Sabtu, 14 Mei 2011
Menarik Becak Menuju Khilafah
inilah sesosok manusia yg bernama Nawiruddin
Aktivis HTI Sumut
Ketika harus memenuhi undangan talkshow dan bersanding dengan tokoh-tokoh daerah terkadang ia merasa rendah diri, mengingat profesinya sebagai penarik becak motor (betor). Tetapi bila mengingat bahwa dirinya sebagai bagian dari jamaah dakwah dunia, yang diamanahi untuk menyampaikan gagasan besar dan mulia, rasa itu pun sirna.
Namanya Nawiruddin, kelahiran Deli Serdang, 5 Juni 1975. Warga setempat memanggilnya dengan sebutan Ust Nawir. Ayah dari tiga orang anak itu sudah aktif berdakwah sejak belasan tahun lalu.
Selama itu pula, banyak terobosan ia berikan untuk kemajuan dakwah di Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara. Walau profesinya sebagai seorang penarik betor di Kecamatan Tanjung Morawa, ia juga bisa dikatakan sebagai orang yang pantang menyerah untuk urusan dakwah.
Dari narik betor, penghasilannya rata-rata 50 ribu rupiah perhari. Namun harus dipotong 15 ribu rupaih untuk tunggakan betornya yang masih harus dilunasi selama dua tahun lagi. Sisanya untuk membeli bensin, kebutuhan keluarga dan kebutuhan operasional dakwahnya.
Meski tidak jarang ia mendapatkan Rp 50.000 tapi sering kali pula betornya sepi penumpang. Nah kalau sudah begitu, sering kali ia puasa. Bila cobaan itu berlanjut, meskipun malu, ia memaksakan diri meminjam uang ke keluarga maupun teman-temannya.
Air matanya kerap menetes bila sudah sore tapi tidak ada satu pun orang yang menggunakan jasanya. Namun ia tetap sabar dengan tidak tergoda untuk mencari rezeki yang haram. Maka ia sangat bersyukur kepada Allah SWT ketika beberapa tetangganya mengamanahi dirinya untuk antar jemput sekolah anak-anak mereka.
Usai shalat shubuh ia langsung bergegas mengantarkan delapan anak SD itu ke sekolahnya. Ia jemput satu-persatu ke rumahnya masing-masing. Dengan cepat dan sigap ia harus mengantar mereka agar tidak terlambat. Pukul 13.00 WIB, ia menjemput mereka pulang sambil menunggu jadwal pulang mereka, ia berkeliling ke pelosok desa hingga kota Kecamatan Tanjung Morawa. Orang di sana menyebut raon-raoini. Mengendarai becaknya mencari penumpang. Ia terkadang mendapatkan penumpang, tak jarang pula sepi. Saat waktu sudah terik selepas rehat, shalat dan antar pulang anak sekolah, ia kembali lagi berjuang seraya berharap mendapatkan penumpang walau hanya seorang.
Dikesibukannya mencari sesuap nasi dengan profesinya itu, ia tidak pernah luput dan meninggalkan amanah dakwahnya. Siang ia disiplin antar jemput pelanggan. Malam pun ia disiplin berdakwah. Bayangkan saja, setiap malam ia sibuk untuk mengisi pengajian, rapat dakwah, membimbing anggota dakwah, dan bahkan bisa dikatakan tidak ada satu malampun ia habiskan tanpa dakwah.
Di samping itu, sepekan sekali, ia mengaji ke Ustad Musa Abdul Ghani di Kota Medan. Meski letih, ia tetap berangkat ke ibukota Provinsi Sumatera Utara itu yang jaraknya sekitar 25 km dari tempat tinggalnya. Sepekan sekali pula ia mengisi pengajian ke Lubuk Pakam yang jaraknya lebih jauh lagi yakni sekitar 35 km. Betor selalu menemaninya.
Dan malam-malam lainnya, ia gunakan untuk silaturahmi dengan tokoh-tokoh daerah, menyampaikan gagasan penegakan syariah Islam kaffah dalam bingkai khilafah. Begitulah amanah yang harus diembannya sebagai aktivis Hizbut Tahrir.
Berbekal ilmunya selama sekolah di madrasah tsanawiyah dan madrasah aliyah serta belajar ceramah dari ayahnya yang seorang nazir masjid, ia kerap kali berceramah, dan menjadi khatib Jumat.
Ia mengenal ide-ide syariah dan khilafah dari salah seorang kerabatnya yang ternyata aktivis Hizbut Tahrir, Ust Fatih Al Malawy namanya.
Ia senang sekali mendengar ceramah ustadz tersebut. Sejak saat itu ia sering berdiskusi dengan Fatih. Dari diskusi dan bergaul dengan para aktivis dakwah, wawasannya jadi terbuka. Betapa indahnya hidup dalam naungan Islam. Ia kian serius mendalami Islam. Pada tahun 2000 ia pun memutuskan diri untuk turut dalam barisan aktivis dakwah Islam ideologis dalam rangka memperjuangkan tegaknya syariah dan khilafah.
Setelah itu, dakwahnya semakin kencang. Ia pun tak jarang menjadi pembicara dalam talkshow yang mengangkat tema-tema aktual dengan sudut pandang Islam. Ketika harus memenuhi undangan talkshow dan bersanding dengan tokoh-tokoh daerah terkadang ia merasa rendah diri, mengingat profesinya sebagai penarik betor. Tetapi bila mengingat bahwa dirinya sebagai bagian dari jamaah dakwah dunia, yang diamanahi untuk menyampaikan gagasan besar dan mulia, rasa itu pun sirna.
Selain itu, ia pun selalu bersungguh-sungguh untuk mendorong setiap rekan dakwahnya agar bisa bangkit dan jangan larut dalam setiap kegiatan duniawi, walau secara pribadi ia juga masih menghadapi kesulitan dalam urusan ekonomi.
Katanya, kondisi ini bisa ia hadapi hanya karena keimanannya. Dalam menjalani hidupnya ia pun berprinsip, lebih baik bersusah payah dalam perkara yang halal, dari pada bersenang-senang menjalani keharaman.[] dani umbara lubis/joko prasetyo
http://mediaumat.com/sosok/2686-53-menarik-becak-menuju-khilafah.html
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar