Musyrif (pembina)
adalah orang yang melaksanakan proses pembinaan bagi syabab. Proses membina
atau membangun ini berjalan beriringan, Tak heran sebagai musyrif sesungguhnya
dia juga sedang membina diri sendiri.
Karena dalam proses itu terjadi hubungan timbal balik. Misalnya binaan yang
direkrut ketika masih sebagai mahasiswa. Musyrif yang baik akan memantau
apa saja aktivitas di kampus selain kuliah. Bagaimana menjaga binaan
itu dari terpaan angin ideologi lainnya. Karena kalau di biarkan angin itu
bisa menjadi badai yang memporakporandakan rumah hasil kerjanya. Dibimbing
agar menjadi pengemban dakwah yang baik di kampus dan tidak semata-mata
menjalankan studi.
Setelah kuliah
syabab di arahkan agar tidak salah memilih tempat kerja. Karena tak jarang, aktivis di masa kuliah
tapi berhenti dakwah ketika sudah mendapat tempat kerja. Apalagi bila
kerjaannya itu nyaman. Jangan sampai binaan terjebak di ruang yang nyaman. Akhirnya
malas melakukan aktivitas. Bahkan ada juga yang akhirnya berbalik menjadi
penantang dakwah.
Setelah itu,
musyrif ikut memikirkan syabab untuk mendapatkan pasangan yang akan
mendukung membina keluarga shalih. Karena keluarga shalih dan shalihah juga
merupakan batu-bata yang menguatkan bangunan dakwah.
Ketika
binaannya memasuki jenjang pernikahan, musyrif juga menjalani proses
pembinaan. Karena dia mengarahkan untuk memperoleh pasangan. Lalu melakukan
ta'aruf yang di lanjutkan dengan khithbah. Menjelaskan pada keluarga
tentang pilihan untuk menjadi istri yang di tawarkan bukan perkara mudah. Setelah
proses walimah siap, bahkan musyrif pula yang utama di daulat menjadi khotib
atau penceramah nikah.
Siklus kuliah,
kerja dan walimah. Mana yang di dahulukan memang tidak mutlak. Bisa
bergantung pada sikonnya. Fokus kerja musyrif ada pada pembentukan
syakhshiyah syabab. Hingga syabab mampu menentukan pilihan hidupnya
berdasarkan prioritas dakwah bukan sekedar kepentingan pribadi. Maka dia
harus jeli memperhatikan aspek pemeliharaan ( ar-ria'yah), pengembangan
(at-tanmiah) dan pengarahan serta
pemberdayaan.
Berbeda misalnya jika musyrif memiliki syabab seorang
pedagang maka mesti mengetahui fakta aktivitas perdagangannya dan
mengarahkan agar selalu terikat hukum syara. Jika dia berdagang di Pasar
maka didorong agar dia menghidupkan dakwah diantara para pedagang dengan
mengontak mereka dan menghidupkan pengajian di Masjid atau mushola pasar.
Berbeda pula jika syababnya seorang pekerja di pemerintahan seperti pegawai
pemda. Maka diarahkan agar memanfaatkan posisinya di kantor agar
dimanfaatkan maksimal untuk dakwah. Misalnya dengan mengontak para pejabat
dan menghidupkan pengajian kantor. Lain halnya jika syababnya seorang
pengusaha yang memiliki banyak karyawan. Disamping memastikan bahwa tidak
ada yang menyimpang dari aspek bisnisnya maka memaksimalkan pembinaan
karyawannya merupakan aspek penting dalam aktivitas dakwahnya.
Berbeda halnya
jika syababnya seorang yang bekerja di Bank ribawi, maka harus dijelaskan
tentang keharamannya dan didorong untuk segera meninggalkan pekerjaan itu.
Kemudian mencari pekerjaan lain yang halal. Bisa juga dibantu untuk
informasi pekerjaan halal yang sesuai. Jika syababnya seorang ustadz atau
ulama maka harus diarahkan agar benar-benar mengajak masyarakat atau
anggota pengajiannya untuk menjadi pejuang syariah dan khilafah tanpa takut
kan celaan orang yang mencela.
Pendek kata siapapun syabab kita, apapun profesinya
harus dibina aqliyah dan nafsiyahnya dengan Islam. Kemudian dibentuk
menjadi pejuang, sekali lagi menjadi pejuang bukan sekedar ngaji.
Menjadikan dakwah adalah poros hidupnya bukan yang lain. Apalagi sekarang
syariah dan khilafah benar-benar sudah darurat untuk segera terwujud dengan
nashruLlah. Basic semua prose situ adalah memperbarui aqidahnya agar
menjadi aqidah yang kokoh, bersih dan lurus sehingga menjadi iman yang
produktif. Ini semua hanya bisa dilakukan musyrif jika terjalin hubungan
yang istimewa dengan syababnya, bukan biasa-biasa saja.
Daurah merupakan
kegiatan yang di laksanakan untuk menyiapkan dan atau meningkatkan kemampuan
syabab untuk menjadi Musyrif secara aqliyah, nafsiyah dan idariyah.
Kegiatan lainnnya masih banyak seperti bina wa tarkiz untuk Tsaqofah
mutabanat maupun Tsaqofah Islam secara umum
juga program mabit.
Menjadi
musyrif, bukan di 2 jam pertemuan halqoh saja. Bisa saja tengah malam
syabab tidak bisa tidur karena gelisah memikirkan anaknya yang tengah sakit
sementara tiada dana. Sang musyrif demikian dekat dengan syababnya
tentu akan segera mengetahui kedaan syababnya. Begitu kuat ikatan perasaan
diantara keduanya hingga saling percaya, hormat dan sayang. Bagaikan antara
bapak, anak atau saudara. Perasaan yang sama. Jangan musyrif ingin ke kanan
tapi syababnya malah kekiri.
Merawat
syabab bak petani mengelola sawahnya. Dia menanam benih dari hasil pilihan
yang terbaik. Memupuk dengan tepat. Menyirami dengan tekun. Dan menjaganya
dari hama. Hingga buah itu masak dan siap di petik.
Musyrif sejati pasti akan gembira ketika
berbilang masa, bintang Sang syabab justru lebih bersinar darinya di medan
dakwah, karena dia mengajak orang bukan untuk dirinya atau kepada dirinya. Tapi menunjukan jalan
kepada rahmat ALLAH SWT. Secara idary musrif harus sadar bahwa halqoh yang
dia tangani bukanlah miliknya tapi milik jamaah. Hingga dia rajin
memberikan informasi tiap minggunya agar segala upayanya menjadi bagian
penting dari pencapaian target dakwah. Tidak semestinya dia enggan apalagi malas
tentang hal ini. Karena ini perkara yang sangat penting dalam kegiatan
jamaah.
Sudah jelas tugas musyrif
memberikan pengarahan agar tak sesat jalan. Meski terkadang pengarahan tak
cukup dalam bentuk lisan.Pengarahan juga bisa dalam bentuk teguran, sanksi
atau pengasingan. Karena benih yang
sudah tercemar akan meracuni dan menjadi wabah bagi benih lainnnya.
Sungguh menyenangkan, sungguh membahagiakan mata yang
memandang sawah kuning membentang indah. Benih yang sudah matang siap untuk
di petik saat itu pembeli akan datang dan tanaman siap di manfaatkan.
Syabab yang matang akan memikat hati
yang memandangnya.
Begitulah siklus
itu terjadi. Berawal dari satu dan kemudian menyebar. Membentuk sebuah
barisan, akhirnya membentuk sebuah jaringan. Hingga semua orang akan masuk
ke dalam jaring dakwah ini, baik suka maupun terpaksa.
Karena dakwah
adalah kerja marathon yang memerlukan stamina prima. Jangan sampai semangat
di awal tapi kendor di pertengahan dan gagal mencapai finish. Maka
kebersihan dan kelurusan niat serta kelurusan dan kesungguhan amal menjadi
penunjuk jalan agar tiba tepat di garis finis meski perjalanan itu begitu
panjang dan melelahkan. HasbunaLlah wa ni’mal wakil.
( oleh-oleh dari Ust.Abu Zaid, DPP HTI )
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar