Suasana perang tak membuatnya hilang nyali untuk masuk ke sana. Justru ia tertantang untuk segera datang dan membantu saudara-saudara sesama Muslim.
Siapa yang tidak takut masuk ke medang perang? Wajar jika rasa itu ada. Tapi dari pengalaman di Maluku, saya sudah membangun pandangan bahwa kematian itu hanya ditentukan oleh Allah SWT. Dan kematian yang paling mulia itu syahid. Itu besar faidahnya bagi kita dan keluarga kita. Tapi tentu jangan asal mau mati syahid tanpa ada persiapan dan tahu syariatnya.
Ketika pertama kali berangkat ke daerah konflik, istri saya sempat bicara macam-macam. Dia sangat khawatir dengan keselamatan saya. Tapi sekarang tidak lagi. Begitu saya mau berangkat, dia langsung membereskan pakaian dan segala kebutuhan. Tak lupa kita menyelesaikan segala utang piutang. Jangan sampai kalau 'lewat' istri dililit utang.
Mungkin banyak yang bertanya mengapa saya begitu bersemangat masuk ke medan konflik? Pertama, terus terang kita ini kan mendapat amanah seperti kecerdasan, kesehatan, keberuntungan sekolah di sekolah terbaik, dapat guru-guru yang hebat juga. Saya merasa ini kesempatan yang tidak semua orang punya. Alangkah sayangnya kalau amanah yang diberikan Allah itu tidak dimanfaatkan untuk hal-hal bukan hanya sekadar cari uang.
Kedua, saya merasakan ketika datang ke daerah-daerah tersebut untuk membantu orang yang membutuhkan bantuan medis, hidup ini lebih mudah. Saya merasa dunia ini lebih lega. Tidak sempit. Dan menurut Ustad Abu Bakar Basyir memang begitu. Jika engkau menolong agama Allah maka Allah akan memuliakan dan meneguhkan. Di sini kuncinya.
Setelah saya pergi ke daerah-daerah konflik seperti Moro, Pattani, Afghanistan, Irak, Libanon, Aceh, Maluku, dan terakhir Gaza, saya merasakan hidup lebih mudah. Rezeki lebih mudah. Padahal secara hitungan matematis banyak pekerjaan yang saya tinggalkan. Yang membuat enak hidup di dunia ini adalah merasa bahwa dunia ini tidak sempit.
Inspirasi dari Gaza
Saya menemukan banyak pelajaran penting di Gaza. Ketika baru sampai, saya langsung dipeluk dan disambut luar biasa oleh orang di sana. Mereka merasa mendapat kekuatan karena dikunjungi oleh saudaranya sesama Muslim yang jauh. Mereka bilang, “Terima kasih atas kedatangan kalian. Tolong ceritakan keadaan kami kepada dunia,” ujarnya. Rasa persaudaraan di sana itu sangat luar biasa.
Gaza juga menjadi inspirasi saya dan teman-teman dari rombongan Turki, Sudan dan Mesir untuk perjuangan umat Islam dan menyatukan langkah. Kita membentuk organisasi Gaza Medical International Initiatif, suatu organisasi dokter-dokter yang mau mengorbankan harta, nyawanya untuk daerah-daerah yang panas seperti Checknya, Afghanistan dan lainnya.
Pelajaran lainnya, keteguhan hati, keikhlasan, ketabahan, ketegaran, keistiqamahan, dan yakin akan pertolongan Allah itu adalah modal besar untuk menang. Bayangkan bagaimana para pejuang Gaza dengan senjata seadanya bisa menang menghadapi tank dan persenjataan terbaik di dunia milik Israel. Dengan kesederhanaan mereka berani melawannya. Mereka itu sangat cinta mati syahid. Hanya saja untuk itu harus diatur.
Dan yang membuat saya takjub, ketika saya membius salah seorang korban dengan katalar. Biasanya orang yang dibius dengan katalar, jika orang biasa akan keluar kata-kata caci maki dan umpatan serta kata-kata kotor. Tapi masya Allah pemuda berusia 20 tahun ini mengigau dengan melantunkan ayat-ayat suci Alquran. Semuanya ayat-ayat jihad. Subhanallah, saya melaksanakan operasi sambil mendengarkan lantunan ayat-ayat Alquran darinya.
Khilafah Solusi
Gaza ini sudah lama diblokade. Mereka tidak punya senjata. Makanan juga susah. Kemudian ada negara tetangganya yang menyerang dengan kekuatan canggih. Ini kan tidak seimbang. Anehnya, melihat serangan itu, kok tidak ada negara yang bergerak untuk menyetop kebrutalan Israel. Mereka taat sama Amerika. Hamas memang melontarkan roket. Tapi tujuannya bagi mereka adalah sebuah pesan, “Tolong buka blokade itu.” Dari pada mati diblokade ya mendingan melawan.
Padahal seandainya semua negara Arab itu melawan Amerika, apa Amerika sanggup berperang menghadapi semuanya itu? Seandainya Muslim bersatu di dunia untuk mengatakan tidak kepada Amerika, apa Amerika bisa menggerakan kekuatan militernya untuk menghadapi kita semua? Tidak. Cuma kan mereka berpikir, kita butuh kesejahteraan. Lebih baik menggunakan siyasah untuk menyelesaikan masalah itu. Ya itu ada benarnya. Tapi jangan dibiarkan warga di Gaza dibantai Israel selama 20 hari. Ingat tidak akan pernah bisa dilaksanakan perundingan dengan Israel tanpa kita memiliki kekuatan. Itu kata kunci. Karena itu gerakkanlah kekuatan militer negara-negara Islam itu.
Dari peristiwa ini, saya melihat jelas Khilafah sebenarnya solusi atas masalah di Palestina ini. Ada cerita yang menarik terkait hal ini. Ketika saya dan dokter dari berbagai negara berkumpul. Kita bicara ini gimana. Saya bilang, sembari mengeluarkan uang dolar AS dari dompet, “Penyebab utama di dunia ini, ya ini” Dokter dari Turki juga sama mengeluarkan dolar AS dari dompetnya. Dia bilang, “Ya di sini persoalannya.” Dia tahu persoalannya adalah Zionisme dan Freemansori. Saya bilang, “Kalau orang Turki sudah tahu itu masalahnya, ya baguslah.” Dia tahu bahwa dulu yang meruntuhkan Khilafah di Turki adalah Yahudi. Persoalannya memang ketika kita ingin ada kekuasaan dalam Islam, tapi kita tidak tahu siapa yang meruntuhkan kekhilafahan itu dulu. Tidak mau belajar bagaimana siyasah mereka meruntuhkan Khilafah Usmani dulu. Bagaimana Ibnu Saud misalnya bersama Lawrence of Arabic melawan Khilafah. Ini fakta sejarah.
Satu hal lagi jangan berpikir membaiknya perekonomian itu membuat kita disegani. Tidak. Kita disegani kalau kita punya kekuatan. Kekuatan itu tidak identik dengan modernnya persenjataan. Meski syukur-syukur modern. Tapi dengan keteguhan hati dan wibawalah kekuatan itu dibangun seperti persatuan dan persaudaraan sesama Muslim.[] olahan wawancara. pendi/www.mediaumat.com
http://mediaumat.com/sosok/365.html
Minggu, 05 Juni 2011
Kamis, 02 Juni 2011
KH. Muhammad Usman: Dosen Ujung Tombak Dakwah Islam
Usman termasuk PNS yang melawan arus. Ia teguh memegang prinsip dan gigih berdakwah meski karier taruhannya.
Gempa bumi yang berulang kali menimpa negeri ini tidak seberapa dahsyatnya bila dibandingkan dengan gempa sosial. Gempa sosial itu, menurut KH. dr. Muhammad Usman, AFK adalah merasuknya sekulerisme demokrasi di tengah-tengah kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Sehingga negeri yang kaya akan SDA dan SDM ini terpuruk dan terus menerus tertimpa krisis multidimensi.
Di samping tuntutan keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT, ujar dosen Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya itu, menegakkan syariah dalam bingkai khilafah merupakan solusi total untuk bangkit dari keterpurukan.
Pria sepuh ini, selalu berupaya menularkan prinsipnya itu kepada siapa saja terutama kepada mahasiswanya dan para dosen. Semestinya sekarang setiap dosen sudah harus memahami hal tersebut.
Dalam rangka itu pulalah pada Ahad 29 Nopember lalu ia mengisi acara pertemuan dengan dosen-dosen dari Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS). Pekan depannya membahas masalah yang sama dengan dosen-dosen di Unair.
Ia pun menjelaskan bagaimana seharusnya kiprah seorang dosen itu. Dosen bukan hanya sebagai pengajar mahasiswa terkait keilmuan mata kuliah yang diasuhnya tetapi juga harus berdakwah menyadarkan mahasiswanya untuk turut berjuang menegakkan syariah dan khilafah.
Semua dosen Muslim, baik kedokteran, teknik dan lainnya harus pula menjadi ujung tombak dakwah Islam. “Karena punya mahasiswa banyak, sudah seharusnya menyampaikan pemahaman tersebut walaupun secara tidak langsung melalui mata kuliah yang diasuhnya,” paparnya.
Itulah potensi yang harus dimaksimalkan oleh teman-teman dosen sebagai bentuk tanggung jawab dakwah mereka untuk merubah masyarakat ini. Karena semuanya itu akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah SWT di akhirat kelak. “Ini merupakan investasi akhirat,” tandas dokter yang selalu menjadi khatib Shalat Jum'at di berbagai kampus di Surabaya itu.
Aktif Berorganisasi
Bukan saat ini saja ia giat berdakwah dari satu masjid ke masjid lain dari satu diskusi ke diskusi lain. Dari kecil dunia dakwah dan organisasi sudah menjadi bagian dari hidupnya. Sejak SD hingga SMA ia menjadi pengurus Persatuan Pelajar Islam Indonesia (PII). Ketika kuliah masuk Himpunan Mahasiswa Islam (HMI).
Ia pun aktif di Masjid Al Falah Surabaya dan Muhammadiyah. Bersama rekan-rekannya di Al Falah, Usman membentuk Dewan Muslim Al Falah. Kemudian merubah namanya menjadi Cendikiawan Al Falah, sebelum akhirnya berubah menjadi bagian dari Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI). Di ICMI Surabaya pun ia menjadi salah satu dewan pakarnya. Sejak masih di Cendikiawan Al Falah ia sering sekali berdiskusi dengan Amien Rais, baik di Surabaya, Yogyakarta, Bandung maupun Jakarta.
Lulus kuliah pada 1974 kemudian ia menjadi dosen Fakultas Kedokteran di Unair. Sambil tetap mengajar dan aktif berorganisasi, ia melanjutkan kuliah pasca sarjana di Unair program studi Ilmu Medikal Farmasi.
Bahkan di tengah kesibukannya menyusun tesis, pada 1982 Usman bergabung menjadi anggota Hizbut Tahrir. Setelah ia merasa sangat tercerahkan dengan pembahasan Nizhamul Islam, Sistem Kehidupan dalam Islam, yang disampaikan oleh seorang aktivis HT yang mengajaknya berdiskusi secara intensif selama satu tahun.
Sejak saat itu pandangannya tentang demokrasi berubah total. Dalam berbagai kesempatan ia jelaskan kewajiban menerapkan syariah Islam secara formal dalam bingkai Khilafah Islam. Namun sayang, Amien Rais tidak setuju. Namun ia tidak berkecil hati, dalam berbagai kesempatan berdiskusi dengan Amien Rais ia tetap menyampaikan pandangannya itu.
Tetap Teguh
Usman merupakan salah satu pegawai negeri sipil (PNS) yang melawan arus bukan dalam rangka mencari sensasi tetapi semata-mata hanya selalu berupaya mengaitkan setiap amal perbuatannya dengan syariah.
Saat itu, era Soeharto, ada aturan tidak tertulis bahwa setiap pegawai negeri 'wajib' menjadi anggota Golongan Karya (Golkar). Maka ketika ada kenaikan pangkat dan golongan, personalia Unair, menekannya untuk memilih Golkar dan menjadi anggota Golkar.
Usman menolak, konsekuensinya bertahun-tahun ia tetap golongan III b. “Setiap ada promosi kenaikan pangkat saya tidak mau menandatangani menjadi anggota Golkar” ujarnya.
Sehingga setiap kali diminta untuk tanda tangan ia tidak pernah menandatanganinya. “Sejak saya III b, saya tidak bisa naik ke III c karena syaratnya harus tanda tangan,” tandasnya.
Saya tetap bertahan dengan prinsip, meskipun teman sejawat menyatakan kan cuma tanda tangan saja, sekadar formalitas, di Tempat Pemungutan Suara (TPS) kita merdeka. “Saat itu karena memang saya sudah masuk HT. Jadi semangat saya itu ingin tidak dicampuri oleh kegiatan yang sifatnya sekuler begitu,” argumennya.
Karena itulah kemudian ia tetap bertahan dan terus menuntut untuk kenaikan golongan dan pangkat kepada personalia Unair. “Pokoknya saya tidak mau, itukan hak saya sebagai dosen. Saya tidak mempunyai kewajiban untuk masuk Golkar!” debatnya.
Usman beranggapan buat apa menjadi anggota Golkar atau partai lain yang loyal terhadap demokrasi, karena itu tidak sejalan dengan dakwah keislaman yang ia lakukan terus secara istiqamah itu.
“Akhirnya saya protes terus. Kenapa kok saya dihambat-hambat, ya lama kelamaan mereka risih juga dengan protes saya sehingga naik terus sampai Lektor Kepala,” kenangnya mengingat kenaikan golongannya dari III a sampai IV a itu. Di era Gus Dur, pangkatnya menjadi Lektor Kepala.
Ia selalu mengatakan demokrasi itu kalau sekadar bermusyawarah, dalam Islam ya tidak apa-apa. Selama tidak mencampuradukkan antara yang halal dengan yang haram. Akan tetapi kalau sudah menjadi metode yang membolehkan manusia sebagai sumber hukum untuk mengatur kehidupan manusia maka tentu harus ditolak.
“Sehingga berdemokrasi menurut agama Islam merupakan perbuatan yang sangat tercela,” pungkas salah satu pembicara dalam Konferensi Internasional Khilafah Islamiyah pada tahun 2000 di Istora Senayan Jakarta itu.[] joko prasetyo
Biodata Singkat 'Humas Khilafah'
Lahir: Surabaya, 11 Juli 1947
Pendidikan:
- SD-SMA di Surabaya
- S1 Fakultas Kedokteran Unair (lulus 1974)
- S2 Ilmu Medikal Farmasi Fakultas Kedokteran Unair (lulus 1982)
Pekerjaan:
- Dosen Fakultas Kedokteran Unair
- Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Hangtuah Surabaya
- Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusumah Surabaya
- Dosen D3 dan S1 Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Rumah Sakit Islam Surabaya
- Direktur Rumah Sakit Muhammadiyah Surabaya (1995-2002)
Organisasi:
- SD-SMA Pengurus Pelajar Islam Indonesia
- Dewan Pakar ICMI Jawa Timur
- Anggota MUI Jawa Timur (1981-1985)
- Humas DPD I HTI Jawa Timur
http://www.mediaumat.com/sosok/1096.html
Gempa bumi yang berulang kali menimpa negeri ini tidak seberapa dahsyatnya bila dibandingkan dengan gempa sosial. Gempa sosial itu, menurut KH. dr. Muhammad Usman, AFK adalah merasuknya sekulerisme demokrasi di tengah-tengah kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Sehingga negeri yang kaya akan SDA dan SDM ini terpuruk dan terus menerus tertimpa krisis multidimensi.
Di samping tuntutan keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT, ujar dosen Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya itu, menegakkan syariah dalam bingkai khilafah merupakan solusi total untuk bangkit dari keterpurukan.
Pria sepuh ini, selalu berupaya menularkan prinsipnya itu kepada siapa saja terutama kepada mahasiswanya dan para dosen. Semestinya sekarang setiap dosen sudah harus memahami hal tersebut.
Dalam rangka itu pulalah pada Ahad 29 Nopember lalu ia mengisi acara pertemuan dengan dosen-dosen dari Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS). Pekan depannya membahas masalah yang sama dengan dosen-dosen di Unair.
Ia pun menjelaskan bagaimana seharusnya kiprah seorang dosen itu. Dosen bukan hanya sebagai pengajar mahasiswa terkait keilmuan mata kuliah yang diasuhnya tetapi juga harus berdakwah menyadarkan mahasiswanya untuk turut berjuang menegakkan syariah dan khilafah.
Semua dosen Muslim, baik kedokteran, teknik dan lainnya harus pula menjadi ujung tombak dakwah Islam. “Karena punya mahasiswa banyak, sudah seharusnya menyampaikan pemahaman tersebut walaupun secara tidak langsung melalui mata kuliah yang diasuhnya,” paparnya.
Itulah potensi yang harus dimaksimalkan oleh teman-teman dosen sebagai bentuk tanggung jawab dakwah mereka untuk merubah masyarakat ini. Karena semuanya itu akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah SWT di akhirat kelak. “Ini merupakan investasi akhirat,” tandas dokter yang selalu menjadi khatib Shalat Jum'at di berbagai kampus di Surabaya itu.
Aktif Berorganisasi
Bukan saat ini saja ia giat berdakwah dari satu masjid ke masjid lain dari satu diskusi ke diskusi lain. Dari kecil dunia dakwah dan organisasi sudah menjadi bagian dari hidupnya. Sejak SD hingga SMA ia menjadi pengurus Persatuan Pelajar Islam Indonesia (PII). Ketika kuliah masuk Himpunan Mahasiswa Islam (HMI).
Ia pun aktif di Masjid Al Falah Surabaya dan Muhammadiyah. Bersama rekan-rekannya di Al Falah, Usman membentuk Dewan Muslim Al Falah. Kemudian merubah namanya menjadi Cendikiawan Al Falah, sebelum akhirnya berubah menjadi bagian dari Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI). Di ICMI Surabaya pun ia menjadi salah satu dewan pakarnya. Sejak masih di Cendikiawan Al Falah ia sering sekali berdiskusi dengan Amien Rais, baik di Surabaya, Yogyakarta, Bandung maupun Jakarta.
Lulus kuliah pada 1974 kemudian ia menjadi dosen Fakultas Kedokteran di Unair. Sambil tetap mengajar dan aktif berorganisasi, ia melanjutkan kuliah pasca sarjana di Unair program studi Ilmu Medikal Farmasi.
Bahkan di tengah kesibukannya menyusun tesis, pada 1982 Usman bergabung menjadi anggota Hizbut Tahrir. Setelah ia merasa sangat tercerahkan dengan pembahasan Nizhamul Islam, Sistem Kehidupan dalam Islam, yang disampaikan oleh seorang aktivis HT yang mengajaknya berdiskusi secara intensif selama satu tahun.
Sejak saat itu pandangannya tentang demokrasi berubah total. Dalam berbagai kesempatan ia jelaskan kewajiban menerapkan syariah Islam secara formal dalam bingkai Khilafah Islam. Namun sayang, Amien Rais tidak setuju. Namun ia tidak berkecil hati, dalam berbagai kesempatan berdiskusi dengan Amien Rais ia tetap menyampaikan pandangannya itu.
Tetap Teguh
Usman merupakan salah satu pegawai negeri sipil (PNS) yang melawan arus bukan dalam rangka mencari sensasi tetapi semata-mata hanya selalu berupaya mengaitkan setiap amal perbuatannya dengan syariah.
Saat itu, era Soeharto, ada aturan tidak tertulis bahwa setiap pegawai negeri 'wajib' menjadi anggota Golongan Karya (Golkar). Maka ketika ada kenaikan pangkat dan golongan, personalia Unair, menekannya untuk memilih Golkar dan menjadi anggota Golkar.
Usman menolak, konsekuensinya bertahun-tahun ia tetap golongan III b. “Setiap ada promosi kenaikan pangkat saya tidak mau menandatangani menjadi anggota Golkar” ujarnya.
Sehingga setiap kali diminta untuk tanda tangan ia tidak pernah menandatanganinya. “Sejak saya III b, saya tidak bisa naik ke III c karena syaratnya harus tanda tangan,” tandasnya.
Saya tetap bertahan dengan prinsip, meskipun teman sejawat menyatakan kan cuma tanda tangan saja, sekadar formalitas, di Tempat Pemungutan Suara (TPS) kita merdeka. “Saat itu karena memang saya sudah masuk HT. Jadi semangat saya itu ingin tidak dicampuri oleh kegiatan yang sifatnya sekuler begitu,” argumennya.
Karena itulah kemudian ia tetap bertahan dan terus menuntut untuk kenaikan golongan dan pangkat kepada personalia Unair. “Pokoknya saya tidak mau, itukan hak saya sebagai dosen. Saya tidak mempunyai kewajiban untuk masuk Golkar!” debatnya.
Usman beranggapan buat apa menjadi anggota Golkar atau partai lain yang loyal terhadap demokrasi, karena itu tidak sejalan dengan dakwah keislaman yang ia lakukan terus secara istiqamah itu.
“Akhirnya saya protes terus. Kenapa kok saya dihambat-hambat, ya lama kelamaan mereka risih juga dengan protes saya sehingga naik terus sampai Lektor Kepala,” kenangnya mengingat kenaikan golongannya dari III a sampai IV a itu. Di era Gus Dur, pangkatnya menjadi Lektor Kepala.
Ia selalu mengatakan demokrasi itu kalau sekadar bermusyawarah, dalam Islam ya tidak apa-apa. Selama tidak mencampuradukkan antara yang halal dengan yang haram. Akan tetapi kalau sudah menjadi metode yang membolehkan manusia sebagai sumber hukum untuk mengatur kehidupan manusia maka tentu harus ditolak.
“Sehingga berdemokrasi menurut agama Islam merupakan perbuatan yang sangat tercela,” pungkas salah satu pembicara dalam Konferensi Internasional Khilafah Islamiyah pada tahun 2000 di Istora Senayan Jakarta itu.[] joko prasetyo
Biodata Singkat 'Humas Khilafah'
Lahir: Surabaya, 11 Juli 1947
Pendidikan:
- SD-SMA di Surabaya
- S1 Fakultas Kedokteran Unair (lulus 1974)
- S2 Ilmu Medikal Farmasi Fakultas Kedokteran Unair (lulus 1982)
Pekerjaan:
- Dosen Fakultas Kedokteran Unair
- Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Hangtuah Surabaya
- Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusumah Surabaya
- Dosen D3 dan S1 Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Rumah Sakit Islam Surabaya
- Direktur Rumah Sakit Muhammadiyah Surabaya (1995-2002)
Organisasi:
- SD-SMA Pengurus Pelajar Islam Indonesia
- Dewan Pakar ICMI Jawa Timur
- Anggota MUI Jawa Timur (1981-1985)
- Humas DPD I HTI Jawa Timur
http://www.mediaumat.com/sosok/1096.html
Langganan:
Postingan (Atom)