Pengantar
Allah SWT berfirman:
Di antara orang-orang yang beriman terdapat orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah. Di antara mereka ada yang gugur; di antara mereka ada pula yang menunggu-nunggu dan mereka tidak sedikitpun mengubah (janjinya) (QS al-Ahzab [33]: 23).
Ayat ini biasa dibacakan untuk memberikan penghargaan kepada para pejuang yang gugur di jalan Allah. Anas bin Malik berkata, “Ayat ini turun berkaitan dengan gugurnya Anas bin Nadhr pada Perang Uhud dan orang-rang yang seperti dia.”
Dalam ayat di atas kata rijâl[un] tidak diartikan dengan laki-laki. Kata ini dalam banyak ayat al-Quran disebutkan untuk menyebutkan orang-orang hebat. Karena itu, dalam ayat di atas orang-orang yang memegang komitmen dengan Allah diungkapkan dengan kata rijâl[un]. (Baca juga QS at-Taubah [9]:108, an-Nur [24]: 37).
Dalam dunia tasawuf, wali-wali Allah biasa dijuluki rijâlullâh. Tokoh agama/agamawan biasa disebut rijâluddîn. Politisi/negarawan disebut rijâluddawlah. Orang-orang yang berkecimpung dalam dunia dakwah biasa disebut dengan istilah rijâlud da’wah. Demikian seterusnya.
Pada tulisan ini penulis ingin mengajak pembaca untuk mengambil ibrah dari sikap salah seorang generasi awal Hizbut Tahrir, yang layak dikategorikan “min al-mu’minîna rijâlu shadaqû mâ ‘âhadullâha ‘alayh”. Beliau adalah Syaikh Abu Arqam.
Beliau termasuk generasi pertama dalam barisan aktifis Hizbut-Tahrir (HT) yang pernah mendapatkan halqah dari Syaikh Taqiyiyuddin an-Nabhani rahimahullâh, pendiri Hizbut Tahrir. Berikut ini sekilas memoar beliau, sebagaimana dituliskan oleh Syaikh Thalib Audhullah dalam buku, Ahbâbullâh.
Awal Pertemuan dengan HT
Sejak tahun 1950 saya telah bolak-balik di Dar al-Ikhwan al-Muslimin (Rumah/Sekretariat Ikhwanul Muslimin). Pada saat itu Syaikh Abdul Qadim Zallum, H. Abdul Qadir Zallum dan yang lain juga suka bolak-balik ke sana. Ketika kami berkumpul di sana, terjadi diskusi dan tanya jawab. Saat itu saya sangat tertarik dengan pemikiran-pemikiran baru yang dilontarkan Syaikh Abdul Qadim Zallum.
Sebelumnya bersama Ikhwanul Muslimin kami tidak terbiasa dengan pemikiran seperti itu. Hal itu membuat saya dekat dengan beliau rahimahullâh.
Kemudian kami mulai berdiskusi dengan saudara-daudara kami di Jamaah (Ikhwan). Hal itu membuat mereka berkata kepada kami, “Kalian membicarakan sesuatu yang asing bagi kami.” Akhirnya, terjadi keterasingan antara kami dengan Ikhwan di sekretariat itu.
Setelah itu kami mulai berkumpul di rumah Syaikh As’ad Bayaudh bersama Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani ketika beliau hadir di al-Khalil. Ketika itu kami tidak lebih dari dua puluh orang. Saya ingat sebagian dari mereka seperti Syaikh Ibrahim asy-Syarbati dan saudaranya Ya’qub asy-Syarbati, H. Abdul Qadir Zallum, Ahmad Ibrahim Misik, Ibn al-Baladah al-Qadimah dan yang lain. Pertemuan biasanya berlangsung hingga azan subuh. Setelah kami menunaikan shalat subuh secara berjamaah lalu kami pulang ke rumah masing-masing. Ketika kami bertolak untuk menyeru masyarakat, mereka mengatakan kepada kami, “Kalian adalah pengikut ‘Nabi-Hani’ (plesetan dari Nabhani).” Sebagian yang lain menyebut kami ‘Nabhaniyun’.
Menyampaikan Penjelasan Syaikh Ahmad ad-Daur
Di antara kenangan saya, Syaikh Ahmad ad-Daur berhasil dalam pemilu parlemen dari kota Thulkarim untuk yang pertama kalinya. Ketika diselenggarakan sidang parlemen untuk memberikan kepercayaan kepada pemerintahan, beliau menyampaikan penjelasan kepada para pejabat pemerintah, anggota parlemen dan pengunjung majelis. Saat itu beliau mengajukan mosi tidak percaya kepada pemerintah.
Saya ditugaskan untuk menyampaikan penjelasan yang beliau sampaikan di parlemen itu di Masjid al-Ibrahimi di al-Khalil. Saya membacakannya di atas tempat duduk yang biasa dipakai qâri untuk membaca al-Quran, mengumandangkan azan dan iqamat yang berseberangan dengan mimbar khutbah.
Setelah selesai shalat Jumat saya berdiri dan dengan membaca basmalah, lalu mulai berbicara, “Saudara-saudara, ini adalah penjelasan yang disampaikan wakil rakyat Ahmad ad-Daur di sidang parlemen dan saya akan membacakannya untuk Anda semua. Karena itu, tunggulah sampai selesai.”
Tiba-tiba salah seorang intel yang ada di samping saya berteriak dan berusaha menyuruh saya diam, tetapi saya mengabaikannya. Kemudian komandan intel menyuruh saya agar diam, tetapi saya tidak menjawabnya. Saya melanjutkan membaca. Perwira intel akhirnya berteriak kepada para intel di sekitarnya seraya mengeluarkan perintah, “Tangkap dia!” Ketika salah seorang intel berusaha maju menaiki tangga besi untuk mencapai tempat duduk saya, ia mendapati tangga itu telah dipenuhi oleh para syabab sehingga menyulitkan langkahnya untuk bisa sampai ke tangga, apalagi ke tempat duduk. Dengan begitu para syabab dan masyarakat telah membuat penghalang yang menghalangi intel untuk bisa menyentuh saya. Mereka tidak bisa mendekati saya. Saya pun melanjutkan membaca penjelasan hingga selesai.
Karena teriakan perwira intel itu orang-orang kemudian berkerumun ke tempat itu dari segala penjuru masjid yang luas hingga sangat berdesakan untuk mendengarkan saya. Setelah saya selesai membaca dan hendak turun, saya menginjak lantai masjid melalui tangga. Lalu para syabab Hizb dan orang-orang yang shalat Jumat mengelilingi saya seperti membuat gelang rantai supaya anggota intel dan pemimpinnya serta pemimpin daerah, walikota dan para petugas keamanan tidak bisa menangkap saya. Saya keluar dari masjid dengan aman dan selamat dan mereka tidak bisa menangkap saya.
Sebelum melaksanakan tugas yang dibebankan, yaitu menyampaikan penjelasan itu, saya tahu bahwa hukumannya adalah penjara. Setelah ashar saya kembali ke toko. Kakak saya rahimahullâh langsung bertanya, “Apa yang engkau lakukan sehingga para petugas intel dan polisi mengelilingiku; mereka datang berulangkali menanyakanmu?” Saya menjawab, “Saya tidak melakukan apa-apa. Saya hanya menyampaikan orasi Syaikh Ahmad ad-Daur di Masjid al-Ibrahimi.” Kakak saya mejawab, “Kalau begitu, engkau telah mengantarkan diri untuk ditangkap.” Saya jawab bahwa saya sudah tahu akibatnya.
Akhirnya mereka datang, menangkap saya dan menjebloskan saya di Penjara al-Khalil. Ketika saya dihadapkan ke pengadilan, saya divonis penjara satu bulan dan membayar denda seratus dinar. Tentu saja vonis itu sesuai dengan undang-undang yang dipaksakan oleh Jenderal Globe Pasya, yang disetujui oleh para wakil rakyat dan lembaga para syaikh, yaitu Qânûn al-Wa’zhi wa al-Irsyâd wa al-Khithâbah wa at-Tadrîs fî al-Masâjid (Undang-undang tentang Nasihat, Pidato dan Pengajaran di Masjid). Itulah ‘kebiasaan’ kami; ditangkap, dipenjara, dihukum, dibebaskan; lalu kembali ditangkap, dipenjara, dihukum, dibebaskan; dan seterusnya demikian.
Kajian Buku Kecil Mafâhîm Hizb at-Tahrîr
Saya ingat pada saat Hizb mengeluarkan buku kecil (kutayb) Mafâhîm Hizb at-Tahrîr pertama kalinya, Syaikh Taqiyuddin rahimahullâh berada di Beirut. Kami—saya, Ibrahim Syakir asy-Syarbati dan saudaranya Ya’qub Syakir asy-Syarbati rahimahumullâh—lalu meminta izin untuk melakukan perjalanan dan bertemu dengan beliau supaya kami bisa membaca buku kecil itu di hadapan beliau. Kemudian Hizb memberikan izin kepada kami dan memberikan alamat di Beirut. Kami kemudian melakukan perjalanan ke Beirut. Kami keluar dari al-Khalil setelah shalat subuh menuju ke Amman, lalu ke Damaskus. Dari sana baru kami ke Beirut dan sampai di sana setelah isya. Kemudian kami menghubungi alamat yang diberikan kepada kami setelah kami sampai di penginapan. Dari sana kami dibawa oleh pemilik alamat itu. Ketika kami sampai di tempat, kami menjumpai Syaikh Taqiyuddin, lalu kami masuk.
Saya ingat waktu itu beliau sedang duduk mendengarkan berbagai berita “Hunâ London”–Radio Berita Inggris. Di samping beliau duduk Syaikh Abdul Qadim Zallum dan Syaikh As’ad Bayaudh at-Tamimi rahimahumullâh. Kami mengucapkan salam kepada semuanya. Lalu Syaikh Taqiyuddin langsung bertanya sebab kedatangan kami. Saya menjawab, karena keinginan kami mengkaji kutayib Mafâhîm Hizb at-Tahrîr bersama beliau. Beliau menjawab, “Selamat datang.” Lalu beliau mematikan radio dan memberikan kepada saya naskah kutayb. Beliau meminta saya membacanya. Saya membaca satu paragraf, lalu beliau mulai men-syarah-nya. Kemudian kami berdiskusi. Begitu berlanjut seterusnya sampai dini hari. Kami sangat lelah karena perjalanan panjang dan belum sempat istirahat sedikitpun. Karena itu, kami berkata kepada beliau, “Syaikh, kita cukupkan dulu sampai di sini. Kami tidak kuat lagi karena sangat lelah akibat perjalanan panjang.”
Beliau tertawa lalu berkata, “Cukup kalau begitu. Dimana kalian menginap di Beirut?” Lalu kami memberikan alamat penginapan. Beliau berkata, “Saya akan datang ke penginapan kalian jam tujuh pagi, setuju?” Kami sepakat dengan beliau. Lalu kami kembali ke penginapan.
Selanjutnya kami tertidur karena kelelahan sampai Syaikh Taqiyuddin datang, sementara kami masih terlelap. Beliau bertanya kepada resepsionis nomor kamar kami dan di tingkat berapa. Beliau sampai di depan kamar jam tujuh kurang lima menit dan menunggu di depan pintu kamar hingga tepat jam tujuh pagi. Lalu beliau mengetuk pintu kamar kami yang membuat kami terbangun dan berdiri. Kami belum menunaikan shalat subuh.
Kami sangat terkejut. Beliau berkata, “Tidak ada dosa atas kalian. Berwudhulah dan shalatlah kalian sekarang. Apa yang terjadi pada diri kalian pernah terjadi pada diri Rasululalh saw.” Kemudian setelah kami menyelesaikan shalat, beliau menyampaikan riwayat kisah Rasulullah saw. ketika sampai di Tabuk. Saat itu beliau tidur berserta para Sahabat dan mereka semua tidak bangun kecuali karena panasnya cahaya matahari mengenai kulit mereka….dst sampai akhir.
Setelah kami sarapan alakadarnya, kami mulai membaca kembali kutayb, Mafâhîm Hizb at-Tahrîr, paragraf demi paragraf, lalu beliau men-syarah-nya. Pertemuan itu berlangsung hingga saat makan siang, saat setelah shalat zhuhur. Kami meminta beliau berhenti karena kami ingin berkeliling di jalan-jalan dan tempat bersejarah Beirut. Setelah itu kami akan kembali kepada beliau untuk menyempurnakan kajian pertemuan terakhir. Karena tinggal pertemuan terakhir, kami menyempurnakan kajian kutayb Mafâhîm Hizb at-Tahrîr tersebut.Setelah selesai pertemuan terakhir, kami kembali pulang ke al-Khalil.
Madarat yang Memberi Manfaat
Kembali ke belakang setelah tahun 1953. Saya ingat, ada tugas bahwa kami harus berdiskusi dengan para syaikh di masjid-masjid. Saya dan saudara saya yang sekarang tinggal di Amman dan termasuk syabab pilihan ditugaskan di Masjid al-Ibrahimi. Kami berdua pergi ke masjid itu tiga perempat jam sebelum shalat ashar untuk menghadiri kajian dan berdiskusi dengan guru.
Yang menyampaikan kajian waktu itu adalah almarhum Syaikh Dari al-Bakri yang memberikan kajian dalam masalah zakat. Setelah ia mengijinkan, saya bertanya tentang siapa yang dituntut mengumpulkan zakat dan mengaturnya. Kami berdua waktu itu duduk di hadapannya. Pertanyaan saya menyebabkan ia melakukan gerakan tangan tertentu dan berkata, “Dengan hancurnya negaranya.” Ia mengulanginya tiga kali dan terus menggerak-gerakkan tangannya seperti semula.
Hal itu menjadikan kami merasa dipermalukan karena tindakan yang tidak pantas itu, khususnya tindakan itu keluar dari seorang syaikh agung di masjid tempat kaum Mukmin menyembah Allah. Seluruh yang hadir sangat terkejut—mayoritas yang hadir berusia lanjut karena pada waktu itu hanya sedikit pemuda yang pergi ke masjid.
Setelah kira-kira dua menit kesunyian memenuhi tempat itu. Muazin mengumandangkan azan untuk shalat ashar, lalu ditunaikan shalat ashar secara berjamaah. Kami berdiri persis di belakang Syaikh Dari yang ada di mihrab. Setelah selesai shalat ia berdiri dan kami berdua juga berdiri. Ia tidak membiarkan kami dan memerintahkan kami untuk berdiri. Ia mulai menggerakkan jari-jarinya di atas wajah saya dan teman saya dari kiri ke kanan bolak-balik sambil berkata keras, “Dengan hancurnya negaranya, hah…” Ia menggerak-gerakkan jarinya ke kiri dan ke kanan bolak-balik (Itu adalah isyarat untuk mengejek bagaimana kami berjuang untuk menegakkan dawlah, sementara kami mencukur janggut dan kami tidak berjanggut. Yang lebih utama, menurut pendapatnya, kami pergi dan memelihara janggut kami hingga panjang, baru beraktivitas untuk menegakkan dawlah).
Temanku lalu membantahnya dengan berkata, “Wahai orang yang ingin menghidupkan sunnah, apakah Rasul saw. ketika ditanya berkata kepada si penanya kata-kata menghina dan kosong dari rasa malu seperti yang Anda katakan kepada kami?” Syaikh besar itu pun jatuh wibawanya dan tidak menjawab apapun. Ia lalu melangkah ke arah pintu keluar masjid. Hal itu mendorong orang-orang yang menunaikan shalat yang masih ada di tempat itu berkerumun di sekitar kami untuk menyelesaikan diskusi antara kami dan mereka. Kami mengatakan kepada mereka apa yang ingin kami katakan. Sungguh betapa banyak kemadaratan yang memberikan manfaat.
Mengisi 12 Halqah
Setelah itu saya mencari seorang gadis untuk saya jadikan istri. Allah mengaruniai saya wanita yang sesuai—yang kemudian menjadi istri saya, yaitu Ummu Arqam. Saya menikah tahun 1957. Saya ingat waktu itu, kebetulan saya ada jadwal memberikan halqah mingguan bertepatan dengan malam pernikahan. Saya lalu pergi meninggalkan pesta pengantin untuk memberikan halqah sampai saya menyelesaikannya dengan sempurna. Setelah kurang lebih satu setengah jam saya kembali ke pelaminan. Saya mendapati seluruh yang hadir bertanya-tanya tentang pengantin pria dan dimana ia bersembunyi. Ketika itu saya memegang 12 halqah dalam satu minggu. Ada yang malam hari maupun siang hari. Saya melakukannya tanpa kenal lelah dan merasa berat.
Disiksa Aparat
Saya pernah ditangkap hanya karena membawa salah satu selebaran. Saya dihadapkan pada investigator yang mencari tahu dari mana selebaran itu saya peroleh dan siapa yang memberi saya. Saya jawab, “Salah seorang manusia memberikannya kepada saya. Lalu saya menanyakan namanya dan dia memberi tahu saya bahwa ia pencari solusi Allah.” Mendengar itu, mereka mulai menyiksa saya. Mereka memasukkan saya seharian di kandang kuda polisi. Kedua kaki saya diikat dengan sabuk dari serat agar mereka bisa memukuli saya pada bagian bawah (telapak) kaki. Akibatnya, setiap kali saya berdiri di atas kedua kaki saya, kaki saya langsung berdarah dan saya tidak bisa berjalan, bahkan harus merangkak.
Kemudian saya dihadapkan ke pengadilan setelah selesai masa interogasi dan penyiksaan. Pada waktunya diselenggarakan pengadilan untuk saya dan saya dibawa ke pengadilan yang ada di bangunan pemerintah yang terisolasi. Di dalamnya hanya ada para narapidana, seluruh aparat keamanan dan pemerintahan negara. Saya dihadapkan bersama empat orang yang lain.
Ketika kami masuk ke ruangan di hadapan hakim—semoga Allah melaknatnya—ia tidak mengijinkan kami berbicara membela diri kami. Bahkan ia sama sekali tidak membaca tuduhan. Itu adalah pengadilan in absentia. Hanya karena kami memasuki ruangan pengadilan, hakim berkata, “Bawa mereka, saya vonis masing-masing penjara satu tahun.”
Yordania ketika itu tunduk di bawah pemerintahan militer. Hakim penjahat yang mengadili kami itu adalah hakim militer, bukan hakim sipil. []
seren,purworejo,14-05-2011,dari catatan FB seorang kawan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar