sumatera, Semenanjung Malaka dan Ambon. Dia mengatakan, “Sebagian penduduk di pesisir pantai timur Sumatera yang berseberangan dengan Semenanjung Malaka bukan hanya secara fisik dekat dengan masyarakat Pesisir Barat Semenanjung Malaka, tapi mereka juga punya hubungan etnis, dapat memahami bahasa satu dengan lainnya, dan seterusnya. Orang-orang Sumatera tidak memiliki kesamaan bahasa-ibu, etnisitas maupun agama dengan penduduk Ambon yang tinggal di sebuah pulau ribuan mil jaraknya ke arah timur. Namun selama kurang dari satu abad ini, mereka mulai menganggap orang-orang Ambon sebagai saudara se-Indonesia sedangkan orang Malaysia mereka anggap sebagai orang asing“.[6]

Dia juga mengatakan, “Presiden Soekarno selalu bicara dengan penuh keyakinan mengenai 350 tahun masa penjajahan yang diderita oleh “Indonesia”nya. Meskipun sebenarnya konsep “Indonesia” merupakan penemuan Abad ke-20. Dan sebagian besar wilayah yang sekarang disebut Indonesia itu baru ditaklukkan Belanda pada rentang waktu antara 1850 – 1910“.[7]

Jadi jelas, apa yang diklaim sebagai bangsa Indonesia sebenarnya merupakan fenomena modern, hasil kreasi-politik manusia. Batas-batasnya lebih ditentukan oleh jangkuan kolonial Belanda daripada ditentukan oleh keberadaan sebuah bangsa alami dalam kacamata primordialisme. Artinya, bangsa Indonesia sebenarnya tidak pernah ada sebelum berakhirnya penjajahan Belanda. Dari bekas wilayah Hindia-Belanda itulah belakangan berdiri  sebuah “bangsa” baru yang bernama Indonesia.

Kesimpulan. Terkait dengan ke-bangsaindonesia-an kita, dapat disimpulkan bahwa: Satu, apa yang sekarang disebut Bangsa Indonesia itu belum benar-benar ada sebelum penjajahan Belanda usai. Dua, kita digolongkan sebagai bangsa Indonesia karena kita tinggal di wilayah bekas jajahan Belanda. Tiga, orang yang tinggal di semenanjung Melayu dan Kalimantan bagian utara bukan saudara sebangsa kita karena wilayah yang mereka tinggali tidak dijajah Belanda, melainkan di wilayah yang dijajah oleh Inggris. Begitu pula orang Mindanau, bukan tergolong “kita” karena mereka dijajah Spanyol.

Dapat disimpulkan juga bahwa kebangsaan kita ternyata suatu hal yang imaginer, diklaim berdasarkan suatu hal yang ilusif dan manipulatif. Jika demikian, apakah kita masih perlu mempertahankan faham kebangsaan yang tidak lain hanyalah kebanggaan terhadap warisan kolonial itu? Fatalnya, klasifikasi imajiner dan ilusif ini seringkali membawa konsekuensi yang sangat penting, yakni tertanamnya persepsi “mana kita dan mana mereka”, “mana kawan dan mana lawan”. Tak heran, Malaysia dan Indonesia sering mengalami ketegangan karena masalah tapal batas dan rebutan kebudayaan. Padahal, keduanya mungkin tidak akan terpisah menjadi Malaysia dan Indonesia jika tanpa kedatangan penjajah Belanda dan Inggris. Jadi jelas, kebangsaan kita bukan suatu hal yang alami, tapi artifisial.

Seruan. Akhirnya, kami tawarkan ikatan yang lebih baik dan lebih konkret, bukan sekedar kesamaan riwayat penjajahan, tapi ikatan atas dasar kesamaan yang haqiqi, kesamaan aqidah (Islam), kesamaan Ilaah/sesembahan (Allah Ta’ala), kesamaan panutan (Muhammad saw), kesamaan dustur (Al Qur’an dan As Sunnah), kesamaan saudara (orang-orang yang beriman), kesamaan musuh (kekufuran dan kemaksiyatan), kesamaan misi hidup (mengabdi kepada Allah), kesamaan jalan hidup (syariah Islam), dan kesamaan cita-cita sejati (mencapai hidup yang diridhoi Allah, menggapai surga Allah). Inilah dasar dari persaudaraan sejati, ikatan tali (agama) Allah yang kokoh. Inilah “kita”, dan orang yang tidak memiliki kesamaan itu maka mereka adalah “mereka”. Alangkah indahnya jika “kita-kita” yang memiliki kesamaan dan persaudaraan sejati itu bersatu, terhimpun dalam satu kepemimpinan, terkumpul dalam satu Institusi: Khilafah Islamiyah, yang akan melindungi semua saudara, menghadapi semua musuh kita, dan menegakkan syariat Islam. Ya Allah, satukanlah hati kami, satukanlah kekuatan kami!

[Titok Priastomo, 28-29/12/11] ( syabab HTI jogjakarta )

[1] Daniele Conversi, Reassessing Curren Theories of Nationalism: Nationalism as Boundary Maintenance and Creation, Jurnal Nationalism and Ethnic politics, Vol.I, No.I (1995), hlm 81

[2] Ernest Gellner, Nations and Nationalism (Oxford: Basil Blackwell, 1983), hlm. 1

[3] Eric J. Habsbowm, Nations and Nationalism Since 1780: Programe, Myth, reality (Cambridge: Cambridge University Press, 2000), hlmn. 136

[4] Anthony D. Smith, National Identity (London: Pinguin Books, 1991), hlmn. 106

[5] Benedict Anderson, Imaged Comunities Reflection on The Origin and Spread of Nationalism (London, New York: Verso, 1991),  hlmn. 120. Buku Anderson ini dicetak pertama kali tahun 1983, sebelum Timor Timur lepas dari Indonesia, menjadi Timor Leste. Maka, dengan lepasnya Timor Timur, wilayah Indonesia benar-benar ditentukan oleh tapal batas penjajahan Belanda yang terakhir.

[6] Benedict Anderson, Imaged Comunities Reflection on The Origin and Spread of Nationalism (London, New York: Verso, 1991),  hlmn. 120-121

[7] Benedict Anderson, ibid, hlmn. 11 (catatan kaki nmr 4)

Diskusi Ustadz Ismail Yusanto dengan Tokoh Senior Jama'ah Tabligh, "ANTARA AMAL SHALIH & KHILAFAH"

                                      Ustadz Ismail Yusanto ( Juru Bicara Hizbut tahrir Indonesia )

Seperti telah diberitakan sebelumnya, Konferensi Ekonomi Islam Internasional yang diselenggarakan oleh Hizbut Tahrir pada tanggal 7 Muharram 1430 H atau 3 Januari 2009 lalu berlangsung sukses. Konferensi ini diadakan oleh pimpinan Hizbut Tahrir Internasional untuk merespon terjadinya krisis finansial global yang tengah melanda dunia dewasa ini. Konferensi ini menurut panitia diikuti oleh sekitar 6000 orang peserta laki-laki dan perempuan. Selain dari Sudan, tercatat hadir peserta dari sejumlah negara di dunia, yakni Australia, Indonesia, Malaysia, Pakistan, Bangladesh, Inggris, Belanda, Turki, Kanada, Amerika Serikat, Palestina, Libanon dan Arab Saudi.

Selain meriah, konferensi juga berlangsung penuh semangat. Seruan takbir berulang-ulang berkumandang, diselingi dengan teriakan lantang slogan, “Lâ ilâha illâ Allâh, al-Khilâfah wa’dullâh…Lâ ilâha illâ Allâh, al-Khilâfah wa’dullâh…” Slogan tersebut berulang-ulang diteriakkan oleh seluruh peserta secara bersama-sama yang dipimpin oleh seorang petugas, diikuti dengan kibaran al-liwa dan ar-raya kecil yang sebelumnya dibagikan cuma-cuma kepada seluruh peserta.

*****

Mendengar slogan, “al-Khilâfah wa’dullâh (Khilafah janji Allah) yang diteriakkan oleh peserta di sepanjang acara konferensi, saya menjadi teringat pengalaman mengisi Daurah Dirasah Islamiyah (Forum Kajian Islam) di Pangkalanbun, Kalimantan Tengah beberapa tahun lalu. Ini daurah istimewa. Dari segi jumlah, daurah ini hanya diikuti oleh sekitar 20 orang. Istimewanya, semua adalah anggota Jamaah Tablig atau JT, begitu biasa disebut. Mereka, seperti umumnya anggota JT lainnya, adalah orang-orang yang terkenal humble (rendah hati) dan ikhlas dalam mendakwahkan Islam. Di antara mereka, ada tokoh senior yang sudah mengikuti kegiatan JT lebih dari 17 tahun.

Di akhir acara daurah, dibuka sesi terbuka (open session) untuk menyampaikan kesan dan pesan serta berbagai pertanyaan yang tersisa. Dari sekian pertanyaan diajukan, ada satu pertanyaan yang terus saya ingat. Pertanyaan ini diajukan oleh tokoh paling senior, yang kini menjadi aktivis HTI di Kalimantan Barat. Sebelum bertanya, ia bercerita bahwa ia pernah berjumpa langsung dengan Amir (pemimpin) Jamaah Tablig di Bangladesh. Kepada Amir JT ia menanyakan soal Khilafah. Dijawab oleh amir itu, bahwa Khilafah adalah wa’dullah (janji Allah), dan yang matlub atau yang wajib kita lakukan adalah amal shalih. “Bagaimana menurut Ustadz dengan penjelasan beliau itu?” tanyanya.

Saya mengatakan, apa yang beliau sampaikan itu benar, karena sesuai dengan apa yang dinyatakan oleh Allah dalam al-Quran. Saya lantas mengutip ayat 55 dari surah an-Nur (yang artinya), “Allah telah berjanji kepada orang-orang beriman dan beramal shalih di antara kalian bahwa Dia pasti akan sungguh-sungguh membuat mereka berkuasa kembali sebagaimana Dia telah membuat orang-orang terdahulu berkuasa….”

Hanya masalahnya, “Amal shalih seperti apa yang yang harus kita lakukan, yang bisa menghantarkan kita pada terwujudnya janji Allah itu, karena amal shalih itu sangat banyak,” kata saya berusaha membangkitkan pemikiran seluruh peserta.

“Setiap perbuatan yang sesuai dengan ketentuan Allah SWT…adalah amal shalih. Shalat adalah amal shalih. Menjaga makanan dan minuman halal juga amal shalih. Menutup aurat, berakhlaq mulia, menikah, jual-beli, bekerja mencari nafkah, menuntut ilmu dan berjuang dalam dakwah. Semua itu adalah amal shalih,” jelas saya lebih lanjut.

Setelah memberikan penjelaskan ringkas tentang pengertian amal shalih, saya kemudian bertanya lagi padanya, “Bila amal shalih yang kita lakukan adalah makan makanan yang halal selalu, apakah Khilafah bakal tegak kembali?”

Dijawabnya tegas, “Tidak”.

Saya bertanya lagi, “Bagaimana kalau amal shalih yang kita lakukan adalah menikah, menikah dan menikah lagi, mungkinkah Kilafah bakal tegak?”

Dijawabnya lagi dengan tegas, “Tidak”.

“Bagaimana kalau amal shalihnya melulu shalat jamaah di masjid?” tanya saya lagi.

Dengan sedikit tersenyum, dia menjawab, “Tidak”.

“Kalau begitu, amal shalih apa?”tanya saya.

Dengan mantap dia mengatakan, “Dakwah seperti yang sudah ustadz jelaskan.”

Dalam daurah itu memang selain materi akidah, syakhsiyyah dan syariah, juga disampaikan materi dakwah. Dakwah yang dijelaskan adalah dakwah siyâsi atau dakwah politis yang selama ini menjadi arah dari dakwah Hizbut Tahrir. Maksudnya, karena tegaknya Khilafah adalah tujuan politik maka harus diupayakan dengan kegiatan yang bersifat politik pula. Tidak mungkin cita-cita politik bisa dicapai dengan kegiatan sosial atau kegiatan ritual atau kegiatan non-politik lain. Cita-cita politik hanya bisa dicapai melalui dakwah atau perjuangan politik.

Dialog dalam sesi akhir dari daurah ini tampaknya berkesan benar buat seluruh peserta, khususnya tokoh senior JT tadi. Hal itulah barangkali yang membuat ia akhirnya, setelah daurah selesai, memutuskan untuk menjadi anggota aktif HTI hingga sekarang. Dari tangannyalah dakwah HTI kini berkembang pesat di Pangkalanbun, bahkan meluas ke kawasan Kalimantan Barat.

*****

Keyakinan akan janji Allah memang sangat penting. Setiap janji Allah itu pasti benar (inna wa’da Allâh haqqun). Artinya, janji itu pasti akan ditepati karena Allah sama sekali tidak memiliki kehendak atau irâdah untuk mengingkari janji (inna Allâha la yukhlifu al-mî’âd).

Keyakinan pada janji Allah akan membuat kita selalu merasa optimis sehingga kita tidak mudah putus asa dalam berjuang dan tegar dalam menghadapi setiap tantangan, ancaman dan gangguan yang selalu menghadang. Rasa optimisme itu akan menjadi energi besar yang tidak akan pernah padam, yang akan mendorong para pengemban dakwah untuk selalu bergerak dan berusaha tidak mengenal lelah.

Kesabaran anggota Hizbut Tahrir di seluruh dunia berjuang untuk tegaknya syariah dan Khilafah dengan tetap teguh berpegang pada tharîqah atau metode dakwah Rasulullah saw. sejak berdirinya di tahun 50-an hingga sekarang—meski banyak sekali hambatan, tantangan dan gangguan yang menghalangi—menunjukkan besarnya pengaruh energi besar yang didorong oleh rasa optimisme akan keberhasilan perjuangan yang bertumpu pada janji Allah tersebut.

Namun, memahami dalil tentang janji Allah secara tidak tepat juga bisa kontra produktif. Maksudnya, tahu bahwa Khilafah telah dijanjikan Allah, lantas seseorang merasa tidak perlu lagi berjuang. Atau kalau pun berjuang, ia lakukan secara tidak tepat seperti yang sebelumnya dirasakan oleh teman-teman peserta daurah di Pangkalanbun tersebut. Karena itu, bisa dimengerti jika mereka kemudian benar-benar merasa sangat bersyukur bisa mengikuti daurah, karena menurut mereka, dalam daurah itu mereka mendapatkan pemahaman yang sangat mencerahkan. Dengarlah apa kata mereka. “Setelah mengikuti daurah ini, kami bagaikan katak baru keluar dari tempurung. Ternyata Islam begitu luas. Kami sangat bersyukur. Yang kami dapatkan pada hari ini sungguh sangat berharga. Lebih berharga daripada apa pun milik kami yang ada saat ini,” ungkap salah satu peserta lain sambil meneteskan air mata.

Mereka tentu merasa lebih bersyukur lagi ketika akhirnya pada 12 Agustur 2007 lalu mereka bisa hadir mengikuti Konferensi Khilafah Internasional bersama 100.000 peserta dari seluruh penjuru tanah air. Saya tidak tahu bagaimana perasaan mereka saat itu. Di tengah riuhnya suasana pagi itu, saya hanya sempat bertegur sapa sejenak. Yang pasti, setelah menjadi peserta daurah beberapa tahun silam, mereka kini berkesempatan menjadi saksi bagaimana gelora takbir dan kata-kata “Khilafah! Khilafah!” diteriakkan berulang-ulang dengan penuh semangat oleh seluruh peserta yang memenuhi di Gelora Bung Karno. Mungkin mereka berpikir, inikah tanda-tanda bakal terwujudnya janji Allah itu? Semoga. [Kantor Jubir HTI-Jakarta]