Mengamati, Melihat, memahami, Dan Menuliskannya

Selasa, 01 November 2011

Membina Diri Menjadi Musyrif ( pembina syakhsiyyah )





NashruLlah dengan tegaknya Syariah dan Khilafah hanya layak diberikan kepada hamba-hamba yang sholih. Menjadi pejuang sholih adalah buah yang kita harapkan dari proses pembinaan yang kita jalani. Shalih secara pribadi dan mengupayakan tumbuh kembangnya keshalihan pada orang lain merupakan teladan dari Rasulullah SAW dan para salafushshalih yang sepatutnya kita ikuti. Alhamdulillah, saat ini sangat banyak di antara kita yang mendapatkan kesempatan menjadi musyrif. Sesungguhnya yang kita inginkan bukanlah semata banyaknya jumlah anggota halqoh tapi juga kualitas yang baik. Slogan ini bisa menjadi gambaran bagaimana kuantitas dan kualitas harus disatukan ”Daripada kita berjuang bersama-sama 20 orang tapi tidak berkualitas, lebih baik kita berjuang  bersama-sama dengan 2000 orang yang berkualitas.”

Kunci utama peningkatan kualitas umat ini terletak di tangan para syabab itu sendiri. Atau dalam konteks ini berarti penentu penjagaan dan peningkatan kualitas keshalihan para syabab adalah musyrif itu sendiri. Dengan demikian insyaaLlah nashruLlah akan semakin dekat.
Berikut ini adalah beberapa karakteristik yang mesti kita usahakan agar melekat pada diri para musyrif :

1.       Disiplin Tinggi
Yaitu ketrikatan terhadap hukum syara’ dan keterikatan terhadap idary. Disiplin merupakan karakter pertama yang harus dimiliki seorang musyrif. Tanpa kedua hal itu sesungguhnya seseorang tidak layak disebut musyrif. Sebab dia pasti gagal mencapai  target pembinaan.  Yakni minimal mencapai salah satu dari empat hal, siyasiyun, mufakirun, qoidun dan mujtahidun. Meskipun derajadnya melalui proses yang tetap berlangsung selamanya. Tapi ada standar minimal yang harus dijaga. Maka seorang  mestinya terhindar dari segala dosa besar dan selalu berusaha menutupi dosa-dosa kecil dengan kebaikan. Termasuk dosa adalah ketika tidak melakukan tugas menangani halqoh dengan baik. Misalnya tidak melakukan mutabaah terhadap syababnya atau tidak disiplin ketika melaksanakan halqoh.
Musyrif wajib berdisiplin dalam:
a.      Taat kepada Alloh dan RasulNya dalam setiap persoalan
b.      Taat kepada amir dalam setiap perkara idary
c.       Mengelola halqoh dengan sungguh-sungguh sesuai idary
d.      Melaksanakan mutabaah dengan sungguh-sungguh kepada setiap syababnya
e.      Menjadi Bapak, anak atau saudara bagi setiap syababnya

2.       Tsaqofah yang mantap, yaitu pemahaman yang sempurna dan menyeluruh terhadap Tsaqofah  mutabanat dan Dasar-dasar Tsaqofah Islam seperti tentang Aqidah, Fiqh, ushul Fiqh, siroh, Ulumul hadits, Ulumul Qur an, dll. Tsaqofah yang baik akan mendukung terbentuknya aqliyah yang kuat. Seorang musyrif akan membina seseorang yang memiliki akal, perasaan dan pemahaman, dan orang tersebut akan merefleksikan apa yang didengar dan diperhatikan dari musyrif, maka apabila seorang musyrif tidak memiliki level pengetahuan yang memadai dan wawasan pemahaman yang menyeluruh tentang dasar-dasar keislaman, maka hal itu akan memindahkan sebuah kebodohan kepada syababnya, yang pada gilirannya akan menimbulkan masalah dalam pembentukan syakhshiyah syabab itu sendiri.

3.      Aqliyah solihah yang kuat, yakni senantiasa mengikatkan setiap solusi problem hidup dan kehidupan ini dalam hal benar atau salahnya, baik atau buruknya semata-mata dengan Aqidah Islamiyah. Disinilah tsaqofah akan berperan membimbing kearah kebenaran. Musyrif   yang aqliyahnya kuat akan lebih mudah mengarahkan syababnya. Dia akan menjadi teladan dan mercusuar bagi syababnya ke mana mereka harus mengarahkan kapal kehidupannya diantara karang-karang jahiliyah yang siap mengancurkkannya.



4.      Nafsiyah Sholihah, perilaku yang baik, karena musyrif pasti diteladani syababnya. Yaitu keteladanan musyrif dengan amal perbuatannya yang secara real tampak jelas pada perilakunya, seperti geraknya, diamnya, bicaranya, atributnya, pandangannya dan ibrohnya, seluruh keteladanan itu adalah buah refleksi dari pengaruh keimanan dan pemahaman dalam kehidupan dalam rangka memberikan pengaruh keteladanan yang baik  pada saat kemunculannya di tengah-tengah syabab dan masyarakat.

Ada ungkapan  ulama salafushashalih : “Man lam tuhadzdzibka ru’yatuhu fa’lam annahu ghairu Muhaadzdzab” (Barang siapa yang tidak mendidikmu ketika engkau melihatnya maka ketahuilah bahwa orang itu juga tidak terdidik).

Al-Imam Syafi’i rahimahullohu berkata : “Man wa’adzho akhohu bifi’lihi kaana Haadiyan” (Barang siapa yang menasehati seudaranya dengan amal perbuatannya maka berarti ia telah menunjukinya”. Oleh karena itu keteladanan adalah fokus yang sangat sensitif dan halus, karena apa yang tampak pada dirinya jauh lebih besar pengaruhnya dari apa yang diucapkannya (Al-Mandzhor a’dzhomu ta’tsiran minal qoul).

5.      Peka terhadap aspek nafsiyah, yaitu berpengalaman dalam memahami aspek kejiwaan, karena sesungguhnya lapangan kerja seorang musyrif  tidak lain adalah kejiwaan, bergumul dengannya dan menjadikannya sasaran yang pertama dan terakhir dalam proses pembinaan, sedangkan jiwa tidak seperti gigi sisir, akan tetapi jiwa orang berbeda satu dengan yang lainnya, ada yang lemah, ada yang kuat, ada yang peka dan over sensitif. Ada yang lembut , ada yang keras,bebal dan sebagainya.
Oleh karena itu seorang musyrif hendaknya menyikapi seseorang sesuai dengan kejiwaannya dan berhati-hati dalam berinteraksi dengannya, maka jangan bersikap terlalu tegas dan keras kepada orang yang jiwanya halus dan peka, melainkan harus dihadapi dengan lemah lembut , sebaliknya orang yang jiwanya keras harus dihadapi dengan ketegasan jika ia lalai dan menyimpang. Adalah Rosululloh SAW sosok pembina pertama yang berpengalaman dalam ilmu jiwa, beliau tidak mempergauli para sahabatnya dengan sikap yang sama antara yang satu dan lainnya, karena beliau sangat tahu akan tabiat manusia dan kejiwaan mereka. Dalam hadits riwayat Bukhari dari Abdulloh ibnu mas’ud RA. Beliau bersabda : “Adalah Rosululloh SAW pernah beberapa hari lamanya tidak memberikan nasehat dan wejangan kepada kami, karena beliau takut kami menjadi bosan” (Al-Hadits)
6.      Memahami adab ta’limul muta’alim.
Menurut sebagian ulama adab itu mendahului amal. Lebih disukai orang yang banyak adabnya meski amalnya kurang daripada orang yang kurang adabnya meski banyak bermal. Namun bukan berarti boleh menjadi minimalis dalam beramal. Diantara hal penting tentang adab menuntut ilmu adalah menghormati dan mencintai guru.
“… Hendaklah ia mengagungkan gurunya dan orang-orang yang ia mendengar darinya, sebab hal ini termasuk pengagungan terhadap ilmu dan sebab-sebab mendapatkan manfaat dari ilmu, hendaklah ia meyakini keagungan dan keunggulan gurunya, berusaha meraih ridhanya, dan janganlah berlama-lama dengannya yang sekiranya menjadikannya tidak enak hati. Hendaklah ia berkonsultasi dengannya dalam berbagai urusan dan kesibukannya dan bagaimana cara mengoptimalnya berbagai hal tadi. Dan jika ia mendengar satu hadits, hendaklah ia membertahukan orang lain, sebab, menyembunyikan hal itu adalah sifat tercela, yang tidak terjerumus kepadanya selain para penuntut ilmu yang bodoh, dan jika menyembunyikan ilmu dikhawatirkan menjadi ilmu yang tidak bermanfaat, sebab, termasuk keberkahan sebuah hadits adalah jika ia disampaikan kepada orang lain, dan mempublikasikannya adalah keberkahan. Dan berhati-hatilah jangan sampai rasa malu dan rasa besar menghalanginya untuk berupaya secara maksimal dalam belajar dan mengambil ilmu dari orang yang lebih rendah darinya, baik dalam hal nasab maupun usia maupun dalam hal lainnya. Hendaklah ia bersabar atas kekasaran urusan. Hendaklah ia memperhatikan yang penting dan janganlah menyia-nyiakan waktu dalam memperbanyak guru hanya sekedar memperbanyak saja…”.
(At-Taqrib, karya Imam An-Nawawi, silahkan periksa Tadrib Ar-Rawi fi Syarh Taqrib An-Nawawi juz: 2 hal. 145).


( oleh-oleh dari Ust.Abu Zaid, DPP HTI )

Tidak ada komentar: