24/11/2012. Ditengah guyuran
hujan lebat yg merata di Purworejo, tak terkecuali di sebuah desa kecil di desa
plandi,purwodadi, Sebuah desa kecil yg terletak di kecamatan Purworejo sebelah
selatan dilakukan kajian Remas ( remaja masjid ). Berangkat ba’da maghrib
sekitar jam 19.30 ditemani adik ideologis saya Akhi Dhika T Widayat berangkat
ke desa Plandi, sambil di jalan calling-callingan dengan Akhi Imam Mukholik ( ketua
remaja masjid Plandi ) aktivis Rohis SMKN 1 Purworejo.
Karena hujan yg cukup
lebat, sempat kesasar juga,karena komunikasi via Hp sempat terputus, saya
bersama Akh dhika mampir di sebuah masjid ( masjid Muttaqin, bragolan,Purwodadi
) untuk sholat Isya berjamaah, setelah itu alhamdulillah komunikasi lancar
kembali, kami dijemput oleh akh Imam Mukholik di perempatan Pendowo,untuk
langsung menuju TKP.
Masjid Muttaqin,bragolan,Purwodadi, Istirahat sebentar
Alhamdulilah sampai di
TKP sudah berkumpul sekitar 20 ikhwan-akhwat remaja masjid. Singkat cerita
ditemani suara kodok yg berbunyi cukup keras plus guyuran hujan yg semakin
menjadi,saya berkesampatan untuk berbagi ilmu dengan anak-anak remaja masjid
desa palandi. Mengucapkan salam, sedkit berkenalan, eh..tiba-tiba listrik
mati..., kemudian beberapa menit hidup lagi..,lanjutkan eh..mati lagi, hidup
lagi..,mati lagi..,klo di itung-itung mati-hidup ini bisa sampai 10X. Tapi panitia
penyelenggara mensiasati dengan mencari lampu petromax,kajian lanjut lagi...
Sudah sampe TKP
Pada kesmpatan itu saya
mengajak remaja masjid plandi yg rata-rata masih siswa-siswi SMP kelas 3 ini
untuk berpikir tentang kondisi Remaja saat ini. Waktu itu saya sampaikan materi
yg ada di majalah Al-Wa’ie terkait Kriminalitas remaja yg ditulis oleh Ustadz
Guslaeni Hafidz dari DPP LDS HTI.
suasana Kajian ditengah kicauan suara kodok plus Hijan lebat
Diakhir kajian ini para
pemuda yg tergabung di Remaja masjid desa plandi berkomitment untuk mengkaji
Islam lebih dalam dalam bentuk kajian Rutin.
Allahu Akbar !!
Abu Syahmi, diketik di
IBS Shift malam,Wonosobo,05/12/’12
Materi Kajian :
Kriminalitas Remaja disekitar kita
Geliat dunia remaja yang
berjumlah 63,4 juta atau sekitar 26,7 persen dari total penduduk Indonesia kian
banyak menyita perhatian media. Sayangnya, kabar dari dunia remaja yang mengisi headline media massa justeru didominasi oleh berita miring dan
negatif. Kasus kenakalan remaja—yang mengarah pada kriminalitas remaja—dengan
berbagai bentuknya tak henti-hentinya menjadi trending topik, baik di dunia
nyata maupun di dunia maya. Sudah separah itukah kondisi remaja saat ini?
Kenakalan Remaja Kian Merajalela
Naiknya grafik jumlah
kenakalan/kriminalitas remaja setiap tahun menunjukkan permasalahan remaja yang
cukup kompleks. Ini tidak hanya diakibatkan oleh satu perilaku menyimpang,
tetapi akibat berbagai bentuk pelanggaran terhadap aturan agama, norma masyarakat
atau tata tertib sekolah yang dilakukan remaja. Berikut beberapa bentuk
kenakalan remaja—yang sejatinya mengarah pada kejahatan/kriminalitas remaja, red.—yang sering mendominasi pemberitaan media
massa:
1. Penyalahgunaan
narkoba.
Penyalahgunaan narkoba di
kalangan remaja makin menggila. Penelitian yang pernah dilakukan Badan
Narkotika Nasional (BNN) menemukan bahwa 50 – 60 persen pengguna narkoba di
Indonesia adalah kalangan pelajar dan mahasiswa. Total seluruh pengguna narkoba
berdasarkan penelitian yang dilakukan BNN dan UI adalah sebanyak 3,8 sampai 4,2
juta. Di antara jumlah itu, 48% di antaranya adalah pecandu dan sisanya sekadar
coba-coba dan pemakai. Demikian seperti disampaikan Kepala Bagian Hubungan
Masyarakat (Kabag Humas) BNN, Kombes Pol Sumirat Dwiyanto seperti dihubungi detikHealth, Rabu (6/6/2012).
2. Akses media porno.
Pornografi dan pornoaksi yang
tumbuh subur di negeri kita memancing remaja untuk memanjakan syahwatnya, baik
di lapak kaki lima maupun dunia maya. Zoy Amirin, pakar psikologi seksual dari
Universitas Indonesia, mengutip Sexual Behavior Survey 2011, menunjukkan
64 persen anak muda di kota-kota besar Indonesia ‘belajar’ seks melalui film
porno atau DVD bajakan. Akibatnya, 39 persen responden ABG usia 15-19 tahun sudah
pernah berhubungan seksual, sisanya 61 persen berusia 20-25 tahun.
Survei yang didukung pabrik kondom Fiesta itu mewawancari 663 responden
berusia 15-25 tahun tentang perilaku seksnya di Jabodetabek, Bandung,
Yogyakarta, Surabaya dan Bali pada bulan Mei 2011.
3. Seks bebas.
Gerakan moral Jangan Bugil di Depan
Kamera (JBDK) mencatat adanya
peningkatan secara signifikan peredaran video porno yang dibuat oleh anak-anak
dan remaja di Indonesia. Jika pada tahun 2007 tercatat ada 500 jenis video porno
asli produksi dalam negeri, maka pada pertengahan 2010 jumlah tersebut melonjak
menjadi 800 jenis. Fakta paling memprihatinkan dari fenomena di atas adalah
kenyataan bahwa sekitar 90 persen dari video tersebut, pemerannya berasal dari
kalangan pelajar dan mahasiswa. Sesuai dengan data penelitan yang
dilakukan oleh Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada
(UGM) Yogyakarta. (Okezone.com, 28/3/2012).
4. Aborsi.
Gaya hidup seks bebas
berakibat pada kehamilan tidak dikehendaki yang sering dialami remaja putri.
Karena takut akan sanksi sosial dari lingkungan keluarga, sekolah, atau
masyarakat sekitar, banyak pelajar hamil yang ambil jalan pintas: menggugurkan
kandungannya. Base line survey yang dilakukan oleh BKKBN LDFE UI (2000), di Indonesia terjadi 2,4 juta kasus aborsi
pertahun dan sekitar 21% (700-800 ribu) dilakukan oleh remaja.Data yang sama juga disampaikan Komisi Nasional
Perlindungan Anak tahun 2008. Dari 4.726 responden siswa SMP dan SMA di 17 kota
besar, sebanyak 62,7 persen remaja SMP sudah tidak perawan, dan 21,2 persen
remaja mengaku pernah aborsi (Kompas.com, 14/03/12).
5. Prostitusi.
Selain aborsi dan penularan
penyakit menular seksual, gaya hidup seks bebas juga memicu pertumbuhan pekerja
seksual remaja yang sering dikenal dengan sebutan ‘cewek bispak’. Sebuah penelitian mengungkap fakta bahwa jumlah anak
dan remaja yang terjebak di dunia prostitusi di Indonesia semakin meningkat
dalam empat tahun terakhir ini, terutama sejak krisis moneter terjadi. Setiap
tahun sejak terjadinya krismon, sekitar 150.000 anak di bawah usia 18 tahun
menjadi pekerja seks. Menurut seorang ahli, setengah dari pekerja seks di
Indonesia berusia di bawah 18 tahun, sedangkan 50.000 di antaranya belum
mencapai usia 16 tahun (http://www.gelombangotak.net/pages/artikel-terkait-16/prostitusi-di-kalangan-remaja—200.html, 4/5/12).
6. Tawuran.
Kejahatan remaja yang satu ini
tengah naik daun pasca tawuran pelajar SMAN 70 dengan SMAN 6 yang menewaskan
Alawi, siswa kelas X SMA 6. Tawuran pelajar seolah menjadi bagian yang tak
terpisahkan dari perilaku pelajar. Meski sudah banyak jatuh korban, ‘perang
kolosal’ ala pelajar terus terjadi. Data dari Komnas Anak, jumlah tawuran
pelajar sudah memperlihatkan kenaikan pada enam bulan pertama tahun 2012.
Hingga bulan Juni, sudah terjadi 139 tawuran kasus tawuran di wilayah Jakarta.
Sebanyak 12 kasus menyebabkan kematian. Pada 2011, ada 339 kasus tawuran
menyebabkan 82 anak meninggal dunia (Vivanews.com, 28/09/12).
7. Geng motor.
Karena longgarnya pengawasan
dan ketidaktegasan terhadap geng motor, para angota geng motor semakin leluasa
bertindak brutal. Lembaga pengawas kepolisian Indonesia (IPW) mencatat ada tiga
prilaku buruk geng motor yaitu balapan liar, pengeroyokan dan judi berbentuk
taruhan. Tak tanggung-tanggung, menurut data IPW, judi taruhan tersebut
berkisar pada Rp 5 sampai 25 juta per sekali balapan liar. IPW juga mencatat
aksi brutal yang dilakukan geng motor di Jakarta telah tewaskan sekitar 60
orang setiap tahunnya. Mereka menjadi korban aksi balap liar, perkelahian,
maupun korban penyerangan geng motor (http://www.radioaustralia.net.au, 18/4/12).
Kejahatan remaja yang terus
meningkat setiap tahunnya menunjukkan bahwa kondisi ini tidak semata potret
buram, tetapi juga kusut dan sulit terurai. Pemerintah seolah ‘angkat tangan’
mengatasinya sampai tuntas. Faktanya, setiap tahun grafik kejahatan remaja
terus beranjak naik. Padahal sudah banyak kebijakan yang dikeluarkan Pemerintah
untuk mengatasi masalah ini, tetapi hasilnya belum signifikan. Apa yang salah
dengan solusi dari Pemerintah?
Solusi Kapitalis Setengah Hati
Berbagai upaya dilakukan oleh
Pemerintah agar generasi muda bisa menunjukkan kesiapannya menjadi calon
pemimpin masa depan. Berikut beberapa kebijakan Pemerintah dalam mengatasi
masalah remaja:
1. Gerakan anti narkoba.
Guna mengantisipasi penggunaan
narkoba di kalangan remaja, Pemerintah gencar mengkampanyekan program ‘Say No to Drugs!’ Ini dilakukan mulai dari penunjukkan duta remaja
anti narkoba, sosialisasi bahaya narkoba ke sekolah-sekolah, hingga razia
narkoba di kalangan remaja. Bagi pecandu heroin yang sudah akut, Pemerintah
memfasilitasi mereka dengan pengadaan jarum suntik steril sebagai antisipasi
penyebaran virus HIV. Ada juga program substitusi (pengganti) heroin dengan
metadon sebagai bagian dari terapi penyembuhan pecandu.
Ironis. Di satu sisi
Pemerintah ngotot ingin menghentikan peredaran narkoba, namun di sisi lain
justru pemerintah melestarikan pemakaian narkoba. Inilah salah satu solusi
dangkal yang ditawarkan oleh sistem kapitalis sekular dalam mengatasi masalah
narkoba.
2. Gerakan kondomisasi.
Saat ini, kampanye safe sex with condom gencar disuarakan berbagai pihak demi memutus rantai
penyebaran virus HIV. Hal senada juga diangkat lagi oleh Menkes Nafsiah Mboi
dengan program kondomisasi remaja; seolah ‘karet pengaman’ itu tidak bisa
ditembus oleh HIV. Padahal kenyataan menunjukkan sebaliknya. Pakar AIDS, R,
Smith (1995), setelah bertahun-tahun mengikuti ancaman AIDS dan penggunaan
kondom, mengecam mereka yang telah menyebarkan safe sex dengan cara menggunakan kondom sebagai “sama saja
dengan mengundang kematian”. Selanjutnya beliau mengetengahkan pendapat agar
risiko penularan/penyebaran HIV/AIDS diberantas dengan cara menghindari
hubungan seksual di luar nikah (Republika, 12/11/1995).
Kondomisasi cuma sebuah
solusi pragmatis yang sangat menyesatkan. Pasalnya, kondomisasi bukan
menghilangkan akar masalah sesungguhnya, yakni seks bebas yang kian beringas di
kalangan remaja. Sebaliknya, kondomisasi makin menambah masalah, karena secara
tidak langsung melegalisasi seks bebas. Bukannya mengantisipasi, malah
memfasilitasi. Akibatnya, kampanye kondom berpotensi menguatkan gaya hidup seks
bebas. Hal ini pernah diungkapkan oleh Mark Schuster dari Rand, sebuah lembaga
penelitian nirlaba, dan seorang pediatri di University of California.
Berdasarkan penelitian mereka, setelah kampanye kondomisasi, aktivitas seks
bebas di kalangan pelajar pria meningkat dari 37% menjadi 50% dan di kalangan
pelajar wanita meningkat dari 27% menjadi 32% (USA Today, 14/4/1998).
3. Razia tawuran
pelajar.
Untuk mengantisipasi tawuran
pelajar yang kian marak, Pemerintah gencar melakukan razia ke sekolah maupun di
jalan raya. Pelajar yang kedapatan membawa senjata tajam segera diciduk dan
dibawa ke kantor polisi untuk diproses. Menteri Pendidikan Nasional, M Nuh
menjelaskan langkah konkret yang akan ditempuh agar tawuran tidak kembali
terjadi, yakni dengan cara membuat tiga rumusan dasar: (a) Tegakkan disiplin
internal sekolah; (b) Bangun kegiatan bersama antarsekolah; (c) Berikan
dukungan penuh kepada kepolisian untuk menegakkan hukum siapapun yang salah
harus dihukum.
Dari upaya Pemerintah
mengatasi kenakalan/kejahatan remaja, kebanyakan masih berkutat di permukaan
yang pragmatis, belum menyentuh aspek mendasarnya. Inilah solusi pragmatis
setengah hati yang menjadi ciri khas sistem kapitalis dalam menyelesaikan
masalah. Penyalahgunaan narkoba diatasi dengan metode substitusi (pengganti).
Maraknya prostitusi diatasi dengan lokalisasi. Gencarnya seks bebas diatasi
dengan kondomisasi. Jadi, yang pemerintah kejar bukan kebaikan masyarakat,
tetapi hanya penurunan pengidap HIV/AIDS agar sesuai dengan poin 6 agenda MDGs
(Millenium
Development Goals) atau Tujuan Pembangunan
Milenium. Inilah salah satu bentuk penjajahan baru dari negara kapitalis yang
dilegitimasi oleh PBB. Dengan demikian negara maju bisa dengan bebas
mengintevensi kebijakan negara berkembang dengan dalih penyelesaian masalah sosial.
Padahal solusinya tampak setengah hati dan menambah parah masalah dalam negeri.
Menepis Diskriminasi Rohis
Satu hal yang tidak disentuh
secara intensif oleh Pemerintah dalam mengatasi masalah kenakalan/kejahatan
remaja, yaitu edukasi bermutu tinggi; sebuah konsep pembelajaran bagi remaja
yang bisa mempengaruhi pola pikir dan pola sikap mereka ke arah positif. Tidak
sekadar penyuluhan akibat seks bebas atau sosialisasi bahaya narkoba, tetapi
pembentukan pemahaman positif pada diri remaja yang terus-menerus. Dengan
begitu mereka mempunyai dorongan sangat kuat untuk menjauhi perilaku yang bisa
mengantarkan mereka pada kenakalan/kejahatan. Dorongan yang lebih kuat dari
solidaritas teman, pertimbangan materi, atau ikatan emosional, inilah yang
didapat siswa dari kegiatan rohis di sekolah maupun kampus.
Rohis dapat meningkatkan sikap
religius siswa. Melalui rohis siswa memiliki kesempatan yang cukup besar untuk
mengikuti kegiatan-kegiatan keagamaan dan meningkatkan pemahaman keislaman
melalui kajian hadis, fikih, akidah, akhlak dan tarikh. Bukan hanya itu,
kajian khusus untuk membahas problematika remaja dengan cara pandang Islam
menjadikan para siswa memiliki kepribadian yang Islami (syakhshiyah Islamiyah). Mereka menjadi siswa yang memahami halal dan
haram, terikat dengan aturan agama dan taat beribadah. Semua itu akan menjadi
pondasi awal bagi mereka jika kelak menjadi pemimpin ataupun yang dipimpin di
dalam masyarakat. Kehadiran rohis setidaknya menjadi solusi untuk mengeliminasi
masalah kenakalan remaja yang terus meningkat.
Sayangnya, pada tanggal 5
September 2012, Metro TV bikin ulah yang mencoreng nama baik organisasi kerohanian Islam
alias rohis. Dalam sebuah tayangan program “Metro Hari Ini”, stasiun TV yang
digawangi Surya Paloh ini memaparkan sebuah ilustrasi mengenai pola rekrutmen
‘teroris muda’ yang dikaitkan dengan kegiatan ekstra kulikuler berbasis mesjid
yang ada di sekolah.
Apa yang disampaikan
Pranowo dan Metro TV semakin menguatkan keyakinan banyak orang bahwa war on terrorism is war
against Islam. Ini adalah stempel negatif
yang dimaksudkan untuk membunuh karakter rohis, aktivisnya dan ajaran Islam.
Stigma ini adalah teror yang menakut-nakuti agar para siswa menjauh dari rohis;
teror bagi orangtua siswa agar tidak mengizinkan putra-putrinya aktif bersama
rohis; juga teror terhadap institusi sekolah agar menutup kegiatan rohis jika
tidak ingin dicap melindungi base camp pembinaan teroris.
Jika Pemerintah punya kemauan
kuat untuk mengatasi kenakalan/kejahatan remaja, sejatinya tak memandang
sebelah mata keberadaan rohis, apalagi sampai mengkaitkannya sebagai sarang
teroris. Justru rohis dengan segudang kegiatannya akan membantu kerja
Pemerintah dalam mengedukasi remaja untuk menjauhi pelanggaran aturan agama,
norma masyarakat, maupun hukum negara. Dengan begitu remaja bisa membingkai
masa depan kepemimpinannya dengan cerah dan tanpa kusut, seperti harapan
pemerintah dan kita semua. Rohis mesti tetap eksis! [341; Guslaeni Hafid (Anggota
LDS DPP HTI, Pimred Majalah Remaja Islam D’Rise)].
Tidak ada komentar:
Posting Komentar