Mengamati, Melihat, memahami, Dan Menuliskannya

Selasa, 31 Mei 2011

Faisal Rahmat Sitohang : Dari Maksiat Berubah Jadi Pejuang Syariat

Aku disuruh taubat ketika terjebak maksiat. Tapi malah disebut sesat ketika taubat. Tapi aku tetap membulatkan tekat hingga keluargaku pun turut menjadi pejuang syariah.

Sebagai anak yang terlahir dalam keluarga Muhammadiyah, aku sebenarnya tidak begitu kering dari ajaran agama. Masa kecil bersama tujuh orang bersaudara kuhabiskan di Kota Padang Sidempuan, Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatera Utara. Sebuah kota yang menjunjung tinggi adat istiadat mandailing, namun sering disebut sebagian masyarakat Sumatera Utara sebagai daerah yang banyak menghasilkan santri dan para ustadz. Hingga kini kusadari itu, walau tak sepenuhnya benar.

Saat usiaku meranjak remaja sekitar kelas 1 SMK di salah satu sekolah swasta di Padang Sidempuan semua masih baik-baik saja. Sebenarnya, teman-temanku di sekolah pada umumnya baik, untuk merokok saja, yang lazim dilakukan anak masa kini, mereka tidak mau. Sama seperti aku ketika itu.
Namun situasi berbeda ketika aku naik ke kelas 2. Awalnya, aku kaget saat teman sebangkuku menawari narkoba, ternyata ia seorang agen narkoba. Perlahan tapi pasti, melalui pertemanan itulah aku mulai terjerumus ke dunia hitam sebagai pengguna dan pengedar narkoba. Pagi, siang dan sore waktu kuhabiskan untuk menjual narkoba khususnya daun ganja.

Malu aku sebenarnya mengatakan ini semua, namun sebagai bahan pembelajaran bagi kita bahwa sesungguhnya apa yang kulakukan sebagai agen narkoba atau pemakainya dahulu sudah jauh dari kewajaran orang yang waras. Narkoba yang kudapat dari pengurus Organisasi Kegiatan Pelajar (OKP) ketika itu setiap hari juga kuedarkan bahkan kujual di sekolah-sekolah lain. Racun narkoba menjadi bagian dari kehidupanku. Tidak hanya mengonsumsi daun ganja, aku pun mulai merambah mengonsumsi ekstasi dan berbagai minuman keras.

Nasihat keluarga dan siapa pun juga yang mencoba agar aku berhenti dari perbuatan maksiat ini tidak ada yang mempan. Sampai Allah SWT mengingatkanku dengan cara-Nya sendiri. Pada suatu malam aku pulang menggunakan sepeda motor dari pesta narkoba. Keadaan tubuhku sudah oyong atau pening gak karuan akibat over dosis menghisap ganja.

Sebelum pulang, aku mengantarkan teman ke rumahnya, saat hendak pulang ke rumahku entah bagaimana ceritanya tak sadarkan diri aku langsung jatuh akibat menabrak batu besar di pinggir jalan. Untung saja masih ada orang yang berbaik hati dan memboyongku ke rumah sakit Bayangkara untuk di rawat.

Seperti biasa, jika pecandu narkoba mengalami kecelakaan pasti perlakuan pihak rumah sakit sering tidak manusiawi. Tapi justru perlakuan kasar itulah membuatku jadi berpikir. “Ini semua gara-gara narkoba!” ujarku dalam hati.

Wajahku terluka sehingga harus dijahit dengan 13 jahitan, tulang pungggungku bergeser dan sebagian besar luka kulit. Yang pastinya kondisi fisik yang cukup mengenaskan ketika itu. Dengan sakit yang amat sangat itu, akhirnya aku sempat berpikir untuk meninggalkan narkoba.

Waktu berlalu hingga aku boleh pulang setelah sebulan lebih aku dirawat intensif di rumah sakit. Ada kemajuan, sejak kecelakaan itu aku sama sekali tidak ingin menghisap ganja, padahal sebelumnya tiada hari tanpa narkoba. Sampai hampir dua bulan aku tidak mengonsumsi narkoba. Mungkin itulah hikmah dari musibah yang menimpaku.

Sampai suatu saat teman sesama pengonsumsi narkoba datang ke rumah untuk menjengukku. Mereka menawariku ganja lagi. Aku menolaknya. Tetapi aroma ganja yang khas itu sangat menggodaku. Imanku kembali goyah. “Satu linting kecil itu tidak apalah,” bisik setan dalam hati.

Aku pun menerima sodoran teman maksiatku itu. Karena fisik masih lemah, baru saja aku isap beberapa kali lintingan ganja itu, luka yang belum kering dari wajahku itu langsung mengeluarkan darah yang banyak.

Sejak saat itulah aku benar-benar merasa kapok dan benar-benar membulatkan tekad untuk meninggalkan narkoba. Waktu berjalan kuniatkan sungguh-sungguh untuk meninggalkan narkoba. Karena bantuan keluarga terkhusus motivasi yang diberikan ibuku tercinta, akhirnya aku sanggup untuk meninggalkan narkoba tersebut. Alhamdulillah sampai detik ini aku sudah tidak mengonsumsinya lagi.

Aku, Dakwah dan Keluargaku
Di tahun 2002 aku dan keluarga pindah ke Kota Medan. Karena ayahku dipindahkan tugas dari kepala sekolah Madrasah Aliyah Negeri di Tapsel menjadi pegawai Departemen Agama Kota Medan. Di Medanlah kami memulai banyak hal dalam berbagai kehidupan. Mulai meninggalkan daerah yang kental dengan adat-istiadatnya hingga kami sekarang semua berjuang dalam pergerakan dakwah Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) Medan.

Ini aku melalui perjalanan panjang. Awalnya berbagai gerakan kumasuki. Saat aku mulai masuk salah satu gerakan tersebut, aku kerap sekali berhubungan dengan banyak preman di terminal Pinang Baris Medan. Mereka kudakwahi, hingga berbagai penolakan dan bahkan ancamann fisik kerap sekali terjadi.

Walau loyalitasku di jamaah itu cukup tinggi namun aku masih belum merasakan nikmatnya dakwah di sana. Aku merasa ada sesuatu yang kurang. Apa itu? Aku pun tidak tahu. Sampai satu saat aku bertemu dengan seorang ustadz yang bernama Musdar Syahban seorang aktivis HTI Medan. Dia mengajakku mengaji dan memahamai Islam kaffah. Ternyata di sinilah hati kutambatkan. Akhirnya aku sampai detik ini terus berjuang bersamanya.

Gagasan Islam kaffah ini selalu kusampaikan ke keluargaku saat itu. Tak semudah yang kubayangkan sebagai anak yang eks pecandu narkoba mereka masih mengucilkan aku kalau bercerita seputar Islam dan ajarannya.

Selama setahun, sejak 2003 penolakan pun terjadi khususnya oleh ayah yang sekarang sudah tiada. Tak ada hari tanpa memarahiku saat menjelaskan Islam kaffah kepadanya. Aku dicap sebagai pembawa ajaran yang sesat hingga aku pernah diusir dari rumah.

Aneh memang, dulu aku disuruh taubat ketika terjebak maksiat. Tapi malah disebut sesat ketika taubat. Tapi aku tetap membulatkan tekad hingga keluargaku pun turut menjadi pejuang syariah. Hal itu kulakukan lantaran aku memahami kewajiban dakwah. Aku tak goyah sedikitpun dan terus berjuang bagaimana agar keluarga menjadi pengemban dakwah bersamaku di Hizbut Tahrir.

Alhasil, berkat pertolongan Allah SWT akhirnya ibu menerima dakwah yang pertama di keluarga. Darinyalah dakwah masuk ke ayah, abang, adik, dan kakak. Aku bersama ibu yang mengajak mereka untuk ikut mengaji memahami Islam kaffah. Dan akhirnya mereka menerima dakwah yang Allah perintahkan dan bersedia berjuang melanjutkan kehidupan Islam bersama Hizbut Tahrir. Hingga saat ini, kami tujuh bersaudara dan bersama ibu alhamdulillah tergabung dalam barisan dakwah Islam terus menggelorakan perjuangan syariah dan khilafah. Doakan semoga kami istiqamah.[]seperti diceritakan kepada dani umbara lubis

http://mediaumat.com/sosok/2468-48-dari-maksiat-berubah-jadi-pejuang-syariat.html

Tidak ada komentar: