Beberapa hari ini lihat video perdebatan, khususnya antara Aktivis Islam dengan pengikut Liberal, tepatnya beberapa debat yg dilakukan oleh jubir Hizbut Tahrir Indonesia, Ust.Ismail Yusanto dengan kelompok liberal ( ulil abshar abdalla, abdul muqsith ghazali, musdah mulia, novriantoni ) Jadi ingat salah satu kitab yg diadopsi Hizbut Tahrir,yakni kitab min muqawwimat an-nafsiyah Al-Islamiyah, yg oleh penerbit HTI Press diterjemahkan dengan judul pilar-pilar pengokoh nafsiyah Islamiyah. Kitab ini adalah salah satu kitab pembinaan yg diadopsi oleh Hizbut Tahrir dan dikaji dalam Halqah-Halqah HT.
Kembali kepermasalahan adab berdebat, dalam kitab muqawwimat ini ada salah satu bab yg mengatur etika berdebat,dan ini penting untuk diketahui oleh setiap aktivis dakwah. Saya akan kutipkan point-pointnya dikesempatan ini.
- Mengedepankan ketakwaan kepada Allah, bermaksud taqarrub kepada-Nya, dan mencari ridhanya dengan menjalankan perintah-Nya
- Harus diniatkan untuk memastikan kebenaran sebagai kebenaran dan membatilkan yang batil. Bukan karena ingin mengalahkan, memaksa, dan menang dari lawan. As-Syafi’i berkata, “Aku tidak berbicara kepada seorang pun kecuali aku sangat suka jika ia mendapatkan taufik, berkata benar, dan diberi pertolongan. Ia akan mendapatkan pemeliharaan dan penjagaan dari Allah. Aku tidak berbicara kepada seorang pun selamanya kecuali aku tidak memperhatikan apakah Allah menjelaskan kebenaran melalui lisanku atau lisannya.” Ibnu Aqil berkata, “Setiap perdebatan yang tidak bertujuan untuk membela kebenaran maka itu menjadi bencana bagi pelakunya.”
- Tidak dimaksudkan untuk mencari kebanggaan, kedudukan, meraih dukungan, berselisih, dan ingin dilihat.
- Harus diniatkan untuk memberikan nasihat kepada Allah, agama-Nya, dan kepada lawan debatnya. Karena agama adalah nasihat.
- Harus diawali dengan memuji dan bersyukur kepada Allah dan membaca shalawat kepada Rasul-Nya saw.
- Harus memohon dengan sungguh-sungguh kepada Allah agar diberi taufik terhadap perkara yang diridhai-Nya.
- Harus berdebat dengan metode yang baik dan dengan pandangan dan kondisi yang baik. Dari Ibnu Abas sesungguhnya Rasulullah saw bersabda:
Sesungguhnya petunjuk yang baik, cara yang baik, dan tidak berlebih-lebihan adalah satu bagian dari dua puluh lima bagian kenabian (HR. Ahmad, Abu Dawud, dan Ibnu Hajar berkata dalam kitab al-Fath bahwa hadits ini isnadnya hasan).
Dari Ibnu Mas’ud sebagai hadits mawquf ia berkata:
»اِعْلَمُوْا أَنَّ حُسْنَ الْهَدْي فِي آخِرِ الزَّمَانِ، خَيْرٌ مِنْ بَعْضِ الْعَمَلِ»
Ketahuilah sesungguhnya sebagus-bagusnya petunjuk di akhir zaman lebih baik daripada sebagian amal.
Ibnu Hajar berkata dalam kitab al-Fath, sanad hadits ini shahih. yang dimaksud dengan petunjuk di sini adalah metodologi. Yang dimaksud dengan as-samtu (adalah al-mandzar (pandangan) dan al-haiah (kondisi). Yang dimaksud dengan al-iqtishad adalah al-i’tidal (pertengahan).
- Singkat dan padat dalam berbicara. Yaitu berbicara sedikit, menyeluruh, dan fasih (sesuai dengan yang dmaksudkan). Terlalu banyak bicara akan mengakibatkan kebosanan. Disamping juga lebih berpeluang menimbulkan kekeliruan, kelemahan, dan kesalahan.
- Harus sepakat dengan lawan debatnya terhadap dasar yang menjadi rujukan keduanya. Dengan orang kafir dasar yang dijadikan sebagai rujukan adalah akal semata-mata. Sedangkan jika berdebat dengan seorang muslim, dasar rujukannya adalah akal dan naql. Akal menjadi rujukan pada perkara-perkara yang bersifat rasional. Sedangkan pada perkara-perkara yang bersifat syar’I, naql-lah yang menjadi dasar rujukannya, sebagaimana Firman Allah:
Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasul. (TQS. An-Nisa [4]: 59), maksudnya adalah merujuk kepada al-Kitab dan as- Sunah.
- Orang kafir tidak boleh didebat dalam perkara cabang syariat. Sebab, ia tidak beriman kepada perkara pokok syariah. Karenanya, hendaknya tidak berdebat dan berdiskusi dengan mereka mengenai pernikahan dengan empat isteri, kesaksian wanita, jizyah, hukum waris, haramnya khamr, dan sebagainya. Berdiskusi dengan orang kafir harus dibatasi pada perkara ushul ad-din (pokok-pokok agama/akidah) yang dalilnya bersifat rasional. Sebab, tujuan dari diskusi adalah memindahkannya dari kebatilan kepada kebenaran, dari kesesatan menuju pada petunjuk. Hal ini tidak bisa diwujudkan kecuali dengan memindahkannya dari kekufuran kepada keimanan. Sebagaimana juga orang Nashrani tidak boleh diajak berdebat tentang kebatilan agama Budha dan Yahudi. Bahkan pembicaraan bersama dengan orang Nashrani tentang hal seperti itu dan yang sejenisnya tidak bisa dipandang sebagai perdebatan. Orang Nashrani bukanlah orang Budha atau Yahudi. Hingga kita bisa mengubahnya dari Budha dan Yahudi menjadi benar. Pembicaraan bersama orang Nashrani harus difokuskan pada akidahnya yang batil untuk memindahkannya kepada Islam. Karena itu, tidak bisa dikatakan bahwa kita sedang berdialog dengan orang Nashrani pada perkara-perkara yang kita sepakati, dan kita mengabaikan perkara yang tidak kita sepakati. Sebab, kita diperintahkan untuk berdebat dengan mereka. Sedangkan perdebatan tidak akan terjadi kecuali pada perkara yang diperselisihkan. Adapun jika orang Nashrani atau Kapitalis bersepakat dengan seorang Muslim bahwa Budha, Sosialisme, atau Komunisme adalah ajaran yang buruk menurut akal, kemudian keduanya berbicara seputar agama dan ideologi itu, maka pembicaraan tersebut tidak bisa disebut diskusi atau debat. Hal seperti itu juga tidak bisa membebaskan tanggungan seorang Muslim dari kewajiban berdiskusi dan berdebat dengannya hingga mampu memindakannya kepada Islam.
- Tidak mengeraskan suaranya kecuali sebatas untuk bisa didengar oleh orang yang ada disekitarnya. Juga tidak boleh berteriak di hadapan lawan diskusi. Dikisahkan ada seorang lelaki dari Bani Hasyim yang bernama Abd Ash-Shamad berbicara di hadapan Khalifah Al-Ma’mun dengan mengeraskan suaranya. Kemudian al-Ma’mun berkata, “Wahai Abd as-Shamad, janganlah engkau mengeraskan suaramu. Karena sesungguhnya kebenaran terdapat pada yang paling tepat bukan yang paling keras.” Dan al-Khatib dalam al-faqih wa al-mutafaqqih.
- Tidak boleh merendahkan lawan diskusi dan meremehkan persoalannya.
- Harus bersabar atas penyimpangan lawan diskusi, bersikap sabar, dan memaafkan kesalahannya, kecuali orang itu memang pandir. Maka kita harus menjauhkan diri dari berdiskusi dan berdebat dengannya.
- Apabila berdebat dengan orang yang lebih banyak pengetahuannya maka janganlah mengatakan, “Engkau salah,” atau, “Perkataan Anda keliru,” melainkan harus mengatakan, “Bagaimana pendapat Anda jika ada orang yang mengatakan,” atau, “Ada orang yang mendebat, lalu berkata, ‘…’” Atau membantah dengan menggunakan redaksi orang yang meminta petunjuk, seperti berkata, “Bukankah yang benar itu pernyataan demikian?”
15. Harus berusaha memikirkan dan memahami perkara yang disampaikan oleh lawan diskusi agar bisa membantahnya. Juga tidak boleh cepat-cepat berbicara sebelum lawan diskusi selesai berbicara. Dari Ibnu Wahab ia berkata: aku mendengar Malik pernah berkata: “Tidak ada kebaikan pada jawaban sebelum dipahami terlebih dahulu. Bukan termasuk etika yang baik jika seseorang memutuskan pembicaraan lawannya.” Adapun jika lawan diskusi adalah hanya ingin berdebat, keras kepala, banyak membicarakan yang tidak bermanfaat, maka yang menjadi sikap asal adalah tidak berdiskusi dengannya jika hal itu telah diketahui ada pada dirinya. Apabila baru terungkap di tengah-tengah diskusi, maka ia harus menasihatinya. Apabila ia tidak bisa menjaga diri maka putuskanlah pembicaraan.
- Hendaknya menghadapkan wajahnya kepada lawan diskusi, dan tidak berpaling kepada orang-orang yang hadir di forum diskudi karena meremehkan lawan diskusinya. Sama saja apakah orang-orang itu berbeda pendapat atau bersepakat dengannya. Jika lawan diskusi melakukan hal itu, maka harus dinasihati. Apabila ia tidak mau menghentikannya, maka hentikanlah diskusi itu.
- Tidak boleh berdebat dengan merasa hebat dan takjub terhadap pendapatnya. Sebab, orang yang ujub tidak akan menerima pendapat dari orang lain.
- Tidak boleh bermaksud ingin mengalahkan lawan diskusi dalam forum.
- Tidak berpanjang lebar dalam pembicaraan, khususnya pada perkara-perkara yang sudah diketahui lawan diskusi. Melainkan harus berbicara dengan singkat, namun tidak merusak maksud hingga sampai kepada topik diskusinya.
- Tidak boleh berdiskusi dengan orang yang meremehkan ilmu dan ahlinya, atau di hadapan orang-orang pandir yang meremehkan diskusi dan orang-orang yang sedang berdiskusi. Imam Malik berkata, “Termasuk merendahkan dan meremehkan ilmu jika seseorang membicarakan ilmu di hadapan orang yang tidak mentaati ilmu itu.
- Tidak boleh merasa rendah untuk menerima kebenaran ketika kebenaran itu tampak pada lisan lawannya. Karena sesungguhnya kembali kepada kebenaran lebih baik daripada terus menerus dalam kebatilan. Juga supaya termasuk ke dalam golongan orang yang mendengarkan perkataan dan mengikuti yang paling benar.
- Tidak boleh mengacaukan jawaban, yakni dengan memberikan jawaban yang tidak sesuai dengan pertanyaan. Seperti:
Penjawab : Peradilan di sana Islami.
Jawaban ini adalah mughalathah (kacau atau tidak sesuai pertanyaan). Jawaban yang seharusnya adalah mengatakan ya, tidak, atau saya tidak tahu. Jawaban mana pun dari ketiga jawaban ini termasuk jawaban yang muthabiqah (sesuai pertanyaan).
- Tidak mengucapkan kalimat yang global, kemudian setelah itu membantahnya dalam hal yang rinci. Seperti mengatakan di awal pembicaraannya bahwa Amerika adalah musuh bagi Islam dan kaum Muslim, kemudian setelah itu mengatakan bahwa Amerika membantu orang-orang Palestina dalam mendirikan negara mereka dan menentukan nasib mereka sendiri, karena Amerika mencintai keadilan dan kebbasan. Atau mengatakan bahwa Amerika datang ke Irak untuk membaskan kedzaliman dan kediktatoran.
Jika ikwan semua ingin melihat lebih lengkap bisa merujuk langsung pada kitab tersebut, karena yg saya kutipkan hanya beberapa saja. Semoga bermanfaat.
Pacekelan, Purworejo, 07/01/2013, Abu Syahmi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar