NashruLlah dengan tegaknya Syariah dan
Khilafah hanya layak diberikan kepada hamba-hamba yang sholih. Menjadi pejuang
sholih adalah buah yang kita harapkan dari proses pembinaan yang kita jalani.
Shalih secara pribadi dan mengupayakan tumbuh kembangnya keshalihan pada orang
lain merupakan teladan dari Rasulullah SAW dan para salafushshalih yang
sepatutnya kita ikuti. Alhamdulillah, saat ini sangat banyak di antara kita
yang mendapatkan kesempatan menjadi musyrif. Sesungguhnya yang kita inginkan
bukanlah semata banyaknya jumlah anggota halqoh tapi juga kualitas yang baik.
Slogan ini bisa menjadi gambaran bagaimana kuantitas dan kualitas harus
disatukan ”Daripada kita berjuang bersama-sama 20 orang tapi tidak berkualitas,
lebih baik kita berjuang bersama-sama
dengan 2000 orang yang berkualitas.”
Kunci utama peningkatan kualitas umat
ini terletak di tangan para syabab itu sendiri. Atau dalam konteks ini berarti
penentu penjagaan dan peningkatan kualitas keshalihan para syabab adalah
musyrif itu sendiri. Dengan demikian insyaaLlah nashruLlah akan semakin dekat.
Berikut ini adalah beberapa
karakteristik yang mesti kita usahakan agar melekat pada diri para musyrif :
1. Disiplin
Tinggi
Yaitu
ketrikatan terhadap hukum syara’ dan keterikatan terhadap idary. Disiplin
merupakan karakter pertama yang harus dimiliki seorang musyrif. Tanpa kedua hal
itu sesungguhnya seseorang tidak layak disebut musyrif. Sebab dia pasti gagal
mencapai target pembinaan. Yakni minimal mencapai salah satu dari empat
hal, siyasiyun, mufakirun, qoidun dan mujtahidun. Meskipun derajadnya melalui
proses yang tetap berlangsung selamanya. Tapi ada standar minimal yang harus
dijaga. Maka seorang mestinya terhindar
dari segala dosa besar dan selalu berusaha menutupi dosa-dosa kecil dengan
kebaikan. Termasuk dosa adalah ketika tidak melakukan tugas menangani halqoh
dengan baik. Misalnya tidak melakukan mutabaah terhadap syababnya atau tidak
disiplin ketika melaksanakan halqoh.
Musyrif wajib
berdisiplin dalam:
a.
Taat kepada Alloh dan RasulNya dalam
setiap persoalan
b.
Taat kepada amir dalam setiap perkara
idary
c.
Mengelola halqoh dengan sungguh-sungguh
sesuai idary
d.
Melaksanakan mutabaah dengan
sungguh-sungguh kepada setiap syababnya
e.
Menjadi Bapak, anak atau saudara bagi
setiap syababnya
2. Tsaqofah yang mantap, yaitu pemahaman
yang sempurna dan menyeluruh terhadap Tsaqofah
mutabanat dan Dasar-dasar Tsaqofah Islam seperti tentang Aqidah, Fiqh,
ushul Fiqh, siroh, Ulumul hadits, Ulumul Qur an, dll. Tsaqofah yang baik akan
mendukung terbentuknya aqliyah yang kuat. Seorang musyrif akan membina
seseorang yang memiliki akal, perasaan dan pemahaman, dan orang tersebut akan
merefleksikan apa yang didengar dan diperhatikan dari musyrif, maka apabila
seorang musyrif tidak memiliki level pengetahuan yang memadai dan wawasan
pemahaman yang menyeluruh tentang dasar-dasar keislaman, maka hal itu akan
memindahkan sebuah kebodohan kepada syababnya, yang pada gilirannya akan
menimbulkan masalah dalam pembentukan syakhshiyah syabab itu sendiri.
3. Aqliyah
solihah yang kuat, yakni senantiasa mengikatkan setiap solusi problem hidup dan
kehidupan ini dalam hal benar atau salahnya, baik atau buruknya semata-mata
dengan Aqidah Islamiyah. Disinilah tsaqofah akan berperan membimbing kearah
kebenaran. Musyrif yang aqliyahnya kuat
akan lebih mudah mengarahkan syababnya. Dia akan menjadi teladan dan mercusuar
bagi syababnya ke mana mereka harus mengarahkan kapal kehidupannya diantara
karang-karang jahiliyah yang siap mengancurkkannya.
4.
Nafsiyah Sholihah, perilaku yang baik,
karena musyrif pasti diteladani syababnya. Yaitu keteladanan musyrif dengan
amal perbuatannya yang secara real tampak jelas pada perilakunya, seperti
geraknya, diamnya, bicaranya, atributnya, pandangannya dan ibrohnya, seluruh
keteladanan itu adalah buah refleksi dari pengaruh keimanan dan pemahaman dalam
kehidupan dalam rangka memberikan pengaruh keteladanan yang baik pada saat kemunculannya di tengah-tengah syabab
dan masyarakat.
Ada ungkapan ulama salafushashalih : “Man lam tuhadzdzibka
ru’yatuhu fa’lam annahu ghairu Muhaadzdzab” (Barang siapa yang tidak mendidikmu
ketika engkau melihatnya maka ketahuilah bahwa orang itu juga tidak terdidik).
Al-Imam Syafi’i rahimahullohu berkata :
“Man wa’adzho akhohu bifi’lihi kaana Haadiyan” (Barang siapa yang menasehati
seudaranya dengan amal perbuatannya maka berarti ia telah menunjukinya”. Oleh
karena itu keteladanan adalah fokus yang sangat sensitif dan halus, karena apa
yang tampak pada dirinya jauh lebih besar pengaruhnya dari apa yang
diucapkannya (Al-Mandzhor a’dzhomu ta’tsiran minal qoul).
5.
Peka terhadap aspek nafsiyah, yaitu
berpengalaman dalam memahami aspek kejiwaan, karena sesungguhnya lapangan kerja
seorang musyrif tidak lain adalah
kejiwaan, bergumul dengannya dan menjadikannya sasaran yang pertama dan
terakhir dalam proses pembinaan, sedangkan jiwa tidak seperti gigi sisir, akan
tetapi jiwa orang berbeda satu dengan yang lainnya, ada yang lemah, ada yang
kuat, ada yang peka dan over sensitif. Ada yang lembut , ada yang keras,bebal
dan sebagainya.
Oleh
karena itu seorang musyrif hendaknya menyikapi seseorang sesuai dengan
kejiwaannya dan berhati-hati dalam berinteraksi dengannya, maka jangan bersikap
terlalu tegas dan keras kepada orang yang jiwanya halus dan peka, melainkan
harus dihadapi dengan lemah lembut , sebaliknya orang yang jiwanya keras harus
dihadapi dengan ketegasan jika ia lalai dan menyimpang. Adalah Rosululloh SAW
sosok pembina pertama yang berpengalaman dalam ilmu jiwa, beliau tidak
mempergauli para sahabatnya dengan sikap yang sama antara yang satu dan
lainnya, karena beliau sangat tahu akan tabiat manusia dan kejiwaan mereka.
Dalam hadits riwayat Bukhari dari Abdulloh ibnu mas’ud RA. Beliau bersabda :
“Adalah Rosululloh SAW pernah beberapa hari lamanya tidak memberikan nasehat
dan wejangan kepada kami, karena beliau takut kami menjadi bosan” (Al-Hadits)
6.
Memahami
adab ta’limul muta’alim.
Menurut sebagian ulama adab itu
mendahului amal. Lebih disukai orang yang banyak adabnya meski amalnya kurang
daripada orang yang kurang adabnya meski banyak bermal. Namun bukan berarti
boleh menjadi minimalis dalam beramal. Diantara hal penting tentang adab
menuntut ilmu adalah menghormati dan mencintai guru.
“… Hendaklah ia mengagungkan gurunya dan orang-orang yang ia
mendengar darinya, sebab hal ini termasuk pengagungan terhadap ilmu dan
sebab-sebab mendapatkan manfaat dari ilmu, hendaklah ia meyakini keagungan dan
keunggulan gurunya, berusaha meraih ridhanya, dan janganlah berlama-lama
dengannya yang sekiranya menjadikannya tidak enak hati. Hendaklah ia
berkonsultasi dengannya dalam berbagai urusan dan kesibukannya dan bagaimana
cara mengoptimalnya berbagai hal tadi. Dan jika ia mendengar satu hadits,
hendaklah ia membertahukan orang lain, sebab, menyembunyikan hal itu adalah
sifat tercela, yang tidak terjerumus kepadanya selain para penuntut ilmu yang
bodoh, dan jika menyembunyikan ilmu dikhawatirkan menjadi ilmu yang tidak
bermanfaat, sebab, termasuk keberkahan sebuah hadits adalah jika ia disampaikan
kepada orang lain, dan mempublikasikannya adalah keberkahan. Dan
berhati-hatilah jangan sampai rasa malu dan rasa besar menghalanginya untuk
berupaya secara maksimal dalam belajar dan mengambil ilmu dari orang yang lebih
rendah darinya, baik dalam hal nasab maupun usia maupun dalam hal lainnya.
Hendaklah ia bersabar atas kekasaran urusan. Hendaklah ia memperhatikan yang
penting dan janganlah menyia-nyiakan waktu dalam memperbanyak guru hanya
sekedar memperbanyak saja…”.
(At-Taqrib, karya Imam An-Nawawi,
silahkan periksa Tadrib Ar-Rawi fi Syarh Taqrib An-Nawawi juz: 2 hal. 145).
( oleh-oleh dari Ust.Abu Zaid, DPP HTI )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar