Mengamati, Melihat, memahami, Dan Menuliskannya

Selasa, 05 Maret 2013

Kyai Pejuang Khilafah dari Kota Santri




KH Abdullah, Pimpinan Ponpes Nurul Ulum, Jember, Jawa Timur

Tadinya kyai muda ini mengira syariah dan khilafah hanyalah teori dalam kitab kuning yang tidak mungkin diterapkan, namun setelah berinteraksi dengan Hizbut Tahrir ia pun meyakini syariah dan khilafah akan tegak, dengan atau tanpa dukungannya.

“Saya bersaksi, sesungguhnya, Hizbut Tahrir adalah gerakan mukhlish yang benar-benar berjuang untuk menegakkan ‘izzul Islam wal Muslimiin,” ujar kyai muda yang menggunakan udeng-udeng (surban yang dililitkan di kepala) dan baju putih serta sarung khas ulama Nahdlatul Ulama di hadapan sekitar 30.000 peserta Konferensi Rajab 1432 H, Ahad (26/6) di Stadion Delta, Sidoarjo, Jawa Timur.

Dalam testimoninya itu, sang kyai menegaskan wajib bagi para ulama untuk membantu, mendukung, dan menguatkan perjuangan Hizbut Tahrir, agar syariah dan khilafah bisa ditegakkan sesegera mungkin atas izin Allah SWT. Namun ia pun mengingatkan dengan atau tanpa dukungan ulama janji Allah SWT itu pun tetap akan tegak pada saatnya nanti.
“Sungguh, Khilafah Islamiyyah tetap akan ditegakkan Allah SWT, tanpa atau dengan dukungan Anda, wahai para ulama! Akan tetapi, jika Anda tidak mengambil bagian dalam perjuangan ini, sesungguhnya, Anda tidak akan mendapatkan kemuliaan dan pahala yang melimpah dari Allah SWT,” pekiknya di hadapan sekitar 4.000 ulama dan asatidz;  2.000, muballighah dan asatidzah yang turut hadir dalam perhelatan kolosal mengokohkan perjuangan penegakan syariah dan khilafah itu.

Keluarga Ulama

Siapakah kyai muda tersebut? Ia adalah ulama dari Jember. KH Abdullah, namanya. Bagi warga Jember, khususnya Kecamatan Ajung dan Kecamatan Mumbulsari, sosoknya sudah tidak asing lagi. Ia adalah pendiri dan pimpinan Ponpes Nurul Ulum, Dusun Renes, Desa Wirowongso, Ajung, Kabupaten Jember, Jawa Timur.

Kyai Abduh, demikian panggilan akrabnya, adalah cucu dari KH Ali Wafa, pendiri Ponpes Al Wafa (1917), tokoh yang kemudian melahirkan banyak kyai dan santri dari kawasan Tempurejo. Kedalaman dan keluasan ilmu Ali Wafa, diwariskan kepada putra putri, termasuk cucunya.

Bahkan, pengaruh sosok KH Ali Wafa menjadi energi spiritual bagi generasi penerusnya. Maka, di sekitar kawasan Tempurejo, Kecamatan Mumbulsari berdiri pesantren yang meneruskan gaya kepemimpinan KH Ali Wafa. Ciri-ciri khas NU begitu melekat dalam tradisi kepesantrenan para alumni Tempurejo. Secara turun temurun, generasi ke generasi, para alumni Tempurejo menyebarkan dakwahnya ke berbagai tempat di tanah air.

Demikian juga dengan Kyai Abduh. Sejak kecil, ia mendapatkan  pendidikan agama dari keluarga besar pesantren Tempurejo, tepatnya di Ponpes An Nur Mumbulsari yang didirikan abahnya, KH Abdul Kholiq. Karena terlahir dari garis keturunan kyai, maka setelah dirasa cukup keilmuannya, Kyai Abduh pun bertekad menyebarkan ilmu di wilayah terdekat dengan mendirikan ponpes Nurul Ulum pada 24 Maret 1994.

Saat berdiri, Kyai Abduh konsisten dengan 'mazhab' Tempurejo sebagai model pembelajaran. Kitab kuning seperti yang diajarkan lazimnya di pesantren juga menjadi titik tekan dalam ciri khas pesantrennya itu. Ponpes Nurul Ulum yang diasuhnya lebih banyak mengupas tentang fikih Islam sebagai bekal para santri untuk “menstandarisasi” kehidupan mereka dengan aturan Islam.

Mengenal HT

Lelaki kelahiran Tempurejo, 18 Oktober 1967 itu pertama kali berinteraksi dengan Hizbut Tahrir pada Maret 2007. Saat itu, ia sedang mengantar istrinya yang  juga menjadi Pimpinan Ponpes Putri Nurul Ulum Nyai Munawwarah, untuk mengikuti acara seminar.

“Saat itu, saya bertemu dengan Ust Hendri di tempat parkir, dia cerita-cerita sama saya, tentang kewajiban menegakkan kembali syariah dan khilafah, serta wadah yang memperjuangkannya, yakni Hizbut Tahrir,” ujarnya kepada Media Umat.

Ia pun langsung setuju, karena syariah dan khilafah itu bukanlah ide yang asing di telinganya. Karena dalam kitab-kitab kuning yang ia pelajari serta ia ajarkan memang membahas itu. Namun saat itu, sama sekali tidak terbayang di benaknya bahwa syariah dan khilafah itu dapat ditegakkan kembali.
“Saat itu, saya ceritakan pula kepada anak-anak (santri, red) ini cuman teori saja. Prakteknya ya tidak mungkin karena di sini bukan negara Islam,” ungkapnya.

Setelah pertemuan di tempat parkir tersebut, ia sering dikontak aktivis HTI. Sehingga ia pun lebih jelas lagi memahami konsep dan metode perjuangan penegakan syariah dan khilafah yang tengah ditempuh Hizbut Tahrir.

Ia pun berkata dalam hati, “Oh ini rupanya wadah yang tepat untuk mewujudkan isi kitab kuning agar tidak sekadar teori saja.” Kyai Abduh semakin yakin khilafah akan segera tegak setelah mengikuti Konferensi Khilafah Internasional yang dihadiri sekitar 100.000 kaum Muslim dari berbagai daerah di Indonesia bahkan dari manca negara, pada 12 Agustus 2007 di Stadion Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta.
“Ketika KKI saya tambah yakin kalau khilafah akan segera tegak kembali,” ujarnya. Ia pun mengajak para ulama lain dan juga santrinya untuk memperjuangkan tegaknya imamah atau khilafah yang tertera dalam kitab yang mereka kaji setiap hari itu bersama HTI.

Melawan Fitnah

Di samping besarnya pengaruh sosoknya, argumennya pun kuat, sehingga ratusan santri dan ulama akhirnya sependapat dengannya. Namun sayang, ada saja pihak yang tidak suka dengan kenyataan itu.

Maka orang yang dengki itu pun menyebar fitnah bahwa HT adalah kelompok sesat dengan empat tuduhan. Pertama, HT membolehkan seorang lelaki mencium perempuan yang bukan istri atau mahramnya. Kedua, HT mendapatkan dana dari Amerika melalui pemerintahan negara-negara di Timur Tengah. Ketiga, HT adalah neo Mu’tazilah. Keempat, HT adalah Wahabi.

Banyak yang termakan fitnah tersebut. Namun alhamdulillah, Kyai Abduh tidak turut menjauhi HTI, ia langsung tabayyun kepada aktivis partai Islam ideologis internasional itu.

Kyai Abduh pun puas setelah mendapat jawaban bahwa orang yang menuduh HT membolehkan poin pertama itu tidak pernah membaca Kitab Nizhamul Ijtima’i, kitab rujukan HT karya seorang mujtahid mutlak sekaligus pendiri HT, Syeikh Taqiyyuddin An Nabhani. “Kalau membaca kitab tersebut itu tidak mungkin memfitnah seperti itu, karena dengan tegas Syeikh Taqiyyuddin menyebut keharamannya,” ujar sang kyai.

Sedangkan untuk poin kedua, aktivis itu pun menjelaskan bahwa HT dimusuhi oleh semua penguasa negara-negara Arab dan Amerika. “Jadi sangat tidak mungkin HT mendapat dana dari mereka,” tegasnya.
Sedangkan untuk poin tiga dan empat, ia dengan enteng menyebutkan bahwa orang yang memfitnah itu jelas-jelas tidak mengetahui Mu’tazilah dan Wahabi. “Mu’tazilah tidak setuju dengan khilafah sedangkan Wahabi menjadi satu-satunya mazhab Islam yang dibolehkan Arab Saudi, kerajaan yang berontak dan memusuhi khilafah,” ujarnya.

Setelah dijelaskan Kyai Abduh bahwa empat tuduhan itu hanyalah fitnah belaka, mereka yang menjauhi satu persatu kembali mendekati HTI. Ketika akan diselenggarakan konferensi di Stadion Delta, mereka pun antusias untuk menyukseskan acara tersebut. Namun rupanya,  si pendengki mengeluarkan fitnah yang sama agar para ulama tidak ikut dalam konferensi itu. Jelas saja para ulama berang kepada si tukang fitnat tersebut.

Makanya, kajian rutin masalah umat yang diadakan si pendengki yang biasanya dihadiri tidak kurang dari 180 ulama itu kontan turun drastis menjadi 18 orang, setelah empat fitnah itu ia hembuskan kembali. Maka berangkatlah sekitar 13 bus yang masing-masing berisi 60 ulama dan santri dari Mumbulsari dan Ajung turut menyukseskan pengukuhan perjuangan penegakan syariah dan khilafah di Sidoarjo bersama Kyai Abduh.[] joko prasetyo

Tidak ada komentar: