Mengamati, Melihat, memahami, Dan Menuliskannya

Minggu, 19 Februari 2012

workshop Ulama : " bersama ulama tegakkan syari'ah dan Khilafah

Purworejo,19/02/2012. bertempat di rumah makan ragil Purworejo, Hizbut tahrir DPD II Purworejo mengadakan Workshop Ulama. acara ini diikuti para ulama purworejo dan kebumen. dalam kesempatan ini yg menjadi pemateri adalah Ustadz Abu Hanif dari DPD I Jogjakarta, beliau juga pengurus MUI Jogjakarta. acara ini dimulai pukul 08.00-12.00.

terdapat dua materi yg disampaikan oleh Ust.Abu Hanif, yg pertama kewajiban penerapan Syari'ah dan Khilafah. dan materi kedua bertemakan Dakwah menuju tegaknya syari'ah dan Khilafah.


Khilafah adalah kepemimpinan umum bagi seluruh kaum muslimin di dunia untuk menegakkan hukum-hukum syari'at Islam dan mengemban da'wah ke segenap penjuru dunia.  Kata lain dari khilafah adalah Imamah. Imamah dan khilafah mempunyai arti yang sama. Banyak hadits shahih yang menunjukkan bahwa dua kata itu memiliki konotasi yang sama. Bahkan tidak ada satu nash pun baik dalam Al Qur'an maupun Al Hadits yang menyebutkan kedua istilah itu dengan makna yang saling berten­tangan antara satu dengan yang lainnya. Kaum muslimin tidak harus terikat dengan salah satu dari keduanya, apakah istilah khilafah ataupun imamah. Sebab yang menjadi pegangan dalam hal ini adalah makna yang ditunjukkan oleh kedua istilah itu.
Menegakkan khilafah hukumnya fardlu (wajib) bagi selu­ruh kaum muslimin. Sebagaimana telah dimaklumi bahwa melaksanakan suatu kewajiban yang telah dibebankan oleh Allah kepada kaum muslimin adalah suatu keharusan yang menuntut pelaksanaan tanpa tawar-menawar lagi dan tidak pula ada kompromi. Demikianlah adanya dengan kewajiban mene­gakkan khilafah. Melalaikannya berarti merupakan salah satu per­buatan maksiat terbesar dan Allah akan mengazab para pelakunya dengan siksaan yang sangat pedih.
Dalil-dalil mengenai kewajiban menegakkan khilafah bagi seluruh kaum muslimin termaktub di dalam Al Qur'an, As Sunnah dan ljmau'sh Shahabat.
Dalam Al Qur'an, Allah SWT telah memerintahkan Rasulullah saw agar menegakkan hukum di antara kaum muslimin dengan hukum yang telah diturunkan-Nya. Dan perintah itu dalam bentuk yang tegas (pasti). Allah SWT berfirman:
"Maka putuskanlah perkara di antara manusia dengan apa yang telah diturunkan Allah, dan janganlah engkau menuruti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu." (Al Maidah: 48).
"(Dan) Hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka dengan apa yang telah diturunkan Allah, dan janganlah engkau mengikuti hawa nafsu mereka. Dan waspadalah engkau terha­dap fitnah mereka yang hendak memalingkan engkau dari seba­gian apa yang telah diturunkan Allah kepadanm"(Al Maidah: 49).
Firman Allah SWT yang ditujukan kepada Rasul-Nya juga meru­pakan seruan untuk ummatnya, selama tidak ada dalil yang menunjukkan bahwa firman itu dikhususkan untuk beliau. Semen­tara pada ayat ini tidak ditemukan dalil yang mengkhususkannya kepada Nabi, sehingga menjadi seruan yang juga ditujukan kepada kaum muslimin untuk mewujudkan pemerintahan. Tidak ada arti lain dalam mengangkat khalifah kecuali mewujudkan pemerintahan.
Allah SWT juga memerintahkan agar kaum muslimin mentaati ulil amri yaitu penguasa. Perintah ini juga termasuk di antara yang menunjukkan kewajiban adanya penguasa atas kaum muslimin. Allah SWT berfirman:
"Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul­Nya. dan ulil amri dari kamu sekahan."( An Nisa: 59).
Tentu saja Allah SWT tidak memerintahkan kaum muslimin untuk rnentaati seseorang yang tidak berwujud. Sehingga menjadi jelas bahwa mewujudkan ulil amri adalah suatu yang wajib. Tatkala Allah memberi perintah untuk mentaati ulil amri, berarti pula perintah untuk mewujudkannya. Adanya ulil amri menyebabkan terlaksananya kewajiban menegakkan hukurn syara', sedangkan mengabaikan terwujudnya ulil amri menyebabkan tersia-sianya hukurn syara'. Jadi mewujudkan ulil amri itu adalah wajib. Kare­na kalau tidak diwujudkan akan menyebabkan terlanggarnya per­kara yang haram, yaitu menyia-nyiakan hukum syara'.
Sedangkan dalil dari As Sunnah, adalah hadits yang diriwayatkan oleh Nafi' yang berkata: Umar radhiyallahu 'anhu telah berkata kepadaku: Aku mendengar Rasulullah saw bersabda:
«من خلع يداً من طاعة لقي الله يوم القيامة لا حجة له، ومن مات وليس في عنقه بيعة مات ميتة جاهلية»
"Siapa saja yang melepas tangannya dan  ketaatan kepada Allah niscaya ia akan berjumpa dengan Allah di hari kiamat tanpa me­miliki hujjah. Dan siapa saja yang mati sedangkan di pundaknya tidak ada bai’at, maka matinya adalah seperti mati jahiliyah"
Nabi saw mewajibkan adanya bai'at pada pundak setiap muslim dan mensifati orang yang mati dalam keadaan tidak berbai'at seperti matinya orang-orang jahiliyah. Padahal bai'at hanya dapat diberikan kepada khalifah, bukan kepada yang lain. Rasulullah telah mewajibkan atas setiap muslim agar di pun­daknya selalu ada bai’at kepada seorang khalifah.  Namun tidak mewajibkan setiap muslim untuk melakukan prosesi bai’at kepada khalifah secara langsung. Yang wajib adalah adanya bai’at pada pundak setiap muslim, yaitu adanya seorang khalifah yang mern­punyai hak bai’at dari setiap muslim. Jadi keberadaan khalifahlah yang akan memenuhi tuntutan hukum adanya bai'at di atas pundak setiap muslim, baik dia berbai’at secara langsung maupun tidak. Oleh karena itu, hadits di atas adalah dalil kewajiban mengangkat seorang khalifah dan bukan merupakan dalil kewaji­ban berbai’at.  Sebab, dalam hadits tersebut yang dicela oleh Rasulullah saw adalah keadaan tidak adanya bai’at pada pundak setiap muslim hingga ia mati, bukan karena tidak melaksanakan bai’at.
Imam Muslim telah meriwayatkan dari Al A'raj dari Abi Hurairah dari Nabi saw bersabda:
«إنما الإمام جُنة يُقاتَل من ورائه ويُتّقى به»
"Sesungguhnya seorang Imam adalah laksana perisai, dimana orang-orang akan berperang di belakangava dan menjadikannya sebagai pelindung (bagi dirinya) "
Imam  Muslim juga meriwayatkan dari Abi Hazim yang berkata:
قاعدت أبا هريرة خمس سنين فسمعته يحدث عن النبي - صلى الله عليه وسلم - قال: «كانت بنو إسرائيل تسوسهم الأنبياء، كلما هلك نبي خلفه نبي، وأنه لا نبي بعدي، وستكون خلفاء فتكثر، قالوا: فما تأمرنا ؟ قال: فوا ببيعة الأول فالأول، وأعطوهم حقهم فإن الله سائلهم عما استرعاهم»
"Aku telah mengikuti majelis Abu Hurairah selama lima tahun.  Pernah aku mendengarnya menyampaikan hadits dari Rasulullah SAW yang bersabda: Dahulu Bani Israil selalu dipimpin dan dipelihara urusannya oleh para nabi.   Setiap kali seorang nabi meninggal digantikan oleh nabi yang lain. Sesungquhnya tidak akan ada nabi sesudahku. (Tetapi) nanti akan ada banyok khalifah.  Para shahabat bertanya: Apakah yang engkau perintahkan kepada kami? Beliau menjawab: Penuhilah bai’at yang pertama dan yang pertama itu saja. Berikanlah kepada mereka haknya. kaRena Allah nanti akan menutut pertanggung­jawaban mereka tentang rakyat yang dibebankan urusannya kepada mereka "
Dari Ibnu Abbas dari Rasulullah saw bersabda:
«من كره من أميره شيئاً فليصبر عليه، فإنه ليس أحد من الناس خرج من السلطان شبراً فمات عليه إلا مات ميتة جاهلية»
“'Siapa saja yang membenci sesuatu dari amirnya hendaknya ia tetap bersabar. Sebab. siapa saja yang keluar (memberontak) dari penguasa sejengkal saja kemudian mati dalam keadaan demikian, maka matinya adalah seperti mati jahilyvah ".
Hadits-hadits ini diantaranya merupakan pemberitahuan (ikhbar) dari Rasulullah saw bahwa akan ada penguasa-penguasa yang memerintah kaum muslimin, dan bahwa seorang khalifah adalah laksana perisai. Pemyataan Rasulullah saw bahwa seorang imam itu laksana perisai menunjukkan pernberitahuan tentang adanya makna fungsional dari keberadaan seorang imam, dan ini merupakan suatu tuntutan. Sebab, setiap pemberi­tahuan yang berasal dari Allah dan Rasul-Nya, apabila mengan­dung celaan (adz dzamrn) maka yang dimaksud adalah tuntutan untuk meninggalkan atau merupakan larangan dan apabila mengandung pujian (al mad-hu) maka yang dimaksud adalah tuntutan untuk melakukan perbuatan. Dan kalau pelaksanaan perbuatan yang dituntut itu menyebabkan tegaknya hukum syara atau jika ditinggalkan mengakibatkan terbengkelainya hukum syara', maka tuntutan untuk melaksanakan perbuatan itu berarti bersifat tegas.
Dalam hadits-hadits ini juga disebutkan bahwa yang memimpin dan mengatur kaum muslimin adalah para khalifah. Ini menunjukkan adanya tuntutan untuk mendirikan khilafah. Salah satu hadits tersebut ada yang menjelaskan keharaman kaum muslimin keluar (memberontak) dari penguasa. Semua ini menegaskan bahwa perbuatan mendirikan pemerintahan bagi kaum muslimin statusnya adalah wajib.
Selain itu, Rasululah saw juga memerintahkan kaum muslimin untuk mentaati para khalifah dan memerangi orang­orang yang merebut kekuasaan mereka. Perintah Rasul ini berarti perintah untuk mengangkat seorang khalifah dan memeli­hara kekhilafahannya dengan cara memerangi orang-orang yang merebutnya. Imam Muslim meriwayatkan bahwa Nabi saw bersabda:
«ومن بايع إماماً فأعطاه صفقة يده وثمرة قلبه فليطعه إن استطاع، فإن جاء آخر ينازعه فاضربوا عنق الآخر»
"'Siapa saja yang telah membai'at seorang imam, lalu ia mem­berikan uluran tangan dan buah hatinva, hendaknva ia mentaati­nya jika ia mampu.  Apabila ada orang lain hendak merebutnya maka penggallah leher orang itu".
Jadi perintah mentaati Imam berarti pula perintah mewujudkan sistem khilafahnya, sedang perintah memerangi orang yang mere­butnya merupakan isyarat (qarinah) yang menegaskan secara pasti akan keharusan melestarikan adanya imam yang tunggal.
Adapun dalil Ijmaush Shahabat menunjukkan bahwa para shahabat, Ridlawanullahi 'alaihim, telah bersepakat mengenai keharusan mengangkat seorang pengganti Rasulullah saw setelah beliau wafat.  Mereka juga bersepakat mengangkat khalifah sepe­ninggal Abu Bakar, Umar bin Khaththab, dan Utsman bin Affan.
Ijma' shahabat yang menekankan pentingnya pengangka­tan khalifah nampak jelas dalam kejadian bahwa mereka menun­da kewajiban menguburkan jenazah Rasulullah saw dan men­dahulukan pengangkatan seorang khalifah pengganti beliau. Padahal menguburkan mayat secepatnya adalah suatu keharusan dan diharamkan atas orang-orang yang wajib menyiapkan pemakaman jenazah melakukan kesibukan lain sebelum jenazah dikebumikan. Namur. sebagian dari para shahabat yang wajib menyiapkan pemakaman jenazah Rasulullah saw temyata justru mendahulukan upaya-upaya untuk mengangkat khalifah. Sedang­kan sebagian shahabat lain yang tidak ikut sibuk mengangkat khalifah, ternyata ikut pula menunda kewajiban menguburkan jenazah Nabi saw sampai dua malam, padahal mereka mampu mengingkari hal ini dan mengebumikan jenazah Nabi secepatnya. Fakta ini menunjukkan adanya kesepakatan mereka untuk segera melaksanakan kewajiban mengangkat khalifah daripada mengu­burkan jenazah. Hal itu tak akan terjadi kecuali jika status hukum mengangkat seorang khalifah lebih wajib daripada menguburkan jenazah.
Demikian pula bahwa seluruh shahabat selama hidup mereka telah bersepakat mengenai kewajiban mengangkat khali­fah. Walaupun sering muncul perbedaan pendapat mengenai sia­pa yang tepat untuk dipilih dan diangkat menjadi khalifah, namun mereka tidak pernah berselisih pendapat sedikit pun mengenai wajibnya mengangkat seorang khalifah, baik ketika wafatnva Rasulullah saw maupun ketika pergantian masing-masing khalifah yang empat. Oleh karena itu ijma' shahabat rnerupakan dalil yang tegas dan kuat mengenai kewajiban mengangkat khalifah.
Selain itu, menegakkan agama dan melaksanakan hukum syara' pada seluruh aspek kehidupan dunia maupun akhirat ada­lah kewajiban yang dibebankan atas seluruh kaum muslimin ber­dasarkan      dalil yang qathiyuts tsubut (pasti sumber pengambilannya) dan qathiyud dalalah (pasti penunjukan maknanya). Kewajiban tersebut tidak mungkin bisa dilaksanakan dengan sempuma kecuali dengan adanya seorang penguasa. Se­dangkan kaidah syara'menyatakan:
(إن ما لا يتم الواجب إلاّ به فهو واجب)
"'Apabda suatu kewajiban tidak akin terlaksana kecuali dengan suatu perbuatan. maka perbuatan itu hukumnya adalah wajib."
Ditinjau dari kaidah ini mengangkat seorang khalifah hukumnya wajib pula.
Dalil-dalil ini semuanya menegaskan wajibnya mewujud­kan pemerintahan dan kekuasaan bagi kaum muslimin dan juga menegaskan wajibnya mengangkat seorang khalifah untuk meme­gang tampuk pemerintahan dan kekuasaan. Kowajiban mengangkat khalifah tersebut adalah demi melaksanakan hukum-hukum syara'. bukan sekedar mewujudkan pemerintahan dan kekuasaan. Perhatikanlah sabda Nabi saw, yang diriwayatkan oleh Imam Muslim melalui jalan 'Auf bin Malik:
«خيار أئمتكم الذين تحبونهم ويحبونكم ويصلون عليكم وتصلّون عليهم، وشرار أئمتكم الذين تبغضونهم ويبغضونكم وتلعنونهم ويلعنونكم. قيل يا رسول الله أفلا ننابذهم بالسيف، فقال: لا، ما أقاموا فيكم الصلاة، وإذا رأيتم من ولاتكم شيئاً تكرهونه فاكرهوا عمله ولا تنزعوا يداً من طاعة»
"Sebaik-baik, pemimpin kalian ialah mereka yang kalian cintai dan mereka pun mencintai kalian: mereka mendoakan kalian dan kalian pun mendoakan mereka. Seburuk-buruk peinimpin kalian ialah mereka yang kalian benci dan mereka pun membenci kalian, kalian melaksanat mereka dan merekapun melaknat kalian". Ditanyakan kepada Rasulullah: 'Wahai Rasulullah, tidakkah kita perangi saja mereka itu?' Beliau menjawab: Jangan, selama mereka masih menegakkan shalat (hukum Islam) di tengah-­tengah kamu sekalian ".
Hadits ini menegaskan akan adanya imam-imam yang baik dan imam-imam yang jahat, selain menegaskan keharaman memerangi mereka dengan senjata selama mereka masih mene­gakkan agama. Karena 'menegakkan shalat' merupakan kinayah (kiasan) untuk mendirikan agama dan sistem pemerintahan.
Dengan demikian jelaslah bahwa kewajiban kaum muslimin untuk mengangkat seorang khalifah demi menegakkan hukum-hukum Islam dan mengemban dakwah merupakan suatu perkara yang tidak ada lagi syubhat (kesamaran) pada dalil-dalilnya. Disamping itu hal tersebut termasuk sesuatu yang diharuskan oleh suatu kewajiban yang difardlukan Allah SWT atas kaum musli­min. yakni terlaksananya hukum Islam dan terpeliharanya kesa­tuan kaum muslimin.
Hanya saja kewajiban ini termasuk fardlu kifayah. Artinya, apabila sebagian kaum muslimin telah melaksanakannya sehing­ga kewajiban tadi terpenuhi, maka gugurlah tuntutan pelaksanaan kewajiban itu bagi yang lain. Namun bila sebagian dari mereka belum mampu melaksanakan kewajiban itu. walaupun mereka telah melaksanakan upaya-upaya yang bertujuan mengangkat seorang khalifah, maka status kewajiban tersebut adalah tetap dan tidak gugur atas kaum muslimin, selama mereka belum mem­punvai khalifah.
Berdiam diri terhadap kewajiban mengangkat seorang khalifah bagi kaum muslimin adalah satu perbuatan maksiat yang paling besar. Karena hal itu berarti berdiam diri terhadap salah satu kewajiban yang amat penting dalam Islam, dimana tegaknya hukum-hukum Islam -bahkan eksistensi Islam dalam kancah kehidupan- bertumpu padanya.  Oleh karena itu, seluruh kaum muslimin akan berdosa besar apabila berdiam diri terhadap kewajiban mengangkat seorang khalifah.  Kalau ternyata seluruh kaum muslimin bersepakat untuk tidak mengangkat seorang khali­fah. maka dosa itu akan ditanggung oleh setiap muslim di seluruh penjuru bumi. Namur apabila sebagian kaum muslimin melaksa­nakan kewajiban itu sedangkan sebagian yang lain tidak melaksa­nakannya, maka dosa itu akan gugur bagi mereka yang telah berusaha mengangkat khalifah, sekalipun kewajiban itu tetap dibebankan atas mereka sampai berhasil diangkatnya seorang khalifah. Sebab, menyibukkan diri untuk melaksanakan suatu kewajiban akan menggugurkan dosa atas ketidakmampuannya melaksanakan kewajiban tersebut dan atau penundaannya dan waktu yang telah ditetapkan. Hal ini karena dia telah terlibat melaksanakan fardlu dan juga karena adanya suatu kondisi yang mernaksanya sehingga gagal rnelaksanakan fardlu itu dengan sempurna.
Sedanglian rnereka yang mernang tidak terlibat dalam aktivitas menegakkan khilafah, akan tetap menanggung dosa sejak tiga hari setelah tidak adanya khalifah. Dosa itu akan terus dipikulnya hingga hari pengangkatan khalifah yang baru. Sebab, Allah SWT telah mewajibkan kepada mereka suatu ke­wajiban tetapi mereka tidak mengerjakannya, bahkan tidak terli­bat dalam upaya-upaya yang menyebabkan terlaksananya kewajiban tersebut. Oleh karena itu, mereka layak menanggung dosa, layak menerima siksa Allah dan kehinaan baik di dunia maupun di akhirat. Kelayakan mereka menanggung dosa tersebut adalah suatu hal yang jelas dan pasti sebagimana halnya seo­rang muslim yang layak menerima siksa karena meninggalkan suatu kewajiban yang telah diwajibkan Allah. Apalagi kewajiban tersebut merupakan tumpuan pelaksanaan kewajiban-kewajiban lain. Tumpuan penerapan syariat Islam secara merryeluruh. Bahkan menjadi tumpuan eksistensi tegaknya Islam sehingga panji Allah dapat berkibar di negeri-negeri Islam dan di seluruh penjuru dunia.
Syeikh Al-Islam Al Imam Al Hafidz Abu Zakaria An Nawawi berkata:
  
الفصل الثاني في وجوب الإمامة وبيان طرقها لا بد للأمة من إمام يقيم الدين وينصر السنة وينتصف للمظلومين ويستوفي الحقوق ويضعها مواضعها. قلت تولي الإمامة فرض كفاية …
“…Pasal kedua tentang wajibnya imamah serta penjelasan mengenai metode (jalan untuk mewujudkannya). Adalah suatu keharusan bagi umat adanya seorang imam yang bertugas menegakkan agama, menolong sunnah, membela orang yang didzalimi, menunaikan hak, dan menempatkan hak pada tempatnya. Saya nyatakan bahwa mengurusi urusan imamah itu adalah fardhu kifayah”.[Imam Al Hafidz Abu Zakaria Yahya bin Syaraf bin Marwa An Nawawi, Raudhatuth Thalibin wa Umdatul Muftin, juz III hal 433].



                                                  Ust.margi membuka acara

                                                Ust.Munir tilawatil Qur'an

                                          Bpk.H.Supriyono sambutan ketua panitia

                                  Ust.M.Na'im yasin sambutan DPD II HTI Purworejo

                                                     Akhina Pristian, moderator 

                          Ustadz Abu Hanif, DPD I HTI Jogjakarta, pemateri workshop

                                                             penyampaian materi


                                                  kewajiban amar ma'ruf nahi munkar


                                 antusiasme para peserta, menanggapi dan menanyakan

                                           serius mendengarkan pemaparan

Bpk.Darmono menyampaikan tanggapanya ( mantan kepala dinas pengairan Purworejo )

                                Ust.Muhammad 'ainur rofiq memimpin do'a penutup

                                                            khusyuk ber-do'a


                                    tim registrasi peserta, semangat! Allahu Akbar!!


Purworejo,19/02/2012 





Tidak ada komentar: