Mengamati, Melihat, memahami, Dan Menuliskannya

Sabtu, 28 Mei 2011

Budi Kristyanto: Dari Vatikan Hingga Khilafah

Budi Kristyanto
(Aktivis Dakwah asal Jakarta) |



Vatikan yang hanya mengurus masalah ibadah atau kerohanian saja, sudah begitu solidnya. Apalagi kalau Khilafah muncul lagi.

Aku anak ketiga dari tujuh bersaudara. Terlahir di tengah keluarga Kristen Katolik yang taat di Jakarta pada 23 Desember 1979 dengan nama Ignatius Budi Kristyanto. Setiap Minggu aku rajin ke gereja. Bahkan rumahku pun sering dijadikan tempat koor teman-teman orang tuaku.

Ayah mendidik anak-anaknya untuk terbuka dan kritis. Tidak menelan mentah-mentah informasi apalagi yang terkait dengan keyakinan. Apa yang menjadi gejolak pencarian kebenarannya selalu dilempar pula ke anak-anaknya termasuk aku, padahal aku masih SD.

Ia pun menceritakan dialognya dengan Romo di gereja. “Yesus itu siapa? Kalau Yesus adalah Tuhan mengapa ia diciptakan? Mengapa Tuhan ada tiga? Padahal dalam Bible sendiri Yesus tidak pernah menyebut dirinya sebagai Tuhan. Sayangnya Romo selalu menjawab seperti ini: “Jika saya jawab keimanan kamu akan menurun”.

“Itu jawaban tidak bijak,” ujar ayah. Sehingga aku menjadi ikut berpikir. Sejak saat itu pun aku mulai meragukan trinitas dan mulai meyakini Yesus bukan Tuhan.


Kecewa

Meskipun nyebelin, karena mereka suka nyentil-nyentil masalah keimanan, aku sering sekali bergaul dan bertukar pendapat dengan teman-teman Muslim padahal kami masih SD. Ada satu omongan dari temanku yang tidak sengaja kudengar. Rupanya mereka cemburu sama umat Katolik, yang membangun gereja.

“Di sana tiba-tiba ada gereja gede, itu dari Vatikan paling,” ujarnya kepada teman yang lain. Aku pun menimpali, “Lho memang kenapa kalau dari Vatikan , itu kan dari pimpinan agamanya sendiri dari Roma sampai ke sini bisa memberikan dananya, itu kan hebat banget berarti kan umat Katolik solid, nah kenapa kamu nggak punya?”.

Ketika aku kelas 1 SMP ayahku masuk Islam. Aku agak sedikit kecewa, mengapa ayah masuk Islam sehingga dalam keluarga ada dua agama. “Biar tidak dua agama ya semuanya masuk Islam dong,” kata ayahku. Tentu saja aku menolak. Ibu dan saudaraku pun demikian.

Karena saat itu aku menganggap bahwa sebuah agama itu dilihat dari umatnya bukan dari ajaran dalam kitab sucinya. Aku lihat umat Islam itu kan miskin, suka cekcok, banyak yang jadi pencuri. Sedangkan umat Katolik itu solid atau guyub. Misalnya saat koor, menyanyikan lagu-lagu pujian kepada Tuhan. Dan sering banget koor tersebut diadakan di rumahku.

Aku melihat kok solid banget, kesannya tidak dikoordinir kok kompak banget. Ada yang bawa makanan, nyumbang uang dan lainnya padahal tidak diminta. Aku pun tidak pernah melihat bila ada gereja dibangun dan panitia pembangunan gereja minta sumbangan di jalan-jalan.

Kesolidan semacam itu tidak aku lihat di umat Islam. Itulah yang menjadi rem bagiku sehingga tidak kunjung masuk Islam. Meskipun berulang kali ayah sering mengatakan bahwa Bible itu isinya beda tahun terbitan ya berubah. Jadi sudah tidak asli lagi. Aku tetap bersikukuh.

Masuk Islam

Kelas 1 SMA, aku berpikir lagi lantas aku ini umat apa? Islam bukan Katolik juga bukan. Wah jadi umat yang bukan-bukan dong. Berarti ini ada yang salah. Apakah aku belum memahami Katolik secara menyeluruh atau belum memahami Islam secara menyeluruh.

Aku pun memperhatikan aktivitas di mushala sekolah, suasananya memupus stigma negatifku tentang Islam. Dan mungkin ini agak tidak rasional ya, di mushola tersebut terasa sejuk, padahal udara di sekitar begitu panas. Suasana mushala betul-betul hidup, tempat mungil itu tidak hanya untuk shalat tetapi digunakan juga untuk diskusi dan belajar. Ternyata mereka pun guyup!

Aku pun memutuskan turut dalam diskusi itu. Aku sampaikan masalahku. Dengan gamblang mereka menjelaskan bahwa Tuhan atau Allah itu tidak beranak tidak pula diperanakkan, Allah itu berbeda dengan makhluk. “Kalau kamu melihat ajaran agama itu dari umatnya, untuk saat ini, kamu pasti akan melihat tidak ada satu pun agama yang benar di dunia ini,'' ujar salah satu teman sekolahku itu.

Dia pun mencontohkan ketika seseorang itu salah belum tentu kesalahan itu terjadi karena orang tersebut sedang mengamalkan agamanya. Di Indonesia banyak pencuri beragama Islam itu karena di Indonesia mayoritas penduduknya beragama Islam. Coba tengok Filipina, di penjaranya dipenuhi pencuri yang beragama Kristen. “Apakah Kristen mengajarkan umatnya mencuri? Kan tidak, begitu juga Islam,” ujarnya.

Jadi kalau mau tahu ajaran itu benar atau salah harus langsung merujuk kepada sumber ajaran itu sendiri, yakni kitab sucinya. Pas aku baca Alquran dan mempelajari Islam lho ternyata di Islam pun mengajarkan kasih sayang dan moralitas lainnya yang ada di Katolik. Ya penjelasannya memang mirip dengan penjelasan ayah. Namun pikiranku baru terbuka ketika diskusi dengan mereka.

Cocok dong dengan Katolik. Tapi Islam ada kelebihannya, pikirku, karena masalah ketuhanan Islamlah yang benar! Maka aku pun langsung masuk Islam. Alhamdulillah, akhirnya keluargaku semua masuk Islam.

Setahun setelah lulus kuliah, tepatnya pada tahun 2005 aku menikah. Alhamdulillah pemahamanku tentang Islam semakin membaik. Karena istriku banyak menyampaikan apa-apa yang dia pahami tentang Islam. Awalnya aku selalu mendebat tetapi jawabannya mematahkan argumenku.

Jawabannya mencerahkanku, ternyata Islam tidak seperti yang aku kira selama ini. Aku kagum, olok-olokanku waktu SD itu, “mengapa kamu tidak punya Vatikan!” ternyata umat Islam itu dulu punya. Sekarang umat Islam menjadi begini karena institusi tersebut sudah tidak ada. Institusi tersebut disebut dengan Khilafah Islam. Untuk memahami Islam lebih dalam aku pun turut mengaji.

Vatikan yang hanya mengurus masalah ibadah atau kerohanian saja, sudah begitu solidnya. Apalagi kalau Khilafah tegak lagi. Karena Khilafah mengurus juga masalah pendidikan, ekonomi, politik, sistem pergaulan, pemerintahan dan lainnya yang semuanya itu bersumber dari Alquran dan Sunnah. Subhanallah.[] seperti dituturkan budi kristyanto kepada joko prasetyo

http://www.mediaumat.com/sosok/919.html

Tidak ada komentar: