1. Pengantar
Sesuai judulnya, kitab Mafahim Hizbut Tahrir (selanjutnya disingkat Mafahim) ini bermaksud mengenalkan dan menjelaskan berbagai pemahaman (mafahim) keislaman yang diadopsi Hizbut Tahrir (HT). Namun sebagian besar pemahaman tersebut hanyalah garis-garis besar saja. Perinciannya dijelaskan dalam kitab-kitab HT lainnya. Konsep Darul Islam dan Darul Kufur umpamanya, hanya dijelaskan sekilas dalam 8 baris saja (Mafahim, 2001, hal. 35). Rinciannya dapat dilihat dalam kitab Asy-Syakhshiyah Al-Islamiyah Juz II pada Bab Darul Kufur wa Darul Islam (1994) hal. 259-262.
Jadi, karena menjelaskan pokok-pokok pemahaman HT itulah, kitab Mafahim ini dapat dikatakan sebagai versi awal kitab Ta’rif HT, yakni kitab untuk memperkenalkan HT berikut ide-idenya Namun barangkali karena begitu kompleks –kitab ini ditulis secara simultan dalam 84 halaman tanpa pembagian bab dan anak judul-- kitab kitab Mafahim ini lalu disederhanakan dan disistematisir oleh Abdul Qadim Zallum dalam kitab Hizbut Tahrir (1985). Kitab inilah yang sekarang lebih populer dengan nama Ta’rif HT. Aspek-aspek mengenai metode dakwah HT dalam kitab Mafahim tersebut kemudian disendirikan menjadi kitab Manhaj Hizbut Tahrir fi Taghyir (1989) dan kitab Barnamij Hizbut Tahrir (1989).
Kitab Mafahim ini pada dasarnya ingin menjawab 3 (tiga) pertanyaan strategis menyangkut HT dan ide-idenya. Pertama, apa latar belakang munculnya HT di tengah kancah berbagai gerakan Islam di Dunia Islam? Kedua, mengapa HT perlu mengadopsi berbagai pemahaman (mafahim) keislaman yang khas baginya? Ketiga, apa saja pemahaman-pemahaman Islam yang telah diadopsi HT guna membangkitkan umat Islam?
2. Latar Belakang Eksistensi HT
Bagian awal kitab Mafahim (hal. 1-13) menjelaskan latar belakang lahirnya HT. HT muncul dalam realitas dimaksudkan untuk menjadi gerakan alternatif setelah gagalnya berbagai gerakan Islam untuk membangkitkan umat dari kemerosotannya.
Dalam kitab Mafahim diuraikan tiga sebab utama kegagalannya (hal. 4), yaitu :
Pertama, adanya ketidakjelasan fikrah (pemikiran) Islami di benak para aktivisnya. Misalnya, fikrah mereka campur aduk antara pemikiran Islami dan filsafat Yunani. Kedua, adanya ketidakjelasan thariqah (metode) Islami untuk menerapkan fikrahnya. Misalnya, ingin menegakkan syariah dalam kehidupan masyarakat tapi thariqahnya non-politis (tanpa Daulah Islamiyah) seperti mendirikan pesantren, sekolah, dan sebagainya. Ketiga, tidak adanya ikatan solid antara fikrah dan thariqahnya sebagai satu kesatuan yang tak terpisahkan. Misalnya, mengkaji hukum fikrah seperti hukum nikah, tapi melalaikan hukum thariqah untuk menerapkan hukum nikah itu, yaitu hukum-hukum Khilafah. Ingat, wali hakim dalam nikah itu seharusnya adalah khalifah atau yang mewakilinya.
Karena tiga sebab utama itu, dan sebab-sebab lainnya yang memperburuk keadaan umat di abad ke-19 dan ke-20 M (hal. 6-13), gagallah upaya berbagai gerakan Islam untuk membangkitkan umat Islam. Benar bahwa gerakan-gerakan tersebut telah meninggalkan pengaruh sampai batas tertentu, namun semuanya tidak berhasil membangkitkan umat atau mencegah umat agar tidak terus mengalami kemerosotan.
Berdasarkan kenyataan inilah, HT lahir dari rahim umat untuk menjadi gerakan alternatif setelah kegagalan berbagai gerakan Islam untuk mmembangkitkan umat dari kemerosotannya sejak abad ke-18 M.
3. Mengapa HT Adopsi Mafahim
Mengapa HT perlu mengadopsi berbagai pemahaman (mafahim) keislaman yang khas baginya? Sebab kemerosotan itu tiada lain terjadi karena benak umat mengalami kelemahan yang luar biasa (al-dha’f asy-syadid) dalam memahami Islam (hal. 3). Padahal, sebagaimana sudah dimaklumi, perilaku manusia (suluk al-insan) itu dipengaruhi oleh pemahamannya. Kelemahan dalam memahami Islam, dengan sendirinya, akan membuat sikap dan perilaku umat menjadi lemah pula dalam menjalani kehidupan, yaitu merosot dari kondisinya yang seharusnya. Umat Islam akhirnya hidup terjajah oleh negara-negara penjajah yang kafir dalam sistem kehidupan sekuler.
Kelemahan pemahaman itu terjadi sejak lama, yaitu sejak abad ke-2 H hingga detik ini, baik karena faktor internal maupun faktor eksternal. Faktor-faktor ini yang menonjol adalah :
(1) Transfer filsafat India, Persia, dan Yunani pada abad ke-2 H ke tubuh umat Islam dan adanya upaya untuk mencari titik temunya dengan Islam, padahal sebenarnya terdapat kontradiksi tajam antara Islam dan filsafat;
(2) Adanya manipulasi berbagai pemikiran dan hukum Islam oleh orang-orang yang dengki terhadap Islam;
(3) Adanya pengabaian bahasa Arab yang sesungguhnya mutlak perlunya untuk memahami dan mengamalkan Islam, termasuk untuk berijtihad guna mengatasi masalah-masalah baru. Ini terjadi pada abad ke-7 H.
(4) Adanya invasi misionaris, kemudian invasi budaya dan politik dari negara-negara Barat yang kafir sejak abad ke-17 M (Abdul Qadim Zallum, Hizbut Tahrir, hal. 13).
Dampak berbagai faktor yang mengaburkan di atas, membuat benak kaum muslimin bagaikan bejana yang penuh dengan aneka macam air yang campur aduk, antara yang suci dan najis. Dalam benak umat ada pemahaman tauhid, tapi mungkin tercampur paham tashawwuf wihdatul wujud dari Ibn Al-‘Arabi (w. 638 H/1240 M), yang aslinya adalah filsafat emanasi dari Neoplatonisme Yunani.
Dalam benak umat ada pemahaman iman kepada al-Qur`an, tapi mungkin mereka hanya mampu membacanya dan tak mampu mengistinbath hukum darinya karena mereka mengabaikan bahasa Arab.
Dalam benak umat ada pemahaman wajibnya menerapkan syariah, tapi mungkin itu bercampur aduk dengan paham sekularisme, demokrasi, nasionalisme, dan liberalisme (kebebasan) dari Barat yang justru melemahkan atau memusnahkan syariah. Atau mungkin bercampur dengan konsep yang mengatakan bolehnya perubahan hukum Islam disesuaikan waktu dan tempat.
Walhasil, kalau pemahaman diumpamakan air, berarti benak umat telah terisi dengan campuran antara air yang suci dan menyucikan (pemahaman sahih) dengan air yang suci tapi tidak menyucikan (pemahaman lemah) dan dengan air yang terkena najis (pemahaman batil). Dengan pemahaman yang amburadul dan kacau balau seperti ini, wajar jika umat Islam mengalami kemunduran yang drastis.
Maka dari itu, HT melihat adanya keharusan untuk memperbarui pemahaman umat Islam itu guna membangkitkan kembali umat dari kemerosotannya. Caranya ialah dengan mengadopsi sejumlah pemahaman Islam yang murni, yang bebas dari unsur-unsur yang mengaburkan atau mengotorinya. Pemahaman Islam yang murni ini bagaikan air yang suci lagi menyucikan.
Menyifati berbagai pemahaman mengenai hukum dan pemikiran Islam yang diadopsi HT itu, Taqiyuddin an-Nabhani berkata,"Ini adalah berbagai pendapat, pemikiran, dan hukum yang Islami, bukan yang lain. Tidak ada di dalamnya sesuatu pun yang tidak Islami dan tidak terpengaruh pula oleh segala sesuatu yang tidak Islami. Sebaliknya ia adalah Islami semata, tidak bersandar kecuali kepada pokok-pokok ajaran Islam dan nash-nashnya." (Taqiyuddin An-Nabhani, Mafahim, hal. 14).
4. Apa Saja Mafahim HT
Lalu, pemahaman Islami apa saja yang diadopsi HT dalam kitab ini? Sebelum dijelaskan, perlu dipahami bahwa berbagai pemahaman HT ini benar-benar bernuansa tajdid yang amat kuat. Inilah kiranya ciri khas dan keunggulan kitab Mafahim ini.
Jadi selalu ada upaya korektif terhadap pemikiran kontemporer yang batil atau lemah dan pada saat yang sama ada tawaran pemikiran sahih yang lebih unggul sebagai alternatifnya. Misalnya, HT telah menjelaskan bahwa hukum Islam tidak berubah sesuai waktu dan tempat (hal. 42). Sebenarnya ini adalah koreksi terhadap pemahaman batil yang salah kaprah pada waktu, yaitu adanya "kaidah fiqih" berbunyi Laa yunkaru taghayyurul ahkaam bi-taghayyur az-zamaan wa al-makaan (Tidak dapat diingkari adanya perubahan hukum sesuai perubahan waktu dan tempat). Kaidah ini termuat dalam kodifikasi undang-undang negara Khilafah Utsmaniyah bernama Majallah al-Ahkam al-‘Adliyah (terbit tahun 1869).
Pada saat yang sama, HT memberi tawaran pemahaman baru yang benar, bahwa yang berubah sebenarnya adalah urf (adat), bukan hukum Islamnya itu sendiri. Sedangkan perubahan urf, tidak dapat mempengaruh status hukum, sebab urf bukan dalil hukum dan bukan pula illat hukum. Bahkan urf itu sendiri benar salahnya harus kembali distandarisasi dengan hukum syara’(hal. 42-43).
Adapun pemahaman-pemahaman Islami yang dijelaskan HT dalam kitab Mafahim ini, berfokus pada 3 (tiga) pemahaman, yaitu pemahaman yang terkait dengan : (1) Aqidah Islam, (2) Syariah Islam, (3) Dakwah Islam. Berikut sekilas uraiannya masing-masing.
A. Aqidah Islam
Pembahasan Aqidah Islam nampak ketika HT meletakkan Aqidah Islam sebagai jawaban terhadap Al-‘Uqdatul Kubra (Masalah-Masalah Besar Manusia) yang menyangkut manusia, alam semesta, dan kehidupan. Aqidah Islam menjelaskan bahwa sebelum adanya manusia, alam semesta, dan kehidupan, telah ada lebih dulu Allh SWT sebagai al-Khaliq bagi ketiganya. Aqidah Islam juga menjelaskan bahwa setelah tiadanya manusia, alam semesta, dan kehidupan nanti, akan ada Hari Kiamat yang sekaligus juga Hari Perhitungan (Yaumul Hisab). Karena itu, manusia wajib menjalani kehidupan dunia ini sesuai perintah-perintah Allah dan larangan-larangan-Nya. Sebab Allah sajalah yang menciptakannya dan memberinya sejumlah perintah Allah dan larangan; dan pada Hari Kiamat nanti manusia akan dihisab mengenai keterikatannya dengan segala perintah dan larangan Allah itu (hal. 14-15).
Namun, sebagaimana kitab Nizham al-Islam, Aqidah Islam yang diterangkan HT ini lalu dikaitkan dengan pemikiran kontemporer, tidak diasingkan atau dijauhkan darinya. Maka, pembahasan Aqidah Islam ini segera saja dilanjutkan dengan pembahasan integrasi aspek material dan spiritual (mazjul maadah bi ar-ruh) (hal. 16-23).
Nampak jelas HT di sini berusaha keras memerangi aqidah ideologi Kapitalisme, yakni sekularisme, atau fashlul maadah ‘an ar-ruh. Artinya, memisahkan aspek material (perbuatan manusia) dengan aspek spiritual (kesadaran manusia dalam beragama). Dalam realitasnya, aqidah sekularisme lalu menghasilkan pemisahan agama dari negara, seperti yang terjadi saat ini.
Pembahasan ini kemudian dilanjutkan dengan bahasan Qadha`-Qadar (hal. 24-26) dan bahasan sifat perbuatan manusia (konsep khair-syar dan hasan-qabih) (hal.26-30), serta bahasan nilai (qimah) perbuatan manusia sebagai tujuan perbuatan manusia yang mencakup nilai akhlaq, kemanusiaan, materi, dan spiritual (hal. 30-34).
B. Syariah Islam
Pembahasan Syariah Islam dalam kitab Mafahim ini intinya, syariah itu ada untuk diterapkan dalam kehidupan bermasyarakat, bukan untuk kenikmatan berpikir seperti filsafat. Maka harus ada formalisasi syariah dalam wadah Darul Islam (hal. 35-36; 52-56).
Selain itu, kitab Mafahim ini juga menjelaskan pemahaman HT seputar syariah. Misalnya bahwa hukum-hukum mengenai ibadah, makanan, minuman, dan akhlaq tidak didasarkan pada illat (alasan hukum), tapi didasarkan pada nash semata. (hal. 36 dst). Contoh lainnya adalah bahasan dalil-dalil syar’i, ijtihad dan taqlid yang penting untuk dipahami (hal. 46-49).
HT juga meluruskan banyak kesalahpahaman umat mengenai syariah. Misalnya, kesalahpahaman mengenai prinsip kelayakan syariah untuk setiap waktu dan tempat. Maknanya bukanlah syariah itu dapat berubah dan menyesuaikan diri pada segala waktu dan tempat, melainkan syariah dapat memberikan jawaban masalah manusia di setiap waktu dan tempat (hal. 43).
HT juga meluruskan kesalahpahaman umat yang memisahkan hukum fikrah dan thariqah sebagaimana sudah dicontohkan di atas (hal. 52-60).
C. Dakwah Islam
Pembahasan dakwah Islam di sini dimaksudkan untuk menjelaskan metode mencapai kekuasaan untuk melanjutkan kehidupan Islam dan mengemban dakwah Islam ke seluruh dunia. (hal. 62-68).
Dijelaskan juga perbedaan dakwah kepada Islam dan dakwah untuk melanjutkan kehidupan Islam. Yang pertama, dijalankan oleh Daulah Islamiyah melalui penerapan Islam secara nyata, mengacu kepada dakwah Rasulullah SAW di Madinah.. Sedang yang kedua, dijalankan oleh kelompok dakwah melalui jalan dakwah mengacu kepada aktivitas Rasulullah SAW di Makkah (hal. 72-76).
Pada bagian akhir (hal. 79-83) dijelaskan bahwa masyarakat di Dunia Islam sebenarnya masih terjajah oleh negara-negara kafir baik dalam aspek politik, ekonomi, budaya, maupun militer. Karena itu, HT berjuang untuk membebaskan negeri-negeri Islam dari penjajahan dalam segala bentuknya, hingga berhasil melanjutkan kehidupan Islam dengan mendirikan Khilafah yang akan mengemban risalah Islam ke seluruh dunia dengan jalan jihad fi sabilillah.
penulis : K.H.Muhammad Siddiq Al-Jawwi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar