Daniele
Conversi mengatakan, “Nasionalisme mengasumsikan bahwa dunia secara
alami terbagi-bagi menjadi entitas-entitas yang berbeda yang disebut
bangsa, maka dari itu, nasionalisme merupakan suatu proses
kategorisasi sosial, dalam menentukan mana yang tergolong
“diri-sendiri” (self) dan mana yang tergolong “yang lain”
(other)”[1]. Jika kita mengingat salah satu kalimat yang diikrarkan
oleh beberapa gelintir orang pada Konges Pemuda ke-2 yang berbunyi
“berbangsa satu Bangsa Indonesia”, maka sewaktu SD kita seolah
tersihir, alam bawah sadar kita menerimanya identitas kebangsaan itu
sebagai suatu hal yang benar dengan sendirinya (self-evidence), yang
kontingen (tidak butuh alasan), yang alami. Kita yakin bahwa
ke-Indonesia-an kita itu merupakan suatu hal yang datang dari
sono-nya (given), suatu takdir politik yang tak perlu dipertanyakan
apalagi digugat. Dan karenanya, kita harus setia kepada negara
Indonesia, kesetiaan ini merupakan panggilan takdir politik kita
sebagai bangsa. Inilah nasionalisme, yang oleh Ernest Gellner
didefinisikan sebagai,“prinsip politik yang pada intinya
berpendirian bahwa unit politik dan unit kebangsaan haruslah
kongruen”. [2]
Tapi, pernahkah kita coba
mengkritisi alam fikiran kita, dan bertanya, atas dasar apa kita
“diklasifikasikan” menjadi satu jenis manusia yang disebut bangsa
Indonesia; dan atas dasar apa pula mereka –orang selain kita –
diklasifikasikan menjadi bangsa yang lain, entah Malaysia atau pun
Papua New Guinea?
Mungkin terbesit di
pikiran anda, “oh itu karena kita berasal dari asal-usul dan
etnisitas yang sama, yang berasal dari leluhur bangsa Indonesia“.
Maka dengan mudah keraguan akan menggoyang fikiran anda itu. Sebab,
jika sekilas saja anda melihat etnis-etnis yang ada, maka anda tidak
akan yakin kalau -secara asal-usul- orang Riau lebih dekat dengan
orang Papua dari pada dengan orang Malaysia. Kenyataannya, orang Riau
dan Malaysia sama-sama orang Melayu sedangkan orang papua lebih dekat
dengan bangsa Aborigin.
Mungkin anda akan
beralih, “oh kita benar-benar sebangsa karena memiliki bahasa yang
sama, yakni Bahasa Indonesia“. Maka, keyakinan anda itu akan pudar
ketika masuk ke pelosok-pelosok negeri dan menemukan penduduk asli
dari kalangan kaum tua (yang tidak sekolah) yang kebanyakan dari
mereka tidak mampu berbahasa Indonesia. Itu menunjukkan bahwa Bahasa
Indonesia bukan bahasa asli sebagaian besar suku-suku yang
digolongkan ke dalam Bangsa indonesia. Bahasa Indonesia menjadi
populer setelah menjadi bahasa resmi, bahasa pemerintahan, bahasa
birokrasi, bahasa pendidikan, dan bahasa media masa terutama radio
dan televisi. Jadi dengan pembuktian sederhana saja kita bisa
mengetahui bahwa kesatuan bahasa kita justru muncul belakangan
setelah Bangsa Indonesia dibuat dan diresmikan menjadi negara.
Tapi anda mungkin bisa
lari ke alasan lain, “oh itu karena kita tinggal di wilayah yang
sama, yakni wilayah yang disebut Indonesia“. Benar, wilayah kita
dari Sabang sampai Merouke memang relatif berdekatan (berjajar).
Tapi, apakah sebenarnya wilayah geografis yang disebut Indonesia itu?
Apa saja yang menjadi batasan geografisnya yang alami? Justru kalau
kita bicara soal kesatuan wilayah geografis, bukankah
propinsi-propinsi di kalimantan lebih menyatu dengan Malaysia dan
Brunei dari pada dengan Pulau Jawa? Bukankah tanah Papua lebih
menyatu dengan Papua New Guinea dari pada dengan Sumatera? Bukankah
Aceh lebih dekat dengan Malaysia daripada dengan Bali? Bukankah
pulau-pulau di Utara Sulawesi lebih dekat dengan Filiphina dari pada
dengan Jawa? Jadi, wilayah geografis alami yang disebut Indonesia itu
sebenarnya tidak ada, karena secara geografis Kalimantan bersatu
dengan Malaysia, NTT bersatu dengan Timor Leste, Papua bersatu dengan
Papua New Guinea. Yang ada sebenarnya adalah wilayah politik, yakni
wilayah yang tidak dicirikan dan dipagari oleh barier (pembatas)
alam, melainkan bentangan yang dibatasi secara imajener, ditentukan
oleh proses politik yang terjadi. Dengan demikian, argumentasi
kesamaan wilayah geografis tampak masih meragukan dan membingungkan.
Mungkin anda akan
mengatakan, “Kita adalah bangsa Indonesia karena kita memiliki
kultur alias budaya yang sama, budaya Indonesia“. Alasan ini sangat
jelas salahnya. Karena dalam kenyataannya, apa yang secara
konvensional dan politis disebut sebagai Indonesia itu terdiri dari
banyak suku dan masing-masing suku memiliki kultur yang sangat
berbeda satu sama lain. Silahkan bandingkan kultur Aceh dengan kultur
Bali, kultur Jawa dengan Kultur Dayak, kultur Toraja dengan Kultur
Madura, kultur Melayu dengan kultur Papua, dst. Sangat luar biasa
naif sekali jika ada yang mengatakan bahwa kultur-kultur itu saling
berdekatan karena satu bangsa. Jadi masalah kultur juga tidak dapat
menjelaskan kenapa kita disatukan menjadi satu bangsa.
Mungkin jurus terakhir
yang bisa anda keluarkan adalah kesamaan kesejarahan. Tapi, masih ada
keraguan yang akan menyergap anda. Sejarah itu panjang dan
berubah-ubah. Sejarah periode mana yang bisa menjadi justifikasi
kesatuan kebangsaan kita? Jika legitimasinya adalah soal sejarah,
maka orang Ternate bisa punya alasan untuk menjadi bangsa sendiri,
karena sejarah besar kerajaan mereka yang tak terlupakan. Begitu pula
orang Jogja, mereka bisa mengklaim menjadi bangsa sendiri karena
ingatan mereka tentang Kerajaan Mataram Islam yang masih sangat
hangat. Tak heran, jika anda pergi ke Jogja pada tahun 2010/2011,
anda akan menemukan spanduk-spanduk bernada tegas : “bergabung
bukan berarti melebur“. Maksudnya, bergabung dengan Indonesia bukan
berarti identitas kesejarahan mereka sebagai Kerajaan Mataram harus
dihilangkan sehingga dianggap sama dengan daerah lain. Ini menyangkut
tuntutan sebagian besar masyarakat Jogja terhadap keistimewaan daerah
mereka, yang sekarang menjadi bagian Indonesia karena keputusan
politik Sri Sultan HB IX yang menggabungkan negara-kerajaannya ke
dalam Negara Indonesia. Bahkan sebenarnya, kerajaan yang serupa
dengan Mataram itu bertebaran di mana-mana. Jika masing-masing ingin
menjadikan sejarah sebagai alat untuk melegitimasi kedaulatan
“bangsa”nya, maka Indonesia hanya akan tinggal sejarah.
Namun, saya tidak
memungkiri bahwa dalam kenyataannya, sejarah inilah yang sebenarnya
membentuk Bangsa Indonesia. Hanya saja, sejarah yang dimaksud adalah
sejarah kolonialisme abad 19, bukan sejarah masa silam yang jauh.
Yang namanya Indonesia bukanlah kesatuan berdasarkan etnis, budaya,
bahasa, atau pun faktor geografis. Bukan pula berdasarkan sejarah
yang jauh dari masa silam. Tapi, Indonesia adalah gabungan
daerah-daerah dan pulau-pulau yang menjadi bekas jajahan Belanda di
sebuah kepulauan di Asia Tenggara. Tepatnya, Indonesia adalah bekas
wilayah Hindia-Belanda. Bangsa Indonesia lahir dari perasaan senasib
dalam penjajahan Belanda, yang memunculkan semangat untuk merdeka
menjadi suatu “bangsa sendiri” yang bebas. Ini yang secara luas
disebut dengan semangat pembebasan nasional (national liberation)[3].
Ini bisa menjelaskan
kenapa wilayah Indonesia mencakup daerah-daerah yang disinggahi oleh
beragam etnis dan secara geografis tidak menyatu, dengan pola yang
tidak mengikuti barier alam yang ada, sehingga sulit disebut sebagai
satu bangsa dalam kacamata seorang primordialis. Indonesia meliputi
Sumatera, sebagian Kalimantan, Jawa, Sulawesi, Papua Barat, dll. Itu
karena semuanya merupakan wilayah Hindia-Belanda. Ini juga bisa
menjelaskan kenapa wilayah yang menyatu atau berdekatan decara
geografis justru tidak masuk wilayah Indonesia. Kalimantan
bagian utara tidak masuk wilayah Indonesia karena wilayah itu bukan
jajahan Belanda, melainkan jajahan Inggris (meski pembagian itu
membawa konsekuensi terpisahnya suku bangsa Melayu ke dalam dua
bangsa yang berbeda). Papua bagian Timur tidak dianggap Indonesia,
karena wilayah itu bukan jajahan Belanda, melainkan jajahan Portugis
(sehingga bangsa di Papua juga terpisah menjadi dua karena
penjajahan).
Demikianlah.
Keindonesiaan kita ternyata bukan identitas yang givendari langit,
bukan pula suatu identitas alami. KeIndonesiaan kita ternyata
merupakan identitas artifisial (buatan), hasil rekayasa politik,
warisan kolonial Belanda. Apa yang saya katakan itu sesuai dengan
penelaahan Anthony D. Smith, sosiolog yang konsen dalam studi tentang
kebangsaan dan nasionalisme, bahwa indonesia merupakan salah satu
bangsa yang karakter dan batas-batasnya ditentukan oleh negara
kolonial[4].
Ada baiknya kita juga
menyimak perkataan Benedict Anderson tentang Indonesia dalam Imaged
Comunities-nya. Dia mengatakan: “Kasus Indonesia memberikan
gambaran kerumitan dari proses tersebut (pengaruh kolonialisme
terhadap pembentukan negara-bangsa -pent) dengan cara yang
mengesankan, bukan hanya karena ukurannya yang luas, populasinya yang
besar (bahkan pada masa kolonial), fragmentasi geografis (sekitar
3.000 pulau), keragaman agama (Islam, Buda, Katolik, Protestan, Hindu
dan animisme), dan juga perbedaan etno-linguistiknya (lebih dari 100
kelompok berbeda); lebih dari itu, sebagaimana ditunjukkan oleh
namanya -yang merupakan campuran pseudo-hellenic- (maksudnya nama
indo-nesia -pent), bentangannya sama-sekali tidak memiliki hubungan
dengan faktor-faktor sebelum penjajahan; sebaliknya, tapal-tapal
batasnya merupakan warisan dari penaklukan Belanda yang terakhir,
paling tidak sebelum invasi brutal yang dilakukan oleh Jendral
Soeharto ke bekas jajahan Portugis -Timor Timur“[5].
Dia juga mengungkapkan
keganjilan yang menyeruak ketika mengamati hubungan antara penduduk
Sumatera, Semenanjung Malaka dan Ambon. Dia mengatakan, “Sebagian
penduduk di pesisir pantai timur Sumatera yang berseberangan dengan
Semenanjung Malaka bukan hanya secara fisik dekat dengan masyarakat
Pesisir Barat Semenanjung Malaka, tapi mereka juga punya hubungan
etnis, dapat memahami bahasa satu dengan lainnya, dan seterusnya.
Orang-orang Sumatera tidak memiliki kesamaan bahasa-ibu, etnisitas
maupun agama dengan penduduk Ambon yang tinggal di sebuah pulau
ribuan mil jaraknya ke arah timur. Namun selama kurang dari satu abad
ini, mereka mulai menganggap orang-orang Ambon sebagai saudara
se-Indonesia sedangkan orang Malaysia mereka anggap sebagai orang
asing“.[6]
Dia juga mengatakan,
“Presiden Soekarno selalu bicara dengan penuh keyakinan mengenai
350 tahun masa penjajahan yang diderita oleh “Indonesia”nya.
Meskipun sebenarnya konsep “Indonesia” merupakan penemuan Abad
ke-20. Dan sebagian besar wilayah yang sekarang disebut Indonesia itu
baru ditaklukkan Belanda pada rentang waktu antara 1850 – 1910“.[7]
Jadi jelas, apa yang
diklaim sebagai bangsa Indonesia sebenarnya merupakan fenomena
modern, hasil kreasi-politik manusia. Batas-batasnya lebih ditentukan
oleh jangkuan kolonial Belanda daripada ditentukan oleh keberadaan
sebuah bangsa alami dalam kacamata primordialisme. Artinya, bangsa
Indonesia sebenarnya tidak pernah ada sebelum berakhirnya penjajahan
Belanda. Dari bekas wilayah Hindia-Belanda itulah belakangan berdiri
sebuah “bangsa” baru yang bernama Indonesia.
Kesimpulan. Terkait
dengan ke-bangsaindonesia-an kita, dapat disimpulkan bahwa: Satu, apa
yang sekarang disebut Bangsa Indonesia itu belum benar-benar ada
sebelum penjajahan Belanda usai. Dua, kita digolongkan sebagai bangsa
Indonesia karena kita tinggal di wilayah bekas jajahan Belanda. Tiga,
orang yang tinggal di semenanjung Melayu dan Kalimantan bagian utara
bukan saudara sebangsa kita karena wilayah yang mereka tinggali tidak
dijajah Belanda, melainkan di wilayah yang dijajah oleh Inggris.
Begitu pula orang Mindanau, bukan tergolong “kita” karena mereka
dijajah Spanyol.
Dapat disimpulkan juga
bahwa kebangsaan kita ternyata suatu hal yang imaginer, diklaim
berdasarkan suatu hal yang ilusif dan manipulatif. Jika demikian,
apakah kita masih perlu mempertahankan faham kebangsaan yang tidak
lain hanyalah kebanggaan terhadap warisan kolonial itu? Fatalnya,
klasifikasi imajiner dan ilusif ini seringkali membawa konsekuensi
yang sangat penting, yakni tertanamnya persepsi “mana kita dan mana
mereka”, “mana kawan dan mana lawan”. Tak heran, Malaysia dan
Indonesia sering mengalami ketegangan karena masalah tapal batas dan
rebutan kebudayaan. Padahal, keduanya mungkin tidak akan terpisah
menjadi Malaysia dan Indonesia jika tanpa kedatangan penjajah Belanda
dan Inggris. Jadi jelas, kebangsaan kita bukan suatu hal yang alami,
tapi artifisial.
Seruan. Akhirnya, kami
tawarkan ikatan yang lebih baik dan lebih konkret, bukan sekedar
kesamaan riwayat penjajahan, tapi ikatan atas dasar kesamaan yang
haqiqi, kesamaan aqidah (Islam), kesamaan Ilaah/sesembahan (Allah
Ta’ala), kesamaan panutan (Muhammad saw), kesamaan dustur (Al
Qur’an dan As Sunnah), kesamaan saudara (orang-orang yang beriman),
kesamaan musuh (kekufuran dan kemaksiyatan), kesamaan misi hidup
(mengabdi kepada Allah), kesamaan jalan hidup (syariah Islam), dan
kesamaan cita-cita sejati (mencapai hidup yang diridhoi Allah,
menggapai surga Allah). Inilah dasar dari persaudaraan sejati, ikatan
tali (agama) Allah yang kokoh. Inilah “kita”, dan orang yang
tidak memiliki kesamaan itu maka mereka adalah “mereka”. Alangkah
indahnya jika “kita-kita” yang memiliki kesamaan dan persaudaraan
sejati itu bersatu, terhimpun dalam satu kepemimpinan, terkumpul
dalam satu Institusi: Khilafah Islamiyah, yang akan melindungi semua
saudara, menghadapi semua musuh kita, dan menegakkan syariat Islam.
Ya Allah, satukanlah hati kami, satukanlah kekuatan kami!
[Titok Priastomo,
28-29/12/11] ( syabab HTI jogjakarta )
[1] Daniele Conversi,
Reassessing Curren Theories of Nationalism: Nationalism as Boundary
Maintenance and Creation, Jurnal Nationalism and Ethnic politics,
Vol.I, No.I (1995), hlm 81
[2] Ernest Gellner,
Nations and Nationalism (Oxford: Basil Blackwell, 1983), hlm. 1
[3] Eric J. Habsbowm,
Nations and Nationalism Since 1780: Programe, Myth, reality
(Cambridge: Cambridge University Press, 2000), hlmn. 136
[4] Anthony D. Smith,
National Identity (London: Pinguin Books, 1991), hlmn. 106
[5] Benedict Anderson,
Imaged Comunities Reflection on The Origin and Spread of Nationalism
(London, New York: Verso, 1991), hlmn. 120. Buku Anderson ini
dicetak pertama kali tahun 1983, sebelum Timor Timur lepas dari
Indonesia, menjadi Timor Leste. Maka, dengan lepasnya Timor Timur,
wilayah Indonesia benar-benar ditentukan oleh tapal batas penjajahan
Belanda yang terakhir.
[6] Benedict Anderson,
Imaged Comunities Reflection on The Origin and Spread of Nationalism
(London, New York: Verso, 1991), hlmn. 120-121
[7] Benedict Anderson,
ibid, hlmn. 11 (catatan kaki nmr 4)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar