Selasa, 05 Maret 2013
Abah Qayyum, Ulama dari Malang: Dulu Benci Kini Cinta
suara, retorika dan gaya penyampaian ceramah Abah Qayyum terdengar dan terlihat mirip almarhum KH Zainudin MZ. Pilihan katanya tegas, sederhana, dan mudah dipahami oleh masyarakat.
Begitu juga ketika berorasi dalam acara silaturahim keluarga besar Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) Malang, Ahad (16/9) di Pondok Pesantren Sabilul Huda, Kedung Kandang, Malang, Jawa Timur, dengan bahasa yang mudah dimengerti ia memaparkan konsekuensi ketika syariah Islam tidak diterapkan.
“Pada saat dicampakkannya Islam, maka hukum yang dijalankan oleh para penguasa adalah hukum laut yang dipindahkan ke darat. Paus makan hiu, hiu makan tongkol, tongkol makan teri. Yang paling susah adalah teri, harus makan apa? Teri itu masyarakat umum termasuk kita, ” ungkap ulama yang bernama resmi KH Abdul Qayyum dengan gaya yang mirip Zainuddin MZ di hadapan sekitar 2000-an ulama.
Maklum saja dai yang cukup piawai dan biasa berceramah di depan sekitar 2000-3000 peserta tablig akbar di berbagai kota dan desa Jawa Timur dan Jawa Tengah ini, pada tahun 1990-an, memang muridnya Zainuddin MZ. Pada waktu yang bersamaan, ia juga belajar qiraah pada pakar qiraah internasional Muammar ZA selama 2 tahun di Lembaga Pendidikan Tilawatil Qur’an (LPTQ), Jakarta.
Saat ini aktif berdakwah dengan mengangkat isu sentral penegakan syariah dan khilafah. Penerapan syariah secara kaffah tentu membutuhkan sebuah institusi negara Islam yang disebut khilafah. Dan, ini harus ditegakkan melalui amal jamai. Amal jamai ini ada pada Hizbut Tahrir.
Menurutnya, dunia tanpa Hizbut Tahrir tidak akan tercipta generasi yang sanggup secara konsisten untuk menegakkan syariah dan khilafah. “Tegaknya syariah dan khilafah adalah kunci segala-galanya. Karena saya tidak kuat mikul sendiri, ya saya berjamaah bersama Hizbut Tahrir,” kata lelaki kelahiran Malang, 1 Januari 1966 tersebut dengan bangga.
Padahal dua tahun sebelum intensif berjuang bersama Hizbut Tahrir, ia sangat membenci Hizbut Tahrir. Di benaknya penuh dengan persepsi yang buruk tentang Hizbut Tahrir. Ini terjadi karena ia hanya mendengar informasi tentang partai Islam ideologis internasional tersebut dari sumber yang tidak representatif alias qiila wa qaala, atau “katanya bin katanya”.
Sehingga tafsir yang digunakannya adalah fathul jare (baca jare dalam logat Jawa yang berarti katanya) bukan Kitab Fathul Bari. Isinya tentu negatif semua. “Islam anti kekerasan tapi mengapa HT sering demo, apa yang didemo? Bukankah demo menjadi representasi dari kekerasan?” kata Abah Qayyum mencontohkan.
Seiring kecamuk pertanyaan, tak disangkanya pada tahun 2008, tiba-tiba seorang aktivis HTI Malang Abu Ridha berkunjung ke rumahnya. Abu Ridha pun memperkenalkan Hizbut Tahrir dan meminta dukungan dalam penegakan syariah dan khilafah.
Sejak saat itu, Abah Qayyum secara rutin mendapatkan berbagai terbitan Hizbut Tahrir seperti buletin al-Islam, tabloid Media Umat, dan majalah al-Waie. Namun tidak satu pun pemberian aktivis HT tersebut yang dibaca lantaran persepsi buruk tentang Hizbut Tahrir kuat melekat di benaknya. Obrolan tentang syariah dan khilafah pun ditanggapinya dengan sambil lalu.
Melihat keistiqamahan Abu Ridha yang rajin bersilaturahmi dan memberikan berbagai bacaan itu, muncul juga rasa penasaran. Akhirnya ia pun secara serius bertanya tentang syariah dan khilafah.
Penjelasan yang disampaikan terasa ada kesesuaian dengan apa yang diinginkannnya, terlebih disampaikan dengan tenang, tanpa emosi dan berlandaskan pada dalil.
Namun Abah Qayyum belum luluh. Sepulang aktivis HTI tersebut, ia langsung mengumpulkan kembali berbagai terbitan HTI terutama buletin Al Islam. Menurutnya, ini kesempatan untuk mencari kesalahan-kesalahan sebagai pembenar opini yang selama ini diterima. “Namun, semakin lama saya mencari kesalahan, semakin terpaut hati untuk membenarkan apa yang diperjuangkan oleh HT,” katanya penuh heran.
Selama 14 tahun nyantri di pesantren memang mendengar istilah khilafah dan khalifah. Tetapi ia tidak pernah mendapatkan pengajaran secara khusus tentang khilafah harus begini, khalifah harus begitu, termasuk hukum yang harus diterapkan itu ini, kalau tidak diterapkan dampaknya begini, solusinya begitu,” ungkap lulusan tahun 1992 Ponpes Raudlatul U’lum 2 Assanamiyah Ganjaran Gondang Legi, Malang.
Empat Alasan
Sejak saat itu, ia pun mengikuti berbagai kegiatan yang dilakukan oleh Hizbut Tahrir. Tentu sambil melihat bagaimana keseriusan para aktivis HT berdakwah. Dari sini, ia menemukan alasan kenapa harus berjuang bersama Hizbut Tahrir dalam penegakan syariah dan khilafah.
Di antaranya, pertama, karena keikhlasan dan kesabarannya. Menurutnya, aktivis HT ikhlas, buktinya mereka tidak ada harapan sedikitpun ketika perjuangan selesai ingin memperoleh jabatan/kedudukan yang ingin diraih. Kesabaran para aktivisya juga terlihat dari berbagai aktifitas yang ia ikuti selama ini. Salah satunya ketika ia mengikuti para aktivis HT yang akan melakukan dakwah penyadaran tokoh umat di Lenggok Sono, Malang. Puluhan kilometer harus ditempuh. Jalan rusak, licin, gelap, dan menanjak. Tiba-tiba mobil tua yang ditumpangi ngadat. Tenggorokan kering sudah. Badanpun terasa lemah.
Dengan penuh kesabaran, mereka memperbaiki hingga perjalanan bisa dilanjutkan. “Saya berpikir, dakwah ini tidak ada yang membayar, tidak dapat beras, dan transportasi ditanggung sendiri. Kenapa mereka masih mau melakukan? Ini yang membuat saya semakin terkesan,” ungkapnya.
Kedua, karena daya juang yang tidak takut risiko. Buktinya, dakwah amar ma’ruf nahi munkar disampaikan pada semua level masyarakat, DPR, eksekutif, legislatif, militer, ulama, hakim, pengusaha, pelajar dan lainnya.
Ketiga, tertarik konsep atau ide yang ditawarkan oleh Hizbut Tahrir. Menurutnya, ide-ide yang ditawarkan oleh Hizbut Tahrir adalah ide para al anbiya dalam penegakan kalimat Allah.
Keempat, adanya perasaan malu pada Allah SWT. Menurutnya, Islam sudah diturunkan. Berbagai fasilitas informasi terkait Islam (wajibnya penegakan syariah dan khilafah, red.) sudah diterima dengan landasan yang sharih dan tegas. “Kenapa disuruh berbuat ikhlas tidak mau? Ini yang membuat malu pada diri sendiri,” ungkapnya.
Setelah dua tahun berinteraksi dengan Hizbut Tahrir, ia pun semakin sadar. Banyak perubahan, khususnya terkait bagaimana memandang persoalan umat. Masalah umat ternyata bukan hanya masalah furuiyyah seperti qunut dalam shalat dan tahlil tetapi masalah umat ternyata lebih karena tidak diterapkannya syariah Islam dalam bingkai khilafah.
“Tertundanya kewajiban shalat berefek secara individual. Namun, tertundanya penerapan syariah oleh khilafah akan berdampak pada kehidupan umat secara keseluruhan, baik terkait kebodohan, kemiskinan, kerusakan moral, keterbelakangan, penindasan oleh bangsa penjajah, dan lainnya,” ungkapnya mengutip pernyataan salah seorang aktivis HTI Malang yang menghentak kesadarannya.
Dulu, Abah Qayyum mengira ilmu sudah cukup dan tidak perlu ngaji lagi. Ternyata ini adalah pikiran yang salah dan cupik. Ternyata banyak pemahaman yang harus diluruskan dan diasah. “Inilah perlunya halqah,” simpulnya.
Menyadari itu, pada 2010, ia pun menjadi aktivis HT dengan mengikuti kajian rutin sepekan sekali. “Sekarang saya halqah di HT mengkaji kitab Nidzam Al Islam bab terakhir, masru’ dustuur,” katanya dengan bangga. Nidzam Al Islam adalah kitab pertama dari 24 kitab yang diterbitkan HT untuk diajarkan kepada setiap aktivisnya.
Sehingga dai yang tadinya merasa berdakwah sudah cukup pada masyarakat awam, kini, ia merasa terpanggil untuk berdakwah pada para ulama, yang sejatinya adalah pewaris para nabi tetapi belum turut mendakwahkan penerapan Islam secara total dalam bingkai khilafah.
“Oleh karena itu, saya menghimbau kepada para ulama. Tanamkan sifat malu diri sendiri kepada Allah SWT jika tidak berjuang untuk menegakkan syariah dan khilafah bersama Hizbut Tahrir,” gugahnya.[] khusnudin/joy
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar