Mengamati, Melihat, memahami, Dan Menuliskannya

Sabtu, 14 Mei 2011

Pejuang Khilafah dalam Gelapnya Dunia

Pernahkah Anda membayangkan bagaimana sulitnya seorang tunanetra mencari buku yang dapat dibaca? Tentu saja buku yang dimaksud adalah buku dengan huruf Braille, sejenis sistem tulisan sentuh yang digunakan oleh orang buta. Maka pernah tercetus dalam benakku untuk mencoba mengonversi kitab-kitab Hizbut Tahrir dalam versi Braille namun urung kulakukan lantaran terkendala kepraktisan dan biaya.

Bayangkan, Alquran saja yang mushaf-nya bisa Anda masukkan dalam saku atau bahkan dalam program di HP, maka 30 juz Alquran Braille terdiri dari 30 jilid. Bila ditumpuk besar dan tebalnya setara dengan satu dus televisi 21 inci. Harganya pun tidak murah. Perjilidnya sekitar 1,25 juta rupiah. Jadi kalau ingin mendapatkan 30 jilid, sekitar 37,5 juta uang yang harus dikeluarkan.

Terbatasnya referensi tertulis dalam bentuk salinan huruf Braille, apalagi dengan harga yang wah itu membuatku harus mengoptimalkan indera pendengaran untuk memahami suatu referensi.

Lugas dan Logis
Oh iya, hampir saja aku lupa mengenalkan diri. Namaku Entis Sutisna. Aku seorang buta yang mengajari orang buta. Karena memang profesiku sebagai PNS guru Sekolah Luar Biasa (SLB). Teman sejawat dan murid-murid biasa memanggilku dengan sebutan Pak Entis. Saat ini aku diamanahi jadi pengurus DPP Ikatan Tunanetra Muslim Indonesia (ITMI).

Aku lahir di Ciamis, 10 Juli 1964. Menurut orang tuaku, sejak lahir aku sudah tidak bisa melihat. Ini tampak dari selalu terpejamnya kedua mataku sejak di usia anak normal melek. Sejak SD-SMP aku sekolah di SLB.

Namun ketika SMA dengan kemampuan beradaptasi yang lebih baik di tengah-tengah orang bermata normal, aku masuk ke SMA Negeri 1 Ciamis. Setelah itu, kuberanikan diri masuk kuliah di Universitas Negeri Surakarta, FKIP Jurusan Pendidikan Khusus dan mendapat gelar doktorandus (Drs) pada tahun 1991.

Agamaku Islam. Dari jalur keturunan ibu, kakekku termasuk ketua tokoh agama di masyarakat, mungkin sekarang MUI namanya. Selain itu, kultur di kampung yang cukup kuat nuansa keislamannya turut memberikan warna pada pemahaman keagamaanku.

Awal aku mengenal ide-ide HT pada tahun 1997-an. Saat itu aku sering mengikuti majelis Jamaah Tabligh. Aku berkenalan dan akrab dengan Yoyo, seorang ustadz. Dia sering menyampaikan hasil diskusinya dengan seorang aktivis HT dari Bogor, dia memanggilnya Ustadz Irsyad.

Melalui dialah, aku mengenal pemikiran-pemikiran HT. Akhirnya diskusi demi diskusi pun mulai banyak menyentuh pemikiran terdalam dan mendasar dalam benakku. Hingga ide tentang kemenangan Islam dan kaum Muslimin pun menjadi wacana pemikiran baruku.

Kami pun melakukan beberapa komparasi terutama pandangan tentang kemenangan tersebut, apakah itu berupa hadiah yang akan datang sendiri tanpa diusahakan sebagaimana pandangan yang kuanut sejak kecil ataukah pandangan yang kami pandang baru seperti halnya dari HT yang memandang itu merupakan perkara yang telah menjadi janji Allah namun harus diupayakan dengan langkah penyadaran umat melalui aktivitas dakwah? Akhirnya saya berkomitmen untuk mengkaji lebih dalam tentang ide-ide Islam yang diemban HT dan bergerak memperjuangkan tegaknya ide-ide tersebut.

Sebelum mengenal ide HT, ya yang ku pahami bahwa Islam adalah agama ritual, tidak lebih. Namun setelah mengkaji ide Islam yang diemban HT, terbukalah wawasanku tentang keluasan dan keluwesan Islam yang kaffah. Termasuk gagasan khilafah-nya, yang sangat relevan dengan kebutuhan umat dalam menghadapi problematika yang dihadapinya.

Ada satu kalimat yang terus terngiang dan kalimat itu pula yang membuatku tertarik bergabung bersama HT. “Tegaknya syariah di dalam naungan Daulah Khilafah Islamiyyah, semua itu pasti akan terwujud namun harus kita ikhtiyarkan dan bukan sebatas menunggu kedatangannya,” kata Ustadz Irsyad.

Apalagi ketika ia membacakan kutipan Alquran Surat Ar Ra'd ayat 11. Itu menyegarkan ingatanku tentang apa yang pernah disampaikan Pak Maryadi, dosenku ketika kuliah, “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum kecuali kaum itu sendiri yang mengubah apa apa yang pada diri mereka.” Itu disampaikan Pak Maryadi saat memotivasi mahasiswa yang semuanya tuna netra itu.

Meskipun Islam kaffah ini merupakan pandangan yang baru di lingkungan kami di Ciamis, tapi alhamdulillah, keluarga baik istri dan anak-anakku sangat mendukung. Begitupun keluarga besar istri dan keluarga besarku, ketika aku menyampaikan pandangan ini mereka tidak mempermasalahkan, meski memang ada sih beberapa silang pendapat kecil.

Namun semuanya dapat diatasi. Termasuk juga dengan ayahku yang sempat takut berlebihan manakala isu terorisme digulirkan pemerintah. Alhamdulillah, ayah menjadi tenang ketika kuajak seorang aktivis HT untuk bersilaturahmi dan berbincang bersamanya di rumah. Kesalahan persepsi ayahku dapat diluruskan dengan penjelasan lugas dan logisnya.

Pejuang Khilafah
Keterbatasanku dalam penglihatan tentu akan menjadi pembeda paling mudah dengan orang normal. Bila aktivis dakwah lain bisa dengan lincah ke sana ke mari, aku terkendala. Mobilitas terbatas karena untuk bepergian, bila tidak mengandalkan yang melek untuk menjadi guide maka mengandalkan tongkat dengan segala keterbatasannya.

Selain itu, dalam mengakses ide, sebagaimana halnya orang tunanetra lain maka aku mengandalkan sumber audio. Terbatasnya referensi tertulis dalam bentuk salinan huruf Braille membuatku harus mengoptimalkan indera pendengaran untuk memahami suatu referensi.

Aku memperkaya pengetahuan dari rekaman audio, juga meminta tolong anak dan istri untuk membacakan terjemahan kitab serta majalah, nasyrah, kutaib dan lain-lain sehingga aku bisa menyimaknya. Selain itu, dalam rangka mengejar ketertinggalan, aku membeli komputer dan HP yang telah diisi software yang bisa membacakan file naskah yang ada.

Begitu juga ketika halaqah (pengkajian rutin kitab yang dikeluarkan HT), aku mendapat pengecualian dalam membaca paragraf demi paragraf karena memang tidak ada kitab edisi Braille. Aku cukup menyimak setiap pembahasan yang dilakukan. Dan ternyata inipun terjadi pada rekan-rekanku di luar Kota Ciamis, yang juga telah aktif di HT.

Lho kok Anda kaget? Anda yang matanya melek saja kaget, apalagi aku jelas lebih kaget lagi karena tidak melihat ada orang yang senasib denganku turut gabung berdakwah bersama HT. Padahal mereka tepat di depanku. Barulah aku sadar ketika mereka berbicara.

Itu terjadi beberapa waktu yang lalu saat Muktamar ITMI. Saat itu aku bertemu dengan beberapa pengurus dari beberapa daerah. Ide-ide mereka khas mewarnai curah pendapat yang terjadi selama acara. Dan ketika ditanya kepada yang bersangkutan, ternyata betul bahwa mereka telah aktif di HT.

Dan saat ini? Syukur Alhamdulillah organisasi kami menerima ide-ide HT termasuk banyak yang tertarik dan akhirnya memilih bergabung dengan HT. Karena menurutku kekurangan kami yang tunanetra ini tidak boleh menjadi penghalang untuk meretas jalan menuju berlangsungnya kembali kehidupan Islam dengan tegaknya Khilafah. Meskipun buta, toh kami masih punya senjata yang utama untuk berdakwah, yakni bicara![] seperti yang dikisahkan pa entis kepada dian jatnika

http://mediaumat.com/sosok/2595-51-pejuang-khilafah-dalam-gelapnya-dunia.html

Tidak ada komentar: