PROSES KEIMANAN
Uqdatul Kubro
Disaat manusia beranjak dewasa, yang ditandai
oleh kesempurnaan akalnya, maka semenjak itu ia mulai berpikir tentang ‘keberadaan’-nya
di dunia ini. Ia mulai berpikir tentang beberapa pertanyaan mendasar yang
sangat perlu, bahkan harus ia jawab. Jawaban tersebut akan menjadi
landasan kehidupan pada masa-masa selanjutnya. Selama masalah ini belum
terjawab, selama itu pula manusia seolah ‘tersesat’ tanpa tujuan jelas
dan tidak akan berjalan di dunia dengan tenang. Karena sifatnya yang demikian,
beberapa pertanyaan pokok dan mendasar ini sering disebut sebagai ‘uqdatul
kobro’ (masalah/ simpul yang sangat besar).
Pertanyaan mendasar tersebut berupa:
- dari manakah asal
manusia dan kehidupan ini?
- mau kemana manusia dan kehidupan setelah
ini? – untuk apa manusia dan kehidupan ini ada?
Bila pertanyaan ini terjawab, -terlepas
dari jawabannya benar atau salah- maka seseorang akan memiliki landasan
kehidupan sekaligus tuntunan dan tujuan kehidupannya. Selanjutnya ia berjalan
di dunia ini dengan ‘landasan’ tersebut; ia berbuat dengan standar dan nilai
yang berdasarkan ‘landasan’ tersebut. Berekonomi dan berbudaya berdasar
‘landasan’ tersebut, bahkan ia akan mengajak orang dan kaum lain agar mengikuti
‘landasan’ tersebut.
Seseorang atau suatu kaum yang menyelesaikan ‘uqdatul
kubro’ tersebut dengan jawaban: ‘kehidupan dunia ini ada dengan
sendirinya, manusia berasal dari tanah/ materi dan kelak akan kembali lagi
menjadi materi/ benda, sehingga manusia hidup untuk mencari kebahagiaan materi
selama ia mampu hidup”; maka mereka akan hidup dengan aturan yang
dibuatnya sendiri, dengan standar baik-buruk yang ia kehendaki. Mereka akan
berbudaya, berekonomi dan berpolitik untuk mencapai kebahagiaan material,
selama mereka mampu hidup. Orang dan kaum seperti ini tidak meyakini adanya hal
ghaib (ruh, akhirat, pahala-dosa dsb). Mereka percaya segalanya materi belaka.
Sementara itu seseorang atau suatu kaum
yang menjawab: “dibalik alam dan kehidupan ini ada Sang Pencipta, yang
mengadakan seluruh alam, termasuk dirinya, memberi tugas/ amanah kehidupan pada
manusia dan kelak ada kehidupan lain setelah dunia ini, yang akan menghisab
seluruh perbuatannya di dunia”; maka mereka akan hidup, berekonomi,
berbudaya, berpolitik dan berinteraksi dengan kaum lain, berdasarkan aturan
Sang Pencipta tersebut. Standar baik-buruk berdasar aturan Sang Pencipta, dan
sekaligus menjadi standar amal yang harus dipertanggungjawabkannya di hadapan
Sang Pencipta.
Demikian gambaran ringkas tentang ‘landasan
kehidupan’ seseorang/suatu kaum, yang sekaligus merupakan jawaban ‘uqdatul
kubro’ manusia. Tetapi bagaimana jawaban yang benar terhadap masalah ini ?
Pemecahan Shohih ‘Uqdatul kubro’
Dengan berbagai upaya, manusia mencoba mencari
jawaban tersebut melalui segala hal yang dapat dijangkau akalnya. Karena segala
hal yang dapat dijangkau akal manusia, tidak lepas dari alam semesta (al-kaun),
ma-nusia (al-insaan) dan kehidupan (al-hayaat), maka ketiga
hal inilah yang dijadikan obyek/media berpikir untuk mencari jawaban yang
dimaksud.
Pemecahan yang benar terhadap masalah ini tidak
akan terbentuk kecuali dengan pemikiran yang jernih dan menyeluruh tentang alam
semesta, manusia dan kehidupan; serta hubungan ketiganya dengan kehidupan
sebelum dan sesudah kehidupan dunia ini. Islam telah memberi jawaban melalui
proses berpikir yang jernih, menyeluruh, benar, sesuai dengan akal,
menentramkan jiwa dan sesuai dengan fitrah manusia.
Islam menjawab bahwa dibalik alam semesta,
manusia dan kehidupan ini ada Al-Kholiq (Sang Pencipta), yang
mengadakan semua itu dari tidak ada menjadi ada. Al-Kholiq itu bersifat Wajibul
wujud (wajib/pasti adanya). Ia-pun bukan makhluk karena sifatnya sebagai Sang
Pencipta memastikan bahwa diri-Nya bukanlah makhluk.
Bukti bahwa segala sesuatu itu mengharuskan adanya
Pencipta yang menciptakannya dapat diterangkan sebagai berikut.
Bahwasanya segala sesuatu yang dapat dijangkau oleh akal terbagi dalam tiga
unsur, yaitu manusia, alam semesta, dan kehidupan. Ketiga unsur ini bersifat
terbatas dan bersifat lemah (tidak dapat berbuat sesuatu dengan dirinya
sendiri-red.), serba kurang dan saling membutuhkan kepada yang lain. Misalnya
manusia, ia terbatas sifatnya karena tumbuh dan berkembang tergantung terhadap
segala sesuatu yang lain, sampai suatu batas yang tidak dapat dilampauinya
lagi. Oleh karena itu jelas ia bersifat terbatas, mulai dari ‘ketiadaannya’
sampai batas waktu yang tidak bisa dilampauinya. Begitu pula halnya dengan
kehidupan (nyawa-red.), ia bersifat terbatas pula, sebab penampakan/
perwujudannya bersifat individual semata. Dan apa yang kita saksikan selalu
menunjukkan bahwa kehidupan itu ada lalu berhenti pada satu individu itu saja.
Jadi jelas kehidupan itu bersifat terbatas. Demikian pula halnya dengan alam
semesta. Iapun bersifat terbatas. Sebab alam semesta
itu hanyalah merupakan himpunan benda-benda di bumi dan angkasa dimana tiap
benda tersebut memang bersifat terbatas. Himpunan dari benda-benda terbatas
dengan sendirinya terbatas pula sifatnya. Jadi alam semesta itupun bersifat
terbatas. Kini jelaslah bahwa manusia, kehidupan, dan alam semesta, ketiganya
bersifat terbatas (termasuk memiliki batas awal dan akhir keberadaannya).
Jika sesuatu itu bersifat terbatas, akan
didapati bahwa segala hal tersebut tidak azali (azaliy
= tidak berawal dan berakhir). Sebab apabila ia azali, bagaimana mungkin
ia bersifat terbatas?. Tidak boleh tidak, keberadaan semua yang terbatas ini
membutuhkan adanya pencipta yang mengadakannya, atau mewajibkan adanya ‘sesuatu
yang lain’.Dan ‘sesuatu yang lain’ inilah Al-Khaliq,
yang menciptakan ma- nusia, kehidupan dan alam semesta.
Dalam menentukan sifat Al-Khaliq/ Pencipta ini
tentu hanya ada tiga kemungkinan. Pertama, Ia diciptakan oleh yang
lain. Kedua, Ia menciptakan diri-Nya sendiri. Ketiga, Ia
bersifat azali dan wajibul wujud dan mutlak keberadaannya. Dengan pemikiran
aqliyah yang jernih dan mendalam, akan dipahami bahwa: kemungkinan pertama
yang mengatakan bahwasanya Ia diciptakan oleh yang lain adalah kemungkinan yang
bathil (tidak dapat diterima oleh akal). Sebab dengan demikian Ia adalah mahluk
dan bersifat terbatas, yaitu butuh kepada yang lain untuk mengadakannya.
Demikian pula kemungkinan kedua yang menyatakan bahwasanya Ia
menciptakan diri-Nya sendiri adalah kemungkinan yang bathil juga. Karena dengan
demikian Ia akan menjadi makhluk dan Khaliq pada saat yang bersamaan. Jelas ini
tidak dapat diterima oleh akal. Maka dari itu, hanya kemungkinan yang
ketiga-lah yang shohih, yakni Al-Khaliq itu tidak boleh tidak harus
bersifat azali dan wajibul wujud serta mutlak adanya. Dialah Allah SWT.
Sesungguhnya bagi setiap orang yang mempunyai
akal, hanya dengan perantaraan wujud benda-benda yang dapat diinderanya, ia
dapat memahami bahwa dibalik benda-benda itu terdapat Pencipta yang telah
menciptakannya. Dengan memahami bahwa semua benda-benda tadi bersifat serba
kurang, sangat lemah, dan saling membutuhkan kepada yang lain, maka semua
hanyalah makhluk. Karenanya untuk membuktikan adanya Khaliq yang Maha Pengatur,
sebenarnya cukup hanya dengan mengamati segala sesuatu yang ada di alam
semesta, kehidupan, dan di dalam diri manusia itu sendiri.
Karena itu kita jumpai bahwa Al-Qur’an senantiasa
melontarkan pandangannya kepada benda-benda yang ada di sekitar manusia sambil
mengajak manusia untuk mengamati segala apa yang ada di sekelilingnya dan apa
yang berhubungan dengannya, agar dapat membuktikan adanya Allah SWT. Sebab
dengan mengamati benda-benda akan memberikan suatu pemahaman yang menyakinkan
manusia terhadap adanya Allah Yang Maha Pencipta lagi Maha Pengatur secara
pasti tanpa ada keraguan. Di dalam Al-Qur’an telah dibeberkan ba-nyak ayat yang
berkenaan dengan hal ini, antara lain firman Allah :
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan
bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda (ayat) bagi
orang yang berakal” (QS Ali Imran 190)
Juga Firman-Nya :
“(Dan) Di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya
ialah diciptakannya langit dan bumi serta berlain-lainnya bahasa dan warna
kulitmu” (QS Ar-Rum 22)
Serta firman-Nya yang lain seperti QS.
Al-Ghasiyah : 17-20, juga QS. Ath-Thariq: 5-7, atau juga firman-Nya berikut
yang artinya :
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan
bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa
apa yang berguna bagi manusia dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa
air, lalu dengan air itu Ia hidupkan bumi sesudah matinya (kering) dan Ia
sebarkan di bumi itu segala jenis hewan dan pengisaran air dan awan yang
dikendalikan antar lagit dan bumi. Sesung- guhnya pada semua itu terdapat
tanda-tanda (Keesaan dan Kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan” (QS
Al-Baqarah 164).
Masih banyak lagi ayat sejenis yang mengajak
manusia untuk memperhatikan benda-benda alam, serta melihat apa yang ada
disekelilingnya untuk dijadikan petunjuk atas adanya Pencipta yang Maha
Pengatur. Dengan demikian imannya kepada Allah SWT menjadi mantap, yang berakar
dari akal dan bukti.
Inilah jawaban shohih secara ringkas, tentang
keberadaan Al-Khaliq dibalik manusia, alam semesta dan kehidupan.
Sifat Fitri Keimanan
Memang benar, bahwa iman kepada Yang Maha
Pengatur ini merupakan suatu hal yang fithri dalam diri setiap
manusia. Akan tetapi iman yang fithri ini hanya muncul dari perasaan hati yang
ikhlas belaka. Dan proses semacam ini tidak bisa dianggap aman akibatnya serta
tidak akan membawa sesuatu ketetapan/ keyakinan apabila ditinggalkan (tanpa
dikaitkan dengan akal-red.). Sebab perasaan hati semacam ini sering
menambah-nambah terhadap apa yang diimani dengan sesuatu yang realistis. Bahkan
mengkhayalkannya dengan sifat-sifat tertentu yang lazim terhadap apa yang ia
imani sehingga dapat menjerumuskan ke arah kekufuran dan kesesatan. Penyembahan
berhala, khurafat (cerita bohong) dan kebatilan, tak lain tak bukan
akibat yang timbul dari salahnya perasaan hati. Maka dari itu Islam tidak
membiarkan perasaan hati ini sebagai satu-satunya jalan menuju iman.
Islam menegaskan penggunaan akal bersama-sama
dengan perasaan hati dan mewajibkan atas setiap muslim untuk menggunakan
akalnya dalam beriman kepada Allah SWT serta melarang bertaklid dalam
urusan aqidah. Untuk ini Islam telah menjadikan akal sebagai timbangan
dalam beriman kepada Allah. Sebagaimana firman Allah SWT:
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan
bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi
orang-orang yang berakal” (QS Ali Imran 190)
Oleh karena itu maka wajib bagi setiap muslim
untuk menjadikan imannya betul-betul timbul dari proses berfikir, penelitian,
dan memperhatikan serta bertahkim pada akalnya dalam beriman kepada Allah SWT
secara mutlak.
Batas Akal Dalam Memahami Al-Khaliq
Kendati wajib atas manusia untuk menggunakan
akalnya dalam beriman kepada Allah SWT, namun tidak mungkin baginya untuk
memahami apa yang ada diluar jangkauan indra dan akalnya. Hal ini
karena sifat dan kekuatan akal manusia terbatas, sehingga pemahamannya-pun
terbatas.
Oleh karenanya, akal tidak mampu untuk memahami
Dzat Allah dan hakekat-Nya, sebab Allah berada diluar ketiga unsur pokok alami
yang dapat diindera manusia (alam semesta, manusia dan kehidupan). Hanya saja
tidak dapat dikatakan: “Bagaimana mungkin orang dapat beriman kepada adanya
Allah SWT, sedang akalnya sendiri tidak mampu memahami Dzat Allah?” Tidak,
tidak bisa dikatakan demi- kian, sebab pada hakekatnya iman itu adalah
percaya akan adanya (wujud/keberadaan-Nya) Allah, dimana wujud
Allah ini dapat dipahami melalui keberadaan makhluk-makhluk-Nya, yaitu alam
semesta, manusia dan kehidupan. Ketiganya ini berada dalam batas-batas yang
dapat dicapai oleh akal.
Dengan memahami ketiga hal itu, orang dapat
memahami adanya Khaliq, yaitu Allah SWT. Karenanya, iman kepada adanya Allah
harus berdasarkan akal dan dalam jangkauan akal. Berlainan halnya jika orang
hendak memahami Dzat Allah dimana hal ini mustahil terjadi. Sebab Dzat-Nya
berada diluar unsur alam semesta, manusia dan kehidupan. Jadi Ia berada diluar
jangkauan kemampuan akal. Padahal akal itu sendiri tidak mungkin memahami
hakekat apa yang berada diluar jangkauannya, disebabkan keterbatasannya untuk
dapat melakukan hal itu.
Sesungguhnya apabila iman kepada Allah SWT muncul
dari akal, pemahaman kita terhadap adanya Al-Kholiq pun akan menjadi sempurna
pula. Apabila perasaan hati (yang timbul dari fithrah-red.) yang
mengatakan adanya Allah dibarengi oleh akal
maka perasaan semacam ini akan tumbuh menjadi suatu keyakinan yang kokoh, yang
akan memberikan suatu pemahaman yang sempurna serta perasaan yang yakin atas
semua sifat-sifat ketuhanan. Dengan sendirinya hal ini akan meyakinkan diri
kita bahwa kita tidak akan sanggup memahami hakekat Dzat Allah, justru karena
kuatnya iman kita kepada-Nya.
Kebutuhan Manusia Terhadap Rasul
Adapun bukti mengenai kebutuhan manusia terhadap
para rasul dapat kita lihat dari terbuktinya manusia sebagai makhluk Allah SWT
yang bersifat terbatas, akal dan kemampuannya. Juga dapat dilihat dari terbuktinya
agama itu sebagai suatu hal yang fitri dalam diri manusia, karena ia merupakan
salah satu fitrah pen-taqdis-an (pengagungan dan pensucian- red.)
manusia. Dalam fitrahnya itu manusia senantiasa mentaqdiskan Penciptanya.
Pekerjaan mentaqdiskan inilah yang selanjutnya dikenal sebagai ibadah,
yang merupa- kan tali penghubung antara manusia dan Penciptanya. Apabila
hubungan ini dibiarkan sendiri tanpa aturan akan cenderung terjadi kekacauan
ibadah serta menyebabkan terjadinya penyembahan terhadap selain dari pencipta
yang sebenarnya. Jadi harus ada aturan tertentu yang mengatur hubungan ini
dengan baik. Hanya saja aturan ini tidak boleh datang dari fihak manusia,
karena ia sendiri tidak mampu memahami hakekat Khaliq (maksudnya tentang
perbuatannya, apakah perbuatan itu diterima atau ditolak oleh Khaliq-red.)
untuk dapat meletakkan aturan antara dirinya dengan Sang Pencipta. Karenanya
aturan ini harus datang dari Khaliq serta harus sampai ke tangan manusia. Maka
tidak boleh tidak harus ada para rasul yang menyampaikan
agama Allah ini kepada umat manusia.
Bukti lain akan kebutuhan manusia terhadap para
rasul adalah bahwa pemuasan manusia akan tuntutan kebutuhan-kebutuhan jasmani
dan gharizah/ nalurinya merupakan hal yang mutlak perlu. Jika pemuasan
ini dibiarkan berjalan tanpa aturan akan menjadi pemuasan yang salah,
berlebihan serta menyebabkan malapetaka bagi manusia. Karena itu harus ada
aturan yang mengatur gharizah dan kebutuhan-kebutuhan jasmani ini. Tetapi
aturan ini tidak boleh datang dari pihak manusia, sebab pemahamannya dalam
mengatur gharizah dan kebutuhan jasmani selalu menjadi obyek (sasaran)
kekeliruan, perselisihan dan keterpengaruhan oleh lingkungan yang didiaminya.
Maka dari itu aturan tersebut harus datang dari Allah SWT, yang untuk dapat
sampai ke tangan manusia, haruslah melalui seorang rasul.
Bukti Al-Quran Kalamullah
Adapun bukti -yang sangat mudah- bahwa
Al-Qur’an itu datang dari Allah SWT,dapat dilihat dari kenyataan/fakta bahwa
Al-Qur’an itu sebuah kitab berbahasa arab yang dibawa oleh Rasulullah SAW.
Karena fakta tersebut, maka dalam upaya menentukan ‘dari mana’ asal
Al-Qur’an itu, dapat kita jumpai adanya tiga kemungkinan. Pertama,
ia merupakan karangan bangsa Arab. Kedua, ia merupakan karangan
Muhammad SAW. Ketiga, ia berasal dari Allah semata,sebagaimana
pernyataan pembawanya. Tidak ada kemungkinan lain selain dari yang ketiga ini.
Sebab Al-Qur’an adalah khas Arab, baik dari segi bahasa maupun sastranya.
Kemungkinan yang pertama,
yang mengatakan bahwa Al-Qur’an merupakan karangan bangsa Arab adalah suatu
kemungkinan yang bathil. Sebab Al-Qur’an sendiri telah menantang mereka (bangsa
Arab) untuk membuat karya yang serupa. Sebagaimana tertera dalam ayat:
“Katakanlah: ‘Maka datangkanlah sepuluh surat
yang menyamainya” (QS. Yunus 105)
“Katakanlah: Kalau benar yang kamu katakan
maka cobalah datangkan sebuah surat yang menyerupainya” (QS Yunus 38)
Bangsa Arab telah berusaha untuk menghasilkan
karya yang serupa, akan tetapi mereka tidak juga berhasil. Jadi Al-Qur’an bukan
berasal dari perkataan orang Arab, karena ketidak-mampuan mereka untuk
menghasilkan karya yang serupa.
Adapun kemungkinan yang kedua,
yang mengatakan bahwa Al-Qur’an itu karangan Muhammad SAW, adalah kemungkinan
yang bathil pula. Sebab Muhammad adalah orang Arab juga.
Bagaimanapun jeniusnya, tetaplah ia sebagai seorang manusia yang menjadi salah
satu anggota dari bangsanya. Selama bangsa Arab tidak mampu menghasilkan karya
yang serupa, maka masuk akal pula apabila Muhammad SAW yang orang Arab itu juga
tidak mampu menghasilkan karya yang serupa. Jelaslah bahwa Al-Quran, bukan
karangannya.
Hal tersebut makin diperkuat dengan
banyaknya hadits-hadits shahih dan mutawatir dari Nabi Muhammad SAW, yang bila
setiap hadits ini dibandingkan dengan ayat manapun dalam Al-Qur’an maka tidak
akan dijumpai adanya kemiripan dari segi gaya bahasa (uslub), padahal
keduanya berasal dari orang yang sama. Akan tetapi keduanya tetap berbeda dari
segi gaya bahasanya. Dan bagaimanapun kerasnya seseorang untuk menciptakan
berbagai macam gaya bahasa dalam pembicaraannya, tetap akan terdapat
kemiripan antara gaya bahasa yang satu dengan gaya bahasa yang lain. Jadi
karena tidak ada kemiripan antara gaya bahasa Al-Qur’an dengan gaya bahasa
hadits maka yakinlah bahwa Al-Qur’an itu bukan perkataan Nabi Muhammad SAW.
Maka terbantahlah kemungkinan pertama dan kedua.
Kini tinggal tuduhan lain yang mereka lontarkan, yaitu bahwa Al-Qur’an itu
di-sadur oleh Muhammad SAW dari seorang pemuda Nasrani bernama Jabr.
Tuduhan ini ditolak keras oleh Allah SWT melalui firmanNya:
“(Dan) Sesungguhnya Kami mengetahui bahwa
mereka berkata, ‘Sesungguhnya Al-Qur’an itu diajarkan oleh seorang manusia
kepadanya (Muhammad). Padahal bahasa orang yang mereka tuduhkan (bahwa)
Muhammad belajar kepadanya (adalah) bahasa ‘ajami (non Arab), sedangkan
Al-Qur’an itu dalam bahasa Arab yang jelas” (QS An-Nahl 103)
Inilah pembuktian yang jelas bahwa Al-Qur’an itu
bukan karangan bangsa Arab atau karangan Muhammad SAW. Al-Qur’an adalah
perkataan Allah (kalam Allah) yang menjadi mukjizat bagi pembawanya
(yaitu Muhammad SAW-pen). Tidak ada kemungkinan lain selain ini, dilihat dari
kenyataan bahwa Al-Quran itu berbahasa Arab.
Karena tidak ada yang membawa syariat dan
mukjizat kecuali seorang nabi dan rasul, maka berdasarkan hal ini dapat diyakini
dengan akal sehat dan jernih, bahwa Muhammad SAW itu seorang Nabi dan Rasul.
Demikian uraian-uraian singkat namun jelas dan
tegas tentang dalil aqli untuk beriman
kepada (wujudnya) Allah, kepada kebenaran kerasulan Muhammad SAW dan kepada
Al-Qur’an, bahwasanya Al-Qur’an itu merupakan kalam Allah.
Konsekuensi Iman Kepada Allah,
Rasulullah SAW, dan Al-Quran
Jadi iman kepada (wujud) Allah itu datang dari
akal, dan memang harus datang dari jalan seperti ini. Ini pula yang menjadi
dasar kuat untuk beriman terhadap hal-hal ghaib dan segala hal yang dikabarkan
oleh Allah SWT. Sebab jika kita telah beriman kepada Allah SWT, yang memiliki
sifat-sifat Ketuhanan itu, maka wajib pula bagi kita untuk beriman terhadap apa
saja yang dikabarkan oleh-Nya. Baik hal itu dapat dicerna oleh akal maupun
tidak, karena semua itu dikabarkan oleh Allah SWT.
Dari sini kita wajib beriman kepada hari
kebangkitan dan pengumpulan (Ba’ats), surga dan neraka, hisab dan siksa, juga
beriman akan adanya malaikat, jin dan syaithan, serta apa saja yang
telah di-terangkan Al-Qur’an dan hadits qath’i. Iman seperti ini walaupun
didapat dengan jalan ‘mengutip’ (naql) dan ‘mendengar’ (sama’), akan tetapi
pada dasarnya telah terbukti oleh akal. Jadi aqidah seorang muslim itu harus
bersandar kepada akal atau pada sesuatu yang telah terbukti dasarnya oleh akal.
Apa saja yang tidak terbukti oleh kedua jalan tadi, yaitu akal serta nash
Al-Qur’an dan hadits qath’i (mutawatir), haram baginya untuk mengi’tiqadkannya.
Sebab, aqidah tidak boleh diambil kecuali dengan kepastian (keyakinan).
Oleh karena itu kita wajib beriman kepada
kehidupan sebelum dunia, yaitu adanya Allah SWT dan proses penciptaan oleh-Nya;
serta beriman kepada kehidupan setelah dunia yaitu hari akhirat.
Perintah-perintah Allah itu merupakan tali penghubung (sillah) antara kehidupan
dunia dengan kehidupan sebelum dunia, yaitu hubungan penciptaan ( shilatul
khalq); dan sekaligus menjadi tali penghubung kehidupan dunia dengan
kehidupan sesudah dunia (shilatul muhasabah ). Dan pastilah hal ikhwal
manusia terikat oleh tali penghubung ini. Karenanya manusia wajib berjalan
dalam kehidupan ini sesuai dengan peraturan Allah dan wajib beri’tiqad bahwa ia
diciptakan oleh Allah, dan akan dihisab di hari kiamat atas segala
perbuatannya di dunia.
Dengan demikian telah terbentuklah pemikiran yang
jernih tentang apa yang ada di balik kehidupan, alam semesta dan manusia. Serta
telah terbentuk pula pemikiran yang jernih tentang alam sebelum dan alam
sesudah dunia. Dan bahwasanya terdapat ‘ tali penghubung’ antara dunia
dengan kedua alam tersebut. De-ngan demikian telah terurailah ‘masalah besar’
itu secara pasti kebenarannya dengan Aqidah Islamiyah.
Apabila manusia telah berhasil memecahkan hal
tadi ia dapat beralih memikirkan kehidupan dunia serta mewujudkan mafahim yang
benar (terhadap dunia), yang dihasilkan dari pemikiran dasar tersebut.
Pemecahan itu pula yang menjadi dasar bagi berdirinya suatu prinsip ideologis
kehidupan (mabda‘) yang membentuk jalan menuju
kebangkitan suatu kaum. Mabda itu pula yang akan menjadi dasar bagi
tumbuh kembangnya peradaban (hadloroh) suatu kaum. Juga menjadi dasar
bagi peraturan-peraturan hidupnya, dan juga menjadi dasar untuk mendirikan
Negaranya. Dengan demikian dasar bagi berdirinya Islam, baik secara fikroh
(ide dasar) maupun thoriqah (pola operasional/metode
pelaksanaan) adalah Aqidah Islam itu sendiri. Allah SWT berfirman :
“Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah
beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada Kitab yang diturunkan Allah
kepada Rasul-Nya dan kepada Kitab yang diturunkan sebelumnya. Dan siapa saja
yang mengingkari Allah dan Malaikat-Nya dan Kitab-kitab-Nya dan Rasul-rasul-Nya
dan hari akhir maka ia telah sesat sejauh-jauhnya kesesatan” (QS An-Nisa
136)
Apabila semua ini (Iman kepada Allah, dst. tadi)
telah terbukti kebenarannya, maka wajib pula iman kepada Syariat Islam
(sebagaimana terhadap Aqidah Islam). Karena seluruh syariat ini tercantum dalam
Al-Qur’an dan telah dibawa oleh Rasulullah SAW. Apabila tidak beriman maka ia
kufur. Seorang yang ingkar terhadap hukum-hukum syar’i secara keseluruhan atau
sebagian, dapat menyebabkan ia menjadi kufur. Baik hukum-hukum itu berkaitan
dengan ibadat, muamalah, uqubat (sanksi), ataupun math’umat (yang berkaitan
dengan makanan). Maka kufur terhadap ayat:
“Dirikanlah shalat..”.
sebenarnya sama saja kufur terhadap ayat :
“Padahal Allah telah menghalalkan jual beli
dan mengharamkan riba” (QS Al-Baqarah 275)
Atau terhadap ayat :
“Laki-laki yang mencuri
dan perempuan yang mencuri potonglah tangan kedua-ya”
(QS Al-Maidah 38).
atau ayat :
“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah,
daging babi dan (hewan) yang disembelih atas nama selain Allah” (QS
Al-Maidah 3)
Dengan demikian, iman terhadap syari’at
sebenarnya tidak berhenti pada akal semata, tetapi juga harus ada penyerahan
mutlak terhadap segala yang datang dari sisi-Nya, sebagaimana firman Allah SWT:
“Maka demi Rabb-mu mereka itu (pada
hakekatnya) tidak beriman sebelum mereka menjadikan kamu (Muhammad) sebagai
hakim (pemutus) terhadap perkara yang mereka perselisihkan,
kemudian mereka tidak merasa di hati mereka suatu keberatan terhadap putusan
yang engkau berikan dan mereka menerima (pasrah) dengan sepenuhnya” (QS
An-Nisa 65)
Kebangkitan Manusia
Bangkitnya manusia tergantung
dari landasan kehidupan (aqidah)nya; yang merupakan jawaban atas pertanyaan
mendasar tentang kehidupan ini. Karenanya umat harus diarahkan kepada
aqidah yang benar, sehingga memiliki pandangan hidup yang benar dan
mendorongnya berbuat sesuai dengan aturan yang muncul dari aqidah yang benar
tadi. ‘Pemahaman aqidah’ ini selalu ada dalam diri suatu manusia, umat atau
kaum; karenanya, untuk mengubah keadaan suatu kaum agar bangkit, aqidah inilah
yang harus diubah terlebih dahulu. AllAh SWT berfirman :
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah
‘keadaan’ suatu kaum sebelum kaum itu sendiri mengubah apa yang ada pada diri
mereka” (QS Ar-Ra’d : 11)
Satu-satunya jalan perubahan adalah dengan
membentuk pemikiran yang benar dan jernih tentang aqidah yang shohih yang
melandasi kehidupan dan kebangkitannya. Hal ini dapat dicapai dengan
menyampaikan (kepada manusia-pen) pemikiran yang benar tentang pemecahan simpul
pada ‘masalah besar’ (Uqdatul Kubro ) dalam diri manusia. Apabila
masalah besar ini telah teruraikan, maka terurai pulalah masalah yang lainnya,
sebab hanya merupakan bagian atau cabang dari masalah besar tadi. Oleh karena
itu bagi mereka yang menghendaki kebangkitan dan kehidupan berada diatas jalan
yang mulia harus terlebih dahulu memecahkan masalah besar ini dengan pemecahan
yang benar, yakni dengan aqidah yang benar.
Islam telah menangani ‘masalah besar’ ini.
Dipecahkannya untuk manusia dengan pemecahan yang sesuai dengan fitrah,
memuaskan akal serta memberikan ketenangan jiwa. Oleh sebab itu Islam dibangun
diatas satu dasar, yaitu aqidah, yang mengatakan bahwasanya dibalik alam
semesta, manusia dan kehidupan terdapat Pencipta (Khaliq) yang telah
menciptakan ketiganya, dan yang telah menciptakan pula segala sesuatu yang
lainnya. Dialah Allah SWT. Aqidah yang mengatakan bahwasanya Pencipta ini telah
menciptakan segala sesuatu dari tidak ada. Ia bersifat wajibul wujud (wajib
adanya), Ia bukan makhluk, karena sifat-Nya sebagai Pencipta memastikan bahwa
diri-Nya bukan makhluk, serta memastikan pula bahwa Ia mutlak adanya. Karena
segala sesuatu menyandarkan wujudnya kepada diri-Nya, sedangkan Ia tidak
bersandar kepada sesuatu apapun.
*******